Kamis, 27 Maret 2008

Who is Muhammad (SAW) anyway ?

Who is Muhammad (SAW) anyway ?

Siapa sih sebenarnya Muhammad itu? Apa sih keistimewaanya hingga membuat banyak pengamat, peneliti bahkan lawan-lawannya, takjub oleh Keagungannya. Itulah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Ia adalah Rasul dan Nabi terakhir yang diutus oleh Allah SWT untuk memperbaiki akhlak manusia. Tidak ada Nabi dan Rasul sesudahnya.

Berikut ini, beberapa pandangan pengamat, peneliti, tokoh agama terhadap Rasulullah SAW.


ENCYCLOPEDIA BRITANNICA

"Sejumlah besar sumber awal menunjukkan bahwa dia adalah seseorang yang jujur dan berbudi baik yang dihormati dan ditaati orang-orang yang sepertinya (jujur dan berbudi baik) (Vol. 12)"


MAHATMA GANDHI (Komentar mengenai karakter Muhammad di YOUNG INDIA):

Pernah saya bertanya-tanya siapakah tokoh yang paling mempengaruhi manusia... Saya lebih dari yakin bahwa bukan pedanglah yang memberikan kebesaran pada Islam pada masanya. Tapi ia datang dari kesederhanaan, kebersahajaan, kehati-hatian Muhammad; serta pengabdian luar biasa kepada teman dan pengikutnya, tekadnya, keberaniannya, serta keyakinannya pada Tuhan dan tugasnya. Semua ini (dan bukan pedang ) menyingkirkan segala halangan. Ketika saya menutup halaman terakhir volume 2 (biografi Muhammad), saya sedih karena tiada lagi cerita yang tersisa dari hidupnya yang agung.


Sir George Bernard Shaw (The Genuine Islam,' Vol. 1, No. 8, 1936.)

Jika ada agama yang berpeluang menguasai Inggris bahkan Eropa - beberapa ratus tahun dari sekarang, Islam-lah agama tersebut."

Saya senantiasa menghormati agama Muhammad karena potensi yang dimilikinya. Ini adalah satu-satunya agama yang bagi saya memiliki kemampuan menyatukan dan merubah peradaban. Saya sudah mempelajari Muhammad sesosok pribadi agung yang jauh dari kesan seorang anti-kristus, dia harus dipanggil 'sang penyelamat kemanusiaan. Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan sedemikian hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia: Ramalanku, keyakinan yang dibawanya akan diterima Eropa di masa datang dan memang ia telah mulai diterima Eropa saat ini.

Dia adalah manusia teragung yang pernah menginjakkan kakinya di bumi ini. Dia membawa sebuah agama, mendirikan sebuah bangsa, meletakkan dasar-dasar moral, memulai sekian banyak gerakan pembaruan sosial dan politik, mendirikan sebuah masyarakat yang kuat dan dinamis untuk melaksanakan dan mewakili seluruh ajarannya, dan ia juga telah merevolusi pikiran serta perilaku manusia untuk seluruh masa yang akan datang.

Dia adalah Muhammad (SAW). Dia lahir di Arab tahun 570 masehi, memulai misi mengajarkan agama kebenaran, Islam (penyerahan diri pada Tuhan) pada usia 40 dan meninggalkan dunia ini pada usia 63.

Sepanjang masa kenabiannya yang pendek (23 tahun) dia telah merubah Jazirah Arab dari paganisme dan pemuja makhluk menjadi para pemuja Tuhan yang Esa, dari peperangan dan perpecahan antar suku menjadi bangsa yang bersatu, dari kaum pemabuk dan pengacau menjadi kaum pemikir dan penyabar, dari kaum tak berhukum dan anarkis menjadi kaum yang teratur, dari kebobrokan kekeagungan moral. Sejarah manusia tidak pernah mengenal tranformasi sebuah masyarakat atau tempat sedahsyat ini dan bayangkan ini terjadi dalam kurun waktu hanya sedikit di atas DUA DEKADE."


