Senin, 10 Maret 2008

Mihrab: Ceruk Penanda Kiblat

REPUBLIKA - Senin, 25 Februari 2008

Mihrab: Ceruk Penanda Kiblat



Mihrab. Inilah bagian pokok - jika tidak yang terpenting - yang selalu hadir dalam arsitektur sebuah masjid. Merriam-Webster mendefinisikan mihrab sebagai sebuah ceruk yang menjorok ke dalam atau ruangan di dalam masjid yang menjadi penanda arab kiblat. Tak hanya sebagai penanda arah kiblat, mihrab juga berfungsi sebagai tempat imam memimpin shalat.

Secara harfiah, menurut Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve (IBVH), kata mihrab berarti gedung yang tinggi. Sebagian ulama berpendapat mihrab sebagai tempat memerangi setan dan hawa nafsu. Menurut mereka, mihrab berakar dari kata al-hurba yang berarti peperangan. Ada pula pendapat yang menyatakan, ceruk atau ruangan dalam masjid itu dinamakan mihrab, karena dalam tempat itu kebenaran manusia dapat ditempa dalam upaya menghindarkan diri dari kesibukan duniawi. Namun, Dr Muhammad Taqi-ud-Din Al-Hilali dan Dr Muhammad Muhsin Khan memiliki definisi dalan soal mihrab.

Dalam cetakan Alquran King Fahd Complex, Saudi Arabia, keduanya mendefinisikan mihrab sebagai tempat shalat kecil atau ruang privasi, bukan arah atau penunjuk tempat shalat apalagi tempat imam memimpin shalat. Selain memiliki beragam pengertian, kehadiran bagian interior masjid itu pun tak seutuhnya disepakti umat Islam. Ada yang memperbolehkan dan ada pula yang melarang kehadiran mihrab di dalam masjid, karena tak pernah dicontohkan Rasulullah SAW.

Itulah mengapa, sebagai bagian dari arsitektur masjid, kehadiran mihrab selalu menarik untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Lalu bagaimana asal-muasal mihrab bisa menjadi bagian interior yang amat penting dalam arsitektur masjid? Menurut Ibrahim Rafa'at Pasya - salah seorang pemikir Arab di abad ke-19 - eksistensi mihrab belum dikenal pada masa Rasulullah SAW. Pendapat itu diperkuat Ahli sejarah Islam As-Suyuti dalam bukunya I'la al-Adib bi Hudusi Bid'ah Al-Maharib. As-Suyuti menyatakan, mihrab dengan atap melengkung belum ada pada masa Rasulullah SAW. Tak hanya itu, pada era al-Khulafa ar-Rasyidin pun belum dikenal adanya mihrab.

Secara tegas, Al-Qaradhawi menyatakan, tak ada sunnah qauliah (ucapan), sunnah amaliah (perbuatan), dan sunnah taqririyah (persetujuan) dari Rasulullah SAW tentang mihrab. Meski begitu, kata mihrab, muncul sebanyak lima kali dalam Alquran -- empat kali dalam bentuk tunggal dan satu dalam bentuk jamak. Dalam surat Ali `Imran, kata mihrab disebutkan sebanyak dua kali, yakni pada ayat 37 dan 39, pada surat Maryam ayat 11, surat Sad ayat 21 dan surat Saba ayat 13.

''Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: ''Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?'' Maryam menjawab: ''Makanan itu dari sisi Allah.'' Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (Ali `Imran: 37)

Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): ''Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat {193} (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.'' (Ali 'Imran:39).

Kedua ayat itu digunakan sebagian umat Islam sebagai dalil digunakannya mihrab dalam masjid. Dalam Tafsir Ibnu Katsir jilid dua disebutkan, yang dimaksud mihrab dalam ayat 37 dan 39 itu surat Ali Imran itu adalah tempat tertutup yang digunakan Maryam dan Zakariya berdiam diri untuk beribadah, menyendiri dan bermunajat kepada Allah SWT. Menurut Ensiklopedia Islam, disebutkannya kata mihrab sebanyak lima kali dalam Alquran menunjukkan bahwa mihrab telah dikenal dalam sejarah nabi-nabi sebelum kenabian Muhammad SAW. Ahli hukum Islam dari Baghdad, taiyib at-Tabari menyatakan, mihrab merupakan tradisi Islam yang dimulai sejak Nabi Daud SAW.

Lalu kapan umat Islam mulai menggunakan mihrab pada interior masjid? Mihrab ternyata adalah sebuah inovasi awal arsitektur Islam khususnya arsitektur masjid. Mihrab pertama kali mewarnai khazanah arsitektur masjid mulai tahun 88 Hijriyah atau 708 Masehi. Kali pertama, mihrab dibuat di dalam Masjid Nabawi oleh Umar bin Abdul Aziz, saat menjabat Gubernur Madinah Munawarrah, pada masa kekhalifahan Walid bin Abdul Malik. Pada masa jabatannya itu, Umar bin Abdul Aziz (708-711 M) memerintahkan untuk membangun kembali Masjid Nabawi. Konon, dalam proyek pemugaran dan perluasan Masjid Nawabi itulah pertama kali mihrab dibangun.

Pembangunan Masjid Nabawi pun selesai pada tahun 91 Hijriyah atau 711 Masehi. Saat itu mihrab dibuat berbentuk ceruk pada dinding dan berfungsi sebagai penanda arah kiblat. Meski begitu, ada pula yang menyebutkan bahwa bentuk ceruk yang dimaksud pada masa itu sesungguhnya memiliki istilah thooq, bukan mihrab. Menurut sejarawan Arab, Al-Maqrizi, pembangunan mihrab juga berlangsung pada masa pemerintahan Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Malah, pada masa itu, Mu'awiyah telah membuat peraturan bahwa bangunan mihrab harus ada di dalam masjid. Pada masa kepemimpinan Mu'awiyah, seorang gubernur bernama Qurra' Bin Syarik telah memerintahkan pembuatn mihrab di Mesir dengan bentuk atap yang melengkung.

Dalam perkembangannya, Dinasti Fatimiyah di Mesir mulai menghiasi mihrab dengan gelang-gelang perak. Tak heran bila di Masjid Al-Azhar, Mesir dihiasi beragam ornamen yang nilainya mencapai lima ribu dirham. Pada masa pemerintah Umayyah ada yang menyebut mihrab sebagai tempat penting, sehingga posisinya ditinggikan melebihi tempat sembayang makmum. Itu berbeda dengan mihrab yang ada di masjid-masjid Iran. Di negeri para Mullah itu, posisi mihrab justru lebih bawah dari makmum. Meski terdapat beragam pendapat dan bentuk mihrab dalam dunia Islam, mihrab memiliki dimensi sosial budaya, yang paling bisa ditonjolkan secara visual. Wujud fisik mihrab memiliki peran sebagai media pengungkapan nilai-nilai atau budaya dari individu pelaku atau perancangnya atau merupakan refleksi masyarakat Muslim di sekitarnya.

Tidak ada komentar: