Kamis, 20 November 2008

Jejak Kejayaan Islam di Sicila

REPUBLIKA - Rabu, 04 Juni 2008


Jejak Kejayaan Islam di Sicila



''Kota dengan 300 masjid.'' Begitulah penjelajah Arab terkemuka, Ibnu Hawqal menggambarkan suasana Palermo, ibu kota Sicilia yang berada di wilayah Italia selatan pada tahun 972 M. Dalam catatan perjalanannya, Al-Masalik wal Mamlik, Ibnu Hawqal mengaku tak pernah menemukan sebuah kota dengan jumlah masjid sebanyak itu, sekalipun luasnya dua kali lebih besar dari Palermo.

Pada saat yang sama, pelancong Muslim kondang itu juga menyaksikan kehebatan University of Balerm - sebuah perguruan tinggi Islam terkemuka di kota Palermo, Sicilia. Hampir selama tiga abad lamanya, umat Muslim di era keemasan berhasil mengibarkan bendera kejayaan dengan peradabannya yang terbilang sangat tinggi di wilayah otonomi Sicilia.

Dari wilayah itulah, ilmu pengetahuan yang dikuasai umat Islam ditransfer ke peradaban Barat. Pengaruh Islam begitu besar dalam peradaban masyarakat Sicilia. Selama tiga abad berada dalam kekuasaan Islam, kawasan Sicilia pun berkembang menjadi pusat peradaban dan perniagaan. Sicilia pun sempat menjadi salah satu wilayah primadona di benua Eropa. Islam bersemi di Sicilia sejak 15 Juli 827 M. Ketika itu, pasukan tentara Dinasti Aghlabid di bawah kekuasaan Ziyadat Allah I berhasil menaklukan dari kekuasaan Bizantium. Dinasti Aghlabid merupakan sebuah kekhalifahan Muslim Arab yang menguasai Ifriqiyah meliputi Aljazair, Tunisia dan Tripoli.

Dinasti yang berkuasa dari tahun 800 M hingga 909 M itu berpusat di Tunisia. Diperkuat 10 ribu pasukan infanteri, 700 pasukan berkuda serta 100 armada kapal, pasukan Muslim di bawah komando Asad Ibnu Al-Furat (70 tahun) berhasil mengkandaskan kekuatan Bizantium dalam pertempuran di dekat Mazara. Serangkaian pertempuran demi pertempuran dilalui pasukan Dinasti Aghlabid hingga akhirnya satu per satu kota di Sicilia sepenuhnya berhasil dikuasai umat Islam.

Secara resmi, kota Palermo ditaklukan umat Islam pada tahun 831 M. Sedangkan, Messina dikuasai pasukan Muslim 12 tahun berikutnya. Sejak wilayah Enna berhasil direbut dari Bizantium pada 859 M, provinsi Sicilia sepenuhnya berada dalam genggaman umat Islam. Di bawah kekuasaan umat Islam, Sicilia menjadi provinsi yang multietnis.

Beragam suku dan etnis, seperti orang Sicilia, Arab, Yahudi, Barbar, Persia, Tartar, Negro berbaur dalam toleransi dan keharmonisan. Tak ada pembantaian terhadap penduduk yang beragama Nasrani. Penduduk Sicilia yang beragama Nasrani dilindungi dan dihormati kebebasannya dalam menjalankan aktivitas peribadatan.

Penguasa Muslim hanya membebankan pajak kepada penganut agama Nasrani. Hak milik dan usaha mereka dilindungi penguasa Muslim. Pun demikian terhadap warga Yahudi yang berada di kawasan kota pantai. Penguasa Muslim menghormati hak hidup dan melindungi kebebasan umat beragama lain dalam menjalankan ibadah.

Sejak berada dalam kekuasaan Islam, Sicilia menjelma menjadi salah satu pusat peradaban di Eropa, setelah Kordova. Bangunan masjid yang tersebar di seluruh kawasan Sicilia tak hanya menjadi tempat beribadah semata. Masjid-masjid itu juga berfungsi sebagai sekolah -- tempat bersemainya benih peradaban dan ilmu pengetahuan.