MICHAEL H. HART (THE 100: A RANKING OF THE MOST INFLUENTIAL PERSONS IN HISTORY, New York, 1978)

Pilihan saya untuk menempatkan Muhammad pada urutan teratas mungkin mengejutkan semua pihak, tapi dialah satu-satunya orang yang sukses baik dalam tataran sekular maupun agama. (hal. 33).

Lamar tine, seorang sejarawan terkemuka menyatakan bahwa: Jika keagungan sebuah tujuan, kecilnya fasilitas yang diberikan untuk mencapai tujuan tersebut, serta menakjubkannya hasil yang dicapai menjadi tolok ukur kejeniusan seorang manusia; siapakah yang berani membandingkan tokoh hebat manapun dalam sejarah modern dengan Muhammad?

Tokoh-tokoh itu membangun pasukan, hukum dan kerajaan saja. Mereka hanyalah menciptakan kekuatan-kekuatan material yang hancur bahkan di depan mata mereka sendiri. Muhammad bergerak tidak hanya dengan tentara, hukum, kerajaan, rakyat dan dinasti, tapi jutaan manusia di dua per tiga wilayah dunia saat itu; lebih dari itu, ia telah merubah altar-altar pemujaan, sesembahan, agama, pikiran, kepercayaan serta jiwa... Kesabarannya dalam kemenangan dan ambisinya yang dipersembahkan untuk satu tujuan tanpa sama sekali berhasrat membangun kekuasaan, sembahyang-sembahyangnya, dialognya dengan Tuhan, kematiannnya dan kemenangan-kemenangan (umatnya) setelah kematiannya; semuanya membawa keyakinan umatnya hingga ia memiliki kekuatan untuk mengembalikan sebuah dogma. Dogma yang mengajarkan ketunggalan dan kegaiban (immateriality) Tuhan yang mengajarkan siapa sesungguhnya Tuhan. Dia singkirkan tuhan palsu dengan kekuatan dan mengenalkan tuhan yang sesungguhnya dengan kebijakan.

Seorang filsuf yang juga seorang orator, apostle (hawariyyun, 12 orang pengikut Yesus-pen.), prajurit, ahli hukum, penakluk ide, pegembali dogma-dogma rasional dari sebuah ajaran tanpa pengidolaan, pendiri 20 kerajaan di bumi dan satu kerajaan spiritual, ialah Muhammad.

Dari semua standar bagaimana kehebatan seorang manusia diukur, mungkin kita patut bertanya: adakah orang yang lebih agung dari dia?"


(Lamar tine, HISTOIRE DE LA TURQUIE, Paris, 1854, Vol. II, pp 276-277)

"Dunia telah menyaksikan banyak pribadi-pribadi agung. Namun, dari orang orang tersebut adalah orang yang sukses pada satu atau dua bidang saja misalnya agama atau militer. Hidup dan ajaran orang-orang ini seringkali terselimuti kabut waktu dan zaman. Begitu banyak spekulasi tentang waktu dan tempat lahir mereka, cara dan gaya hidup mereka, sifat dan detail ajaran mereka, serta tingkat dan ukuran kesuksesan mereka sehingga sulit bagi manusia untuk merekonstruksi ajaran dan hidup tokoh-tokoh ini.

Tidak demikian dengan orang ini. Muhammad (SAW) telah begitu tinggi menggapai dalam berbagai bidang pikir dan perilaku manusia dalam sebuah episode cemerlang sejarah manusia. Setiap detil dari kehidupan pribadi dan ucapan-ucapannya telah secara akurat didokumentasikan dan dijaga dengan teliti sampai saat ini. Keaslian ajarannya begitu terjaga, tidak saja oleh karena penelusuran yang dilakukan para pengikut setianya tapi juga oleh para penentangnya.

Muhammad adalah seorang agamawan, reformis sosial, teladan moral, administrator massa, sahabat setia, teman yang menyenangkan, suami yang penuh kasih dan seorang ayah yang penyayang -semua menjadi satu. Tiada lagi manusia dalam sejarah melebihi atau bahkan menyamainya dalam setiap aspek kehidupan tersebut - hanya dengan kepribadian seperti dialah keagungan seperti ini dapat diraih."


