Selasa, 18 Maret 2008

MEMAKSIMALKAN PERAN PEMBIMBING HAJI

Pro-Kontra Berhaji Sekali Seumur Hidup
MEMAKSIMALKAN PERAN PEMBIMBING HAJI
by: Syahruddin El-Fikri

Ibadah haji merupakan perintah Allah SWT yang wajib dikerjakan oleh setiap umat Islam, khususnya bagi yang mampu (istithoah) untuk pergi ke Baitullah (Kabah) di Tanah Suci (Makkah). Hal ini telah ditegaskan Allah SWT dalam Alquran (QS.Ali Imran :97).

Mampu disini adalah mampu dalam hal biaya (harta). Artinya, jamaah yang akan berangkat menunaikan ibadah haji, memiliki biaya untuk pergi ke Tanah Suci dan biaya bagi keluarga yang ditinggalkan di Tanah Air. Harta tersebut milik pribadi dan bukan berhutang. Atau berangkat haji karena tugas atau diberangkatkan seseorang maupun lembaga. Dengan demikian, mereka yang berangkat haji dan keluarganya yang ditinggalkan tidak terlantar.

Selain mampu dalam hal biaya, umat Islam yang akan menunaikan ibadah haji, hendaknya juga mampu dalam hal fisik. Artinya, secara fisik yang bersangkutan mampu melaksanakan ibadah haji. Ia tidak dalam keadaan sakit (sehingga menghalanginya untuk ke Tanah Suci), dan tidak pula sedang hamil (yang dikhawatirkan akan membahayakan diri dan janin yang dikandungnya). Sebab, banyak calon jamaah haji (CJH) yang sudah mampu secara materi (bahkan sudah lunas biaya perjalanan ibadah haji/BPIH), dan belum hamil, namun menjelang keberangkatan atau saat tes kesehatan (diantaranya suntik miningitis), yang bersangkutan gagal berangkat karena kendala kesehatan.

Disamping kedua hal tersebut (biaya dan kesehatan), kalangan ulama juga sepakat bahwa makna Istithoah (mampu) dalam ayat 97 surah Ali Imran tersebut diatas, juga mampu memahami tata cara beribadah haji dengan baik dan benar. Mulai dari memakai pakaian ihram, niat haji dan umrah, tawaf (mengelilingi Kabah), sa'i (lari-lari kecil dari bukit Shofa ke bukit Marwah), wukuf (berhenti) di Arafah untuk mendengarkan Khutbah Arafah, melontar jumrah, mabit (bermalam di Mina dan Muzdalifah), tahallul (memotong sebagian rambut), dan lainnya.

Dengan mengetahui dan memahami prosesi dan tata cara beribadah haji dengan baik dan benar, maka jamaah tidak memiliki ketergantungan atau bergantung pada pembimbing ibadah haji. Selanjutnya diharapkan, jamaah akan mendapatkan predikat haji mabrur (diterima oleh Allah SWT). ''Tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga.'' (HR. Bukhari-Muslim).

Tentu saja, kerugian besarlah bagi mereka yang mengerjakan haji, namun tidak mendapatkan predikat haji mabrur. Al-Ghazali dalam magnum opus-nya Ihya 'Ulumuddin, menyebutkan, mereka yang mengerjakan haji, namun tidak memahami maksud dan makna yang terkandung dalam setiap prosesi ibadah haji adalah orang yang teperdaya, tertipu (ghurur).


Sekali Berhaji

Dengan jaminan balasan yang besar itu, maka jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia, datang berbondong-bondong ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. ''Serulah mereka (untuk berhaji), niscaya mereka akan datang kepada-mu dengan berkendaraan dan berjalan kaki menuju Makkah.''

Bahkan karena itu pula, sebagian umat Islam ada yang mengerjakannya lebih dari sekali. Sebab, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, diantara umrah yang satu dengan yang lain adalah penghapus dosa, dan tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga. Selain itu, dengan kemampuan yang dimiliki, maka mengerjakan haji lebih dari sekali itu hukumnya sunnah. ''(Haji) yang pertama itu hukumnya wajib, sedangkan yang selanjutnya (lebih dari sekali, pen) adalah sunnah.'' (HR. Ahmad).

Karena alasan ini pula (bahwa berhaji lebih dari sekali itu hukumnya sunnah), Menteri Agama (Menag) RI, HM Maftuh Basyuni, bermaksud memberlakukan 'larangan' atau aturan bagi yang sudah berhaji untuk mengerjakan haji lagi. Disamping alasan tersebut, Menag juga melihat besarnya animo (keinginan) umat Islam untuk memenuhi rukun Islam yang kelima ini dan menjadi Tamu-tamu Allah (dluyufurrahman).