Di bawah kekuasaan Islam, Sicilia memiliki universitas Islam terkemuka. Sekolah-sekolah di wilayah itu dilengkapi dengan asrama siswa dan mahasiswa. Tak heran, bila begitu banyak remaja dan anak muda dari berbagai penjuru Eropa menimba ilmu di sekolah dan universitas Islam di Sicilia.

Penjelajah Muslim, Ibnu Jubair, memberi sebuah kesaksian tentang kemajuan yang berhasil dicapai penguasa Muslim di Sicilia. Dalam buku perjalanannya, Ibnu Jubair, melukiskan kemajuan pesat yang dicapai Palermo, ibu kota Sicilia. ''Palermo adalah sebuah kepulauan metropolis yang mengkombinasikan kekayaan dan kemuliaan. Sebuah kota kuno yang elegan,'' papar Ibnu Jubair.

Bahasa Arab pun menjadi bahasa pengantar masyarakat Sicilia. Ibnu Jubair menyaksikan wanita dan pria Kristen pun sehari-hari berbicara dengan bahasa Arab. Kehadiran Islam di Sicilia seakan menjadi berkah bagi masyarakatnya. Perekonomian Sicilia menggeliat setelah berada dalam kekuasaan umat Islam. Industri tekstil tumbuh pesat di era kejayaan Islam di salah satu wilayah otonomi negeri Spagheti itu.

Industri kerajinan pun tumbuh dan berkembang pada saat itu. Kehadiran Islam di tanah Sicilia juga memberi pengaruh yang besar terhadap bidang pertanian. Para petani dan sarjana Muslim memperkenalkan teknik-teknik baru pertanian serta benih tanaman yang unggul. Akibatnya, roda perekonomian ekonomi lokal bergerak begitu cepat.

Buah jeruk merupakan komoditas agrobisnis terkemuka yang dihasilkan para petani Sicilia. Penguasa Islam juga memperkenalkan dan mengembangkan saluran irigasi di wilayah itu. Teknologi pertanian yang diwariskan umat Islam itu tetap digunakan masyarakat Sicilia, sekalipun umat Islam tak lagi berkuasa di wilayah itu.

Periode kekuasaan Islam di Sicila merupakan tahap awal revolusi perdagangan di abad pertengahan. Pada era itulah masyarakat Sicila merasakan kemakmuran dalam pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat. Akhir abad ke-10 M, sejarawan bernama Udovitch menjelaskan betapa Sicilia telah menjelma menjadi pusat perdagangan di dunia Mediterania. Kawasan itu bersama Tunisia menjadi persimpangan rute perdagangan.

Kafilah dari Sijlimasa, selatan Maroko membawa beragam komoditas dari Afrika dan Maroko untuk dijual ke palermo dan Mazara. Sicilia menjadi jembatan perdagangan antara Muslim di Timur dengan Muslim di Barat. Akhir abad ke-10, Sicila menjadi produsen utama kain sutera. Pada era itu, Sicila sudah mulai menggunakan koin emas atau ruba'ya yang benilai seperempat dinar. Mata uang itu sungguh bernilai di kota-kota perdagangan lain seperti Mesir, Suriah dan Palestina.

Sayangnya, kekuasaan umat Islam di Sicilia harus berakhir pada tahun 1061 M. Kekuatan umat Islam yang lemah dimanfaatkan bangsa Normandia. Sejak itu, dominasi Islam pun lenyap dari bumi Sicila. Meski begitu pengaruh dan peradaban yang diwariskannya masih tetap dapat disaksikan hingga sekarang.