K. S. RAMAKRISHNA RAO, Professor Philosophy dalam bookletnya, "Muhammad, The Prophet of Islam"

Kepribadian Muhammad, hhmm sangat sulit untuk menggambarkannya dengan tepat. Saya pun hanya bisa menangkap sekilas saja: betapa ia adalah lukisan yang indah. Anda bisa lihat Muhammad sang Nabi, Muhammad sang pejuang, Muhammad sang pengusaha, Muhammad sang negarawan, Muhammad sang orator ulung, Muhammad sang pembaharu, Muhammad sang pelindung anak yatim-piatu, Muhammad sang pelindung hamba sahaya, Muhammad sang pembela hak wanita, Muhammad sang hakim, Muhamad sang pemuka agama. Dalam setiap perannya tadi, ia adalah seorang pahlawan.

Saat ini, 14 abad kemudian, kehidupan dan ajaran Muhammad tetap selamat, tiada yang hilang atau berubah sedikit pun. Ajaran yang menawarkan secercah harapan abadi tentang obat atas segala penyakit kemanusiaan yang ada dan telah ada sejak masa hidupnya. Ini bukanlah klaim seorang pengikutnya tapi juga sebuah simpulan tak terelakkan dari sebuah analisis sejarah yang kritis dan tidak bias.


PROF. (SNOUCK) HURGRONJE:

Liga bangsa-bangsa yang didirikan Nabi umat Islam telah meletakkan dasar-dasar persatuan internasional dan persaudaraan manusia di atas pondasi yang universal yang menerangi bagi bangsa lain.

Buktinya, sampai saat ini tiada satu bangsa pun di dunia yang mampu menyamai Islam dalam capaiannya mewujudkan ide persatuan bangsa-bangsa.

Dunia telah banyak mengenal konsep ketuhanan, telah banyak individu yang hidup dan misinya lenyap menjadi legenda. Sejarah menunjukkan tiada satu pun legenda ini yang menyamai bahkan sebagian dari apa yang Muhammad capai. Seluruh jiwa raganya ia curahkan untuk satu tujuan: menyatukan manusia dalam pengabdian kapada Tuhan dalam aturan-aturan ketinggian moral. Muhammad atau pengikutnya tidak pernah dalam sejarah menyatakan bahwa ia adalah putra Tuhan atau reinkarnasi Tuhan atau seorang jelmaan Tuhan dia selalu sejak dahulu sampai saat ini menganggap dirinya dan dianggap oleh pengikutnya hanyalah sebagai seorang pesuruh yang dipilih Tuhan.


THOMAS CARLYLE in his HEROES AND HEROWORSHIP

(Betapa menakjubkan) seorang manusia sendirian dapat mengubah suku-suku yang saling berperang dan kaum nomaden menjadi sebuah bangsa yang paling maju dan paling berperadaban hanya dalam waktu kurang dari dua decade.

"Kebohongan yang dipropagandakan kaum Barat yang diselimutkan kepada orang ini (Muhammad) hanyalah mempermalukan diri kita sendiri.

Sesosok jiwa besar yang tenang, seorang yang mau tidak mau harus dijunjung tinggi. Dia diciptakan untuk menerangi dunia, begitulah perintah Sang Pencipta Dunia.


EDWARD GIBBON and SIMON OCKLEY speaking on the profession of ISLAM write:

Saya percaya bahwa Tuhan adalah tunggal dan Muhammad adalah pesuruh-Nya adalah pengakuan kebenaran Islam yang simpel dan seragam. Tuhan tidak pernah dihinakan dengan pujaan-pujaan kemakhlukan; penghormatan terhadap Sang Nabi tidak pernah berubah menjadi pengkultusan berlebihan; dan prinsip-prinsip hidupnya telah memberinya penghormatan dari pengikutnya dalam batas-batas akal dan agama.

(HISTORY OF THE SARACEN EMPIRES, London, 1870, p. 54).