Seperti diketahui, kuota jamaah haji Indonesia pada tahun 2007 mencapai 210 ribu orang. Sementara, setiap tahun jumlah umat Islam di Indonesia yang ingin menunaikan haji mencapai terus bertambah. Mereka yang belum mendapatkan porsi, harus antri dan menunggu giliran untuk berangkat (waiting list). Jumlahnya yang antri ini mencapai puluhan hingga ratusan ribu orang. Di beberapa daerah, bahkan ada CJH yang harus antri hingga lima tahun kedepan. Sebagian diantaranya adalah umat Islam yang sudah pernah berhaji dan sebagian besar lainnya adalah mereka yang belum berhaji sama sekali. Karena keterbatasan kuota inilah, maka mereka harus menunggu untuk tahun-tahun berikutnya.


Karena hal tersebut, maka Menag bermaksud memberlakukan aturan Berhaji Cukup Sekali Seumur Hidup itu. Tujuannya, agar terjadi pemerataan, dan mereka yang berkeinginan untuk berhaji lagi dapat mengurungkan niatnya dan mempergunakan dananya itu untuk kepentingan umat yang lebih besar, seperti membantu lembaga pendidikan, membangun sekolah serta membiayai pendidikan anak yatim dan tidak mampu.

Tak heran, keinginan Menag ini pun mendapatkan sejumlah respon dari masyarakat. Ada yang setuju, namun lebih banyak yang tidak. Bahkan, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang juga Rois 'Am PBNU, Dr HC KH A Sahal Mahfudz, merupakan salah seorang yang tidak setuju dengan aturan itu. Menurut Mbah Sahal, ibadah haji merupakan ibadah yang khusus (hanya untuk orang yang mampu), maka tidak perlu ada pengkhususan lagi. Selain itu, seseorang bahkan negara tidak berhak melarang penduduknya untuk melaksanakan ibadah yang justru diperintahkan oleh Sang Pencipta. (Lihat SM, 19/12).

Bahkan, ada pandangan yang lebih ekstrem lagi, dengan menyebutkan bahwa Menag adalah orang yang tidak memahami ajaran agama yang dianutnya, maka selayaknya untuk diganti.


Kaidah Fiqh

Tanpa bermaksud memihak siapapun, pandangan Menag untuk memberlakukan aturan atau bahkan -mungkin- larangan untuk berhaji lebih dari sekali, patut untuk direnungkan. Dengan kondisi saat ini, dimana jumlah umat Islam yang ingin menunaikan ibadah haji cukup besar, pandangan memberlakukan aturan atau batasan untuk berhaji cukup sekali, menurut penulis sangat tepat. Pasalnya, banyak umat Islam yang ingin berhaji, namun gagal berangkat karena terkendala oleh kuota yang terbatas. Selain karena minim kuota, kondisi ini diperparah lagi dengan banyaknya mereka yang sudah berhaji dan bermaksud untuk mengulanginya lagi.

Banyak alasan yang dikemukakan para jamaah haji yang ingin mengulangi atau berhaji kembali. Pertama, karena haji yang pertama dirasa kurang mantap, sehingga ia bermaksud untuk mengualnginya dan menyempurnakannya. Kedua, mengulang haji karena akan menghajikan orang lain. Ketiga, berhaji lagi karena menjadi muhrim atau pembimbing jamaah haji. Keempat, karena berhaji lebih dari sekali adalah sunnah.

Menurut seorang pakar fiqh asal Irak, Ibrahim Yazid An-Nakhai, walaupun hadits Rasulullah SAW menyatakan bahwa haji yang kedua dan seterusnya adalah sunnah, namun hukum itu bisa berubah, manakala ada atau tidak ada illat (alasan) yang mengikutinya. Kaidah ushul fiqh menyebutkan, Al-hukmu yadurru ma'a illatihi, wujudan wa 'adaman. (Hukum itu beredar (berlaku) sesuai dengan ada atau tidaknya illat).

Khalifah Umar Ibn Khattab RA pun pernah menangguh dan membatalkan hokum yang dalam Alquran dinyatakan sebagai hukum yang sudah pasti (qath'i). Yaitu, ketika salah seorang warga miskin yang terpaksa mencuri barang karena anak-anaknya kelaparan. Sesuai dengan hukum Islam, orang yang mencuri harus dipotong tangannya. Namun, karena dia terpaksa melakukan pencurian akibat kelaparan, maka Khalifah Umar RA justru tidak melakukan hukum potong tangan dan memerintahkan orang yang barangnya dicuri itu agar memberikan sejumlah barangnya kepada si pencuri tersebut.