Para Penguasa Muslim di Sicilia

Dinasti Aghlabid (827 M - 909 M)
Selama 82 tahun, Sicila berada dalam kekuasaan Dinasti Aghlabid yang berpusat di Tunisia. Ketika dikuasai dinasti Muslim itu, populasi penduduk Sicilia bertambah seiring datangnya imigran Muslim dari Afrika, Asia, Spanyol dan barbar. Semua penduduk Muslim itu terpusat di kepulauan selatan.
Dinasti Aqhlabi menempatkan seorang amir sebagai pejabat gubernur di ibu kota Sicilia, Palermo. Di setiap kota di Sicila dilengkapi dengan sebuah dewan kota bernama gema. Ketika Islam berkuasa banyak penduduk Sicilia yang menganut agama Islam, sebagian lainnya tetap memuk agama Kristen. Pada era dinasti itu, mulai diperkenalkan land reform atau reformasi agraria. Hal itu dilakukan agar tanah tak cuma dikuasai orang-orang kaya saja. Irigiasi juga mulai diperkenalkan, sehingga sektor pertanian berkembang pesat. Pada abad ke-10 M, Sicila menjadi provinsi di Italia yang paling padat dengan jumlah penduduk mencapai 300 ribu jiwa.

* Dinasti Fatimiyah (909 M - 965 M)
Pada tahun 909 M, kekuasaan Dinasti Aghlabid dari Afrika di Sicilia diambil alih Dinasti Fatimiyah. Wilayah itu awalnya menjadi bagian dari provinsi Fatimiyah yang berpusat di Mesir. Empat tahun berkuasa, gubernur Fatimiyah diusir dari Palermo. Kepulauan itu lalu mendeklarasikan kemerdekaannya di bawah kepemimpinan seorang Emir bernama Ahmed ibnu Kohrob. Sicilia kembali dikuasai Dinasti Fatimiyah pada 917 M. Selama 20 tahun lamanya, Sicilia dipimpin seorang gubernur dari Fatimiyah. Pada 937 M, bangsa barbar mengambil alih Sicilia.

Emirat Sicilia (965 M - 1091 M)
Sejak tahun 948 M, Khalifah Fatimiyah, Ismail Al-Mansur mengangkat Hassan Al-Kalbi sebagai emir Sicilia. Secara defakto, Emirat Sicilia terlepas dari pemerintahan Faimiyah di Mesir. Lalu dia digantikan Emir yang baru bernama Abu Al-Qasim (964 M - 982 M). pada masa kedua emir itu berkuasa, Sicilia Muslim bertempur dengan Bizantium. Setelah itu, kekuasaan Islam meredup seiring perebutan kekuasaan di tubuh umat Islam. Pada 1061 M, Sicilia lepas dari tangan umat Islam.

Pintu Gerbang Ilmu Islam ke Barat

Sebagai bekas wilayah kekuasaan Islam, Sicilia merupakan berkah bagi peradaban Barat. Wilayah otonomi di selatan Italia itu telah menjadi gerbang transfer ilmu pengetahuan dari dunia Muslim ke Barat. Michelle Amari merupakan sejarawan yang telah membuktikan bahwa dari Sicilia-lah ilmu pengetahuan yang dikuasai umat Islam di era keemasan ditransfer ke Barat.

Transfer ilmu pengetahuan Islam ke dunia Barat mulai dilakukan oleh Frederick II (1194 M - 1250 M) - penguasa Sicilia. Frederick masih menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar di kerajaan yang dipimpinnya. Ia mengumpulkan sarjana Muslim dan Yahudi untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab. Bahkan, dia mengirim Michael Scot ke Cordoba untuk mencari kitab-kitab yang ditulis Ibnu Sina.

Frederick adalah raja beragama Kristen. Namun, dia begitu terpengaruh oleh ajaran dan kebudayaan Islam. Sehingga, Bapak Sejarawan Sains, George Sarton mengatakan, ''Frederik itu setengah Muslim dengan caranya sendiri.'' Ketika dia berkuasa, University of Naples pada tahun 1224 M - universitas pertama di Eropa menggunakan sistem pendidikan yang dikembangkan pergurun tinggi Islam. Dari Sicilia pula sistem fiskal yang sempat diterapkan penguasa Islam ditransfer ke Inggris. (HRI)

Psikologi Dalam Peradaban Islam

Psikologi Dalam Peradaban Islam

www.republika.co.id
Selasa, 3 Juni 2008

Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu terbilang berusia muda. Ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental itu diklaim Barat baru muncul pada tahun 1879 M -- ketika Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium pertamanya di Leipzig. Padahal, jauh sebelum itu peradaban manusia dari zaman ke zaman telah menaruh perhatian pada masalah-masalah psikologi.