Muhammad tidak lebih dari seorang manusia biasa. Tapi ia adalah manusia dengan tugas mulia untuk menyatukan manusia dalam pengabdian terhadap satu dan hanya satu Tuhan serta untuk mengajarkan hidup yang jujur dan lurus sesuai perintah Tuhan. Dia selalu menggambarkan dirinya sebagai hamba dan pesuruh Tuhan dan demikianlah juga setiap tindakannya.


SAROJINI NAIDU, penyair terkenal India (S. Naidu, IDEALS OF ISLAM, vide Speeches & Writings, Madras, 1918, p. 169):

Inilah agama pertama yang mengajarkan dan mempraktekkan demokrasi; di setiap masjid, ketika adzan dikumandangkan dan jemaah telah berkumpul, demokrasi dalam Islam terwujud lima kali sehari ketika seorang hamba dan seorang raja berlutut berdampingan dan mengakui: Allah Maha Besar... Saya terpukau lagi dan lagi oleh kebersamaan Islam yang secara naluriah membuat manusia menjadi bersaudara.


DIWAN CHAND SHARMA:

Muhammad adalah sosok penuh kebaikan, pengaruhnya dirasakkan dan tak pernah dilupakan orang-orang terdekatnya. (D.C. Sharma, THE PROPHETS OF THE EAST, Calcutta, 1935, pp. 12)


James A. Michener, "Islam: The Misunderstood Religion," in READER'S DIGEST (American edition), May 1955, pp. 68-70.

Muhammad, seorang inspirator yang mendirikan Islam, dilahirkan pada tahun 570 masehi dalam masyarakat Arab penyembah berhala. Yatim semenjak kecil dia secara khusus memberikan perhatian kepada fakir miskin, yatim piatu dan janda, serta hamba sahaya dan kaum lemah. Di usia 20 tahun, dia sudah menjadi seorang pengusaha yang sukses, dan menjadi pengelola bisnis seorang janda kaya. Ketika mencapai usia 25, sang majikan melamarnya. Meski usia perempuan tersebut 15 tahun lebih tua Muhammad menikahinya dan tetap setia kepadanya sepanjang hayat sang istri.

Seperti halnya para nabi lain, Muhammad memulai tugas kenabiannya dengan sembunyi2 dan ragu2 karena menyadari kelemahannya. Tapi Baca adalah perintah yang diperolehnya, -dan meskipun sampai saat ini diyakini bahwa Muhammad tidak bisa membaca dan menulis dan keluarlah dari mulutnya satu kalimat yang akan segera mengubah dunia: Tiada tuhan selain Allah.

"Dalam setiap hal, Muhammad adalah seorang yang mengedepankan akal. Ketika putranya, Ibrahim, meninggal disertai gerhana dan menimbulkan anggapan ummatnya bahwa hal tersebut adalah wujud rasa belasungkawa Tuhan kepadanya, Muhammad berkata: Gerhana adalah sebuah kejadian alam biasa, adalah suatu kebodohan mengkaitkannya dengan kematian atau kelahiran seorang manusia. "Sesaat setelah ia meninggal, sebagian pengikutnya hendak memujanya sebagaimana Tuhan dipuja, akan tetapi penerus kepemimpinannya (Abu Bakar-pen.) menepis keinginan ummatnya itu dengan salah satu pidato relijius terindah sepanjang masa:

Jika ada diatara kalian yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa ia telah meninggal. Tapi jika Tuhan-lah yang hendak kalian sembah, ketahuilah bahwa Ia hidup selamanya. (Ayat terkait: Q.S. Al Imran, 144 - pen.)


W. Montgomery Watt, MOHAMMAD AT MECCA, Oxford, 1953, p. 52.

Kesiapannya menempuh tantangan atas keyakinannya, ketinggian moral para pengikutnya, serta pencapaiannya yang luar biasa semuanya menunjukkan integritasnya. Mengira Muhammad sebagai seorang penipu hanyalah memberikan masalah dan bukan jawaban. Lebih dari itu, tiada figur hebat yang digambarkan begitu buruk di Barat selain Muhammad.

Annie Besant, THE LIFE AND TEACHINGS OF MUHAMMAD, Madras, 1932, p. 4.

"Sangat mustahil bagi seseorang yang memperlajari karakter Nabi Bangsa Arab, yang mengetahui bagaimana ajarannya dan bagaimana hidupnya untuk merasakan selain hormat terhadap beliau, salah satu utusan-Nya. Dan meskipun dalam semua yang saya gambarkan banyak hal-hal yang terasa biasa, namun setiap kali saya membaca ulang kisah-kisahnya, setiap kali pula saya merasakan kekaguman dan penghormatan kepada sang Guru Bangsa Arab tersebut."


Bosworth Smith, MOHAMMAD AND MOHAMMADANISM, London, 1874, p. 92.

Dia adalah perpaduan Caesar dan Paus; tapi dia adalah sang Paus tanpa pretensinya dan seorang caesar tanpa Legionnaire-nya: tanpa tentara, tanpa pengawal, tanpa istana, tanpa pengahasilan tetap; jika ada seorang manusia yang pantas untuk berkata bahwa dia-lah wakil Tuhan penguasa dunia, Muhammad lah orang itu, karena dia memiliki kekuatan meski ia tak memiliki segala instrument atau penyokongnya.


John William Draper, M.D., L.L.D., A History of the Intellectual Development of Europe, London 1875, Vol.1, pp.329-330

Empat tahun setelah kematian Justinian, pada 569 AD, telah lahir di Mekkah Arabia seorang manusia yang sangat besar pengaruhnya terhadap ummat manusia John Austin, "Muhammad the Prophet of Allah," in T.P. 's and Cassel's Weekly for 24th September 1927.

Dalam kurun waktu hanya sedikit lebih dari satu tahun, ia telah menjadi pemimpin di Madinah. Kedua tangannya memegang sebuah tuas yang siap mengguncang dunia. Professor Jules Masserman Pasteur dan Salk adalah pemimpin dalam satu hal (intelektualitas-pen). Gandhi dan Konfusius pada hal lain serta Alexander, Caesar dan Hitler mungkin pemimpin pada kategori kedua dan ketiga (reliji dan militer pen.).

Jesus dan Buddha mungkin hanya pada kategori kedua. Mungkin pemimpin terbesar sepanjang masa adalah Muhammad, yang sukses pada ketiga kategori tersebut. Dalam skala yang lebih kecil Musa melakukan hal yang sama.

Selasa, 18 Maret 2008

MEMAKSIMALKAN PERAN PEMBIMBING HAJI

Pro-Kontra Berhaji Sekali Seumur Hidup
MEMAKSIMALKAN PERAN PEMBIMBING HAJI
by: Syahruddin El-Fikri

Ibadah haji merupakan perintah Allah SWT yang wajib dikerjakan oleh setiap umat Islam, khususnya bagi yang mampu (istithoah) untuk pergi ke Baitullah (Kabah) di Tanah Suci (Makkah). Hal ini telah ditegaskan Allah SWT dalam Alquran (QS.Ali Imran :97).

Mampu disini adalah mampu dalam hal biaya (harta). Artinya, jamaah yang akan berangkat menunaikan ibadah haji, memiliki biaya untuk pergi ke Tanah Suci dan biaya bagi keluarga yang ditinggalkan di Tanah Air. Harta tersebut milik pribadi dan bukan berhutang. Atau berangkat haji karena tugas atau diberangkatkan seseorang maupun lembaga. Dengan demikian, mereka yang berangkat haji dan keluarganya yang ditinggalkan tidak terlantar.

Selain mampu dalam hal biaya, umat Islam yang akan menunaikan ibadah haji, hendaknya juga mampu dalam hal fisik. Artinya, secara fisik yang bersangkutan mampu melaksanakan ibadah haji. Ia tidak dalam keadaan sakit (sehingga menghalanginya untuk ke Tanah Suci), dan tidak pula sedang hamil (yang dikhawatirkan akan membahayakan diri dan janin yang dikandungnya). Sebab, banyak calon jamaah haji (CJH) yang sudah mampu secara materi (bahkan sudah lunas biaya perjalanan ibadah haji/BPIH), dan belum hamil, namun menjelang keberangkatan atau saat tes kesehatan (diantaranya suntik miningitis), yang bersangkutan gagal