Dengan bersandar pada kaidah tersebut, menurut Ibrahim An-Nakhai, berhaji lebih dari sekali yang hukum asalnya sunnah bisa menjadi makruh. Diantara alasannya, apabila ada orang yang belum pergi haji dan ingin berangkat namun gagal karena terbatasnya kuota, sementara didalamnya ada orang yang sudah berhaji, maka hukumnya makruh.

Ulama yang juga budayawan, KH A Mustofa Bisri (akrab disapa Gus Mus) dalam bukunya Fiqh Keseharian Gus Mus, menyatakan, membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim dan membiayai pendidikan anak yang tidak mampu lebih utama daripada berhaji yang kedua kali.

Merujuk pada kaidah usul fiqh, Gus Mus menyatakan: Al-Muta'addi Afdhalu min al-Qaashir (Yang luas itu lebih baik/utama (afdhal) daripada yang ringkas). Maksudnya, membantu fakir miskin, anak yatim, membangun lembaga pendidikan dan lain sebagainya yang manfaatnya lebih luas, lebih afdhal (mulia) daripada berhaji untuk kedua kali atau lebih yang manfaatnya hanya untuk diri sendiri.

Tentu saja, memberi sedekah dan membangun lembaga pendidikan, akan lebih besar manfaatnya (maslahah). Bahkan, andaikata dari setiap musim haji terdapat 10.000 orang yang sudah pergi haji, dan uang BPIH minimal Rp 25 juta itu disumbangkan untuk kepentingan membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim dan lainnya, maka akan terkumpul dana dari haji setiap tahun sebesar Rp 250 miliar.

Imam Malik, pencetus metode pengambilan hukum fiqh, Maslahah Mursalah, mengungkapkan, tiap maslahah merupakan pengkhususan (takhshih) dari keumuman hukum atau dalil yang qath'i (pasti) dan dzanny (yang meragukan).(Lihat Abu Zahrah, Usul Fiqh).

Merujuk pada pandangan ini, penulis berpendapat, ajaran Islam dan perintah Allah untuk menyantuni fakir miskin dan anak yatim, merupakah ke-maslahat-an yang lebih qath'i (pasti) dan jelas, daripada berhaji berulang-ulang yang maslahat-nya hanya untuk diri pribadi. Rasulullah SAW pun sering memerintahkan umatnya untuk membantu fakir miskin dan menyantuni anak yatim. ''Barangsiapa tidak mau memperhatikan urusan orang Muslim, maka Ia tidak termasuk golongan mereka.'' Lebih tegas lagi, Rasulullah mengatakan, ''Tidak termasuk orang yang beriman, orang yang tidur kekenyangan, sementara dirinya (mengetahui) ada tetangganya yang sedang kelaparan dan kekurangan.''

Karenanya, bagi umat Islam yang sudah haji dan ingin berhaji lagi, alangkah baik dan bijaknya, andaikata bisa menggunakan dana untuk haji yang kedua atau lebih itu untuk kepentingan umat yang membutuhkan.

Bukankah Rasulullah SAW telah menegaskan, ''Apabila anak cucu Adam (manusia) telah meninggal dunia, maka akan terputuslah semua amalnya. Kecuali tiga perkara, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.'' Berdasarkan hadits ini, --tentu-- membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, memberikan biaya pendidikan bagi anak yang tidak mampu, merupakan suatu amal jariyah yang akan langgeng bagi pribadi muslim yang ikhlas beramal, kendati dirinya telah terbujur kaku di liang kubur.


Peranan Pembimbing

Jika kita mau jujur dan mengevaluasi diri, sebagian besar umat Islam yang menunaikan ibadah haji --bahkan yang berhaji beberapa kali—belum maksimal memahami makna dan kandungan dari setiap prosesi ibadah haji. Jangankan makna dan tujuannya, memahami syarat, rukun, wajib dan sunnah haji saja banyak yang tidak mengetahui dan memahaminya secara tepat. Tak heran, ada jamaah yang gencar mengejar sunnah, namun meninggalkan yang wajib. Adapula yang mengutamakan syarat, tapi melupakan yang rukun.

Tentu saja, kita sangat mengharapkan para jamaah haji bisa meraih predikat haji mabrur. Yakni yang melaksanakan syarat, rukun, wajib dan sunnah haji secara sempurna dan paska haji, memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesamanya.

Para jamaah haji, sebagian besar --tentu-- pernah mendengar kisah Mubarak yang tidak pergi haji, namun oleh Rasulullah SAW, justru mendapatkan predikat haji mabrur. Ini disebabkan, oleh sikap dan perilakunya yang lebih mendahulukan kepentingan orang lain yang lebih membutuhkan, ketimbang mengejar gelar haji untuk dirinya sendiri. Ia gagal berangkat haji, karena dana untuk pergi haji diberikan kepada tetangganya yang sedang sakit untuk berobat. Atas sikap ikhlas dan dermawannya, oleh Rasulullah Ia mendapatkan predikat haji mabrur. Subhanallah.