Peradaban manusia kuno di Mesir, Yunani, Cina, dan India telah memikirkan tentang ilmu yang mempelajari manusia dalam kurun waktu bersamaan. Kebudayaan kuno itu juga telah memikirkan tentang sifat pikiran, jiwa, ruh, dan sebagainya. Masyarakat Mesir Kuno dalam catatan yang tertulis pada papirus bertarik 1550 SM telah mencoba mendeskripsikan tentang otak dan beberapa spekulasi mengenai fungsinya.

Selain itu, filsuf Yunani Kuno, Thales, juga telah mengelaborasi apa yang disebut sebagai psuch atau jiwa. Pemikir lainnya dari peradaban Yunani Kuno seperti Plato, Pythagoras, dan Aristoteles juga turut mendedikasikan diri mereka untuk mempelajari dan mengembangkan dasar-dasar psikologi. Sejak abad ke-6 M, peradaban Cina telah mengembangkan tes kemampuan sebagai bagian dari sistem pendidikan.

Lalu bagaimana peradaban Islam berperan dalam mengembangkan psikologi? Sebenarnya. jauh sebelum Barat mendeklarasikan berdirinya disiplin ilmu psikologi di abad ke-19 M, di era keemasannya para psikolog dan dokter Muslim telah turut mengembangkan psikologi dengan membangun klinik yang kini dikenal sebagai rumah sakit psikiatris.

Di era kekhalifahan, psikologi berkembang beriringan dengan pesatnya pencapaian dalam ilmu kedokteran. Pada masa kejayaannya, para psikolog Muslim telah mengembangkan Psikologi Islam atau Ilm-Al Nafsiat. Psikologi yang berhubungan dengan studi nafs atau jiwa itu mengkaji dan mempelajari manusia melalui qalb (jantung), ruh, aql (intelektual), dan iradah (kehendak).

Kontribusi para psikolog Muslim dalam mengembangkan dan mengkaji psikologi begitu sangat bernilai. Sejarah mencatat, sarjana Muslim terkemuka, Al-Kindi, merupakan psikolog Muslim pertama yang mencoba menerapkan terapi musik. Psikolog Muslim lainnya, Ali ibn Sahl Rabban Al-Tabari, juga diakui dunia sebagai orang pertama yang menerapkan psikoterapi atau 'al-`ilaj al-nafs'.

Psikolog Muslim di era kejayaan, Ahmed ibnu Sahl Al-Balkhi, merupakan sarjana pertama yang memperkenalkan konsep kesehatan spiritual atau al-tibb al-ruhani dan ilmu kesehatan mental. Al-Balkhi diyakini sebagai psikolog medis dan kognitif pertama yang secara jelas membedakan antara neuroses dan psychoses untuk mengklasifikasi gangguan penyakit syaraf.

Melalui kajian yang dilakukannya, Al-Balkhi, juga mencoba untuk menunjukkan secara detail bagaimana terapi rasional dan spiritual kognitif dapat digunakan untuk memperlakukan setiap kategori penyakit. Pencapaian yang berhasil ditorehkan Al-Balkhi pada abad pertengahan itu terbilang begitu gemilang.

Sumbangan yang tak kalah pentingnya terhadap studi psikologi juga diberikan oleh Al-Razi. Rhazes - begitu orang Barat menyebut Al-Razi - telah menorehkan kemajuan yang begitu signifikan dalam psikiatri. Melalui kitab yang ditulisnya yakni El-Mansuri dan Al-Hawi, Al-Razi mengungkapkan definisi symptoms (gejala) dan perawatannya untuk menangani sakit mental dan masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan mental.

Al-Razi juga tercatat sebagai psikolog pertama yang membuka ruang psikiatri di sebuah rumah sakit di Kota Baghdad. Pada saat yang sama, Barat belum mengenal dan menerapkan hal serupa, sebab waktu itu Eropa berada dalam era kegelapan. Apa yang telah dilakukan Al-Razi di masa kekhalifahan Abbasiyah itu kini diterapkan di setiap rumah sakit.

Pemikir Muslim lainnya di masa keemasan Islam yang turut menyumbangkan pemikirannya untuk mengembangkan psikologi adalah Al-Farabi. Ilmuwan termasyhur ini secara khusus menulis risalah terkait psikologi sosial dan berhubungan dengan studi kesadaran. Dari Andalusia, dokter bedah terkemuka, Al-Zahrawi, alias Abulcasis mempelopori bedah syaraf.

Selain itu, Ibnu Zuhr, alias Avenzoar tercatat sebagai psikolog Muslim pertama yang mencetuskan deskripsi tentang penyakit syaraf secara akurat. Ibnu Zuhr juga telah memberi sumbangan yang berarti bagi neuropharmakology modern. Yang tak kalah penting lagi, Ibnu Rusyd atau Averroes -- ilmuwan Muslim termasyhur - telah mencetuskan adanya penyakit Parkinson's.

Ali ibnu Abbas Al-Majusi, psikolog Muslim lainnya di masa kejayaan turut menyumbangkan pemikirannya bagi studi psikologi. Ia merupakan psikolog yang menghubungkan antara peristiwa-peristiwa psikologis tertentu dengan perubahan psikologis dalam tubuh. Ilmuwan besar Muslim lainnya, Ibnu Sina, alias Avicenna dalam kitabnya yang fenomenal Canon of Medicine juga mengupas masalah neuropsikiatri. Ibnu Sina menjelaskan pendapatnya tentang kesadaran diri atau self-awareness.

Sementara itu, Ibnu Al-Haitham alias Alhazen lewat kitabnya yang terkenal Book of Optics dianggap telah menerapkan psikologi eksperimental, yakni psikologi persepsi visual. Dialah ilmuwan pertama yang mengajukan argumen bahwa penglihatan terjadi di otak, dibandingkan di mata. Al-Haitham mengesakan bahwa pengalaman seseorang memiliki efek pada apa yang dilihat dan bagaimana seseorang melihat.

Menurut Al-Haitham, penglihatan dan persepsi adalah subjektif. Al-Haitham juga adalah ilmuwan pertama yang menggabungkan fisika dengan psikologi sehingga terbentuklah psychophysics. Melalui percobaan yang dilakukannya dalam studi psikologi, Al-Haitham banyak mengupas tentang persepsi visual termasuk sensasi, variasi, dalam sensitivitas, sensasi rabaan, persepsi warna, serta persepsi kegelapan.

Sejarawan psikologi, Francis Bacon menyebut Al-Haitham sebagai ilmuwan yang meletakkan dasar-dasar psychophysics dan psikologi eksperimental. Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukannya, Bacon merasa yakin bahwa Al-Haitham adalah sarjana pertama yang berhasil menggabungkan fisika dengan psikologi, dibandingkan Fechner yang baru menulis Elements of Psychophysics pada tahun 1860 M.

Bacon juga mengakui Al-Haitham sebagai pendiri psikologi eksperimental. Dia mencetuskan teori besar itu pada awal abad ke-11 M. Selain itu, dunia juga mengakui Al-Biruni sebagai salah seorang perintis psikologi eksperimental lewat konsep reaksi waktu yang dicetuskannya. Sayangnya, sumbangan yang besar dari para ilmuwan Muslim terhadap studi psikologi itu seakan tak pernah tenggelam ditelan zaman.

Rumah Sakit Jiwa Pertama di Dunia

Umat Muslim di era keemasan kembali membuktikan bahwa Islam adalah pelopor peradaban. Sepuluh abad sebelum masyarakat Barat memiliki rumah sakit jiwa untuk mengobati orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan, umat Muslim di kota Baghdad pada tahun 705 M sudah mendirikannya. Rumah sakit jiwa atau insane asylums mulai didirikan para dokter dan psikolog Islam pada masa kekhalifahan.

Tak lama setelah itu, di awal abad ke-8 M peradaban Muslim di kota Fes juga telah memiliki rumah sakit jiwa. Rumah sakit jiwa juga sudah berdiri di kota Kairo pada tahun 800 M. Setelah itu pada tahun 1270 M, kota Damaskus dan Aleppo juga mulai memiliki rumah sakit jiwa. Rumah sakit jiwa itu dibangun para dokter dan psikolog sebagai tempat untuk merawat pasien yang mengalami beragam gangguan kejiwaan.

Sementara itu, Inggris - negara terkemuka di Eropa -- baru membuka rumah sakit jiwa pada tahun 1831 M. Rumah sakit jiwa pertama di Inggris itu adalah Middlesex County Asylum yang terletak di Hanwell sebelah barat London. Pemerintah Inggris membuka rumah sakit jiwa setelah mendapat desakan dari Middlesex County Court Judges. Setelah itu Inggris mengeluarkan Madhouse Act 1828 M.

Psikolog Muslim di abad ke-10 M, Ahmed ibnu Sahl Al-Balkhi, (850 M - 934 M) telah mencetuskan gangguan atau penyakit yang berhubungan antara pikiran dan badan. Al-Balkhi berkata, ''Jika jiwa sakit, maka tubuh pun tak akan bisa menikmati hidup dan itu bisa menimbulkan penyakit kejiwaan.'' Al-Balkhi mengakui bahwa badan dan jiwa bisa sehat dan bisa pula sakit alias keseimbangan dan ketidakseimbangan. Dia menulis bahwa ketidakseimbangan dalam tubuh dapat menyebabkan demam, sakit kepala, dan rasa sakit di badan. Sedangkan, papar dia, ketidakseimbangan dalam jiwa dapat mencipatakan kemarahan, kegelisahan, kesedihan, dan gejala-gejala yang berhubungan dengan kejiwaan lainnya.

Dia juga mengungkapkan dua macam penyebab depresi. Pertama, kata Al-Balkhi, depresi disebabkan oleh alasan yang diketahui, seperti mengalami kegagalan atau kehilangan. Ini bisa disembuhkan secara psikologis. Kedua, depresi bisa terjadi oleh alasan-alasan yang tak diketahui, kemukinan disebabkan alasan psikologis. Tipe kedua ini bisa disembuhkan melalui pemeriksaan ilmu kedokteran.

Begitulah para pemikir Muslim di era keemasan memberikan begitu banyak sumbangan bagi pengembangan psikologi.

Pemikir Islam dan Psikologi

- Ibnu Sirin: Ilmuwan Muslim ini memberi sumbangan bagi pengembangan psikologi melalui bukunya berjudul a book on dreams and dream interpretation.
- Al-Kindi alias Alkindus: Dialah pemikir Muslim terkemuka yang mengembangkan bentuk-bentuk terapi musik.
- Ali ibn Sahl Rabban Al-Tabari: Dialah ilmuwan yang mengambangkan al-`ilaj al-nafs atau psikoterapi.
- Al-Farabi alias Alpharabius: Inilah pemikir Islam yang mendiskusikan masalah yang berhubungan dengan psikologi sosial dan studi kesadaran. - Ali ibn Abbas al-Majusi: Dia adalah sarjana Muslim yang menjelaskan tentang neuroanatomy dan neurophysiology.
- Abu al-Qasim Al-Zahrawi (Abulcasis): Inilah bapak ilmu bedah modern yang pertamakali menjelaskan bedah syaraf atau neurosurgery.
- Abu Rayhan al-Biruni: Dialah pemikir Islam yang menjelaskan reaksi waktu.
- Ibn Tufail: Inilah sarjana Muslim yang mengantisipasi argumen tabula rasa.
- Abu Al-Qasim Al-Zahrawi (Abulcasis): Inilah bapak ilmu bedah modern yang pertamakali menjelaskan bedah syaraf atau neurosurgery. (hri)