Disinilah menurut hemat penulis, dibutuhkan peranan yang lebih optimal bimbingan manasik dari para pembimbing haji terhadap calon jamaah haji. Pembimbing tidak saja bertanggung jawab atas kelancaran proses pelaksanaan ibadah jamaah, lebih dari itu, pembimbing juga bertanggung jawab mengantarkan jamaah haji menjadi pribadi-pribadi muslim yang santun, dermawan, peduli dan memiliki akhlak terpuji, rajin mengerjakan shalat fardlu secara berjamaah, mengeluarkan zakat dan memperbanyak amalan sunnah lainnya sehingga bisa menggapai predikat haji mabrur.

Menurut penulis, bimbingan manasik haji tidak cukup hanya dilakukan selama 5-10 kali pertemuan. Bimbingan manasik harus dilakukan minimal setahun sebelum jamaah berangkat. Lebih lama tentu makin baik. Tujuannya, agar jamaah benar-benar memahami setiap tahapan prosesi ibadah haji dengan baik tanpa harus selalu bertanya kepada pembimbing. Dengan demikian, akan muncul keberanian dan kemandirian jamaah tanpa harus selalu bergantung pada pembimbing.

Disinilah yang kita harapkan peranan pembimbing dan bimbingan manasik yang lebih optimal. Kelancaran pelaksanaan prosesi ibadah haji, selain kuatnya pemahaman masing-masing pribadi jamaah, tetapi juga berkat peranan pembimbing dan bimbingan manasik yang optimal. Sekadar saran dan usul, ada baiknya setiap umat Islam yang akan menunaikan ibadah haji, memiliki sertifikasi kelulusan dalam memahami hasil bimbingan manasik. Mereka yang belum mendapatkan sertifikasi, hendaknya dapat menunda dulu keberangkatannya. Tujuannya, agar kewajiban melaksanakan ibadah haji yang sekali itu, benar-benar menghasilkan pribadi muslim yang sholeh.

Tentunya, sertifikasi itu harus merefleksikan kemampuan dan pemahaman jamaah. Sertifikasi kelulusan diberikan bukan karena adanya kepentingan tertentu, melainkan karena kemampuan dan pemahaman dari jamaah. Pemberi sertifikasi, --pemerintah, depag, KBIH atau pembimbing—memiliki tanggung jawab moral yang harus dipertanggung-jawabkan kelak di akhirat. Dengan demikian, mereka yang berhaji adalah orang-orang yang mampu dalam arti sesungguhnya.

Disinilah peranan KBIH menjadi sangat penting dalam meningkatkan pemahaman jamaah haji. Dengan bimbingan yang optimal, maka jamaah nantinya juga tidak membutuhkan lagi tugas pembimbing ketika di Tanah Suci, kecuali petugas khusus (TKHI, TKHD, TPIHI dan lainnya) yang ditunjuk oleh pemerintah. KBIH dan pembimbing cukup hanya sampai di embarkasi keberangkatan. Hal ini sejalan dengan harapan Menag yang ingin merumuskan kembali fungsi KBIH yang kini banyak berubah menjadi lahan bisnis.


Aturan Pembatasan

Jika nantinya aturan pembatasan itu dilakukan hendaknya diatur secara bijak. Sebab, animo masyarakat muslim untuk menunaikan ibadah haji sangat besar. Aturan tersebut hendaknya tidak menimbulkan permasalahan baru yang lebih rumit. Penulis menyarankan, mereka yang berkeinginan untuk berhaji lagi, hendaknya setelah memasuki masa 10 atau lima tahun kemudian. Dengan demikian, pemerataan bagi mereka yang belum berhaji sama sekali, dapat sedikit mengurangi daftar antrian yang cukup panjang.

Alternatif lainnya, adalah dengan mengatur mereka yang akan berhaji lebih dari sekali, harus atau wajib melalui biro haji khusus (PIHK/ONH Plus) dengan jumlah sekitar 5-10 persen dari jumlah kuota haji Indonesia. Sebab, mereka yang akan berhaji lagi adalah tergolong mereka yang sangat mampu (sebagian diatas rata-rata). Wa Allahu A'lamu Bi Al-Shawab.

*) Pemerhati masalah sosial keagamaan, tinggal di Depok, Jawa Barat.

1 komentar:

Ratna Tanjung mengatakan...

thank you for your posting. It helps me to force debate competition. Thank a lot
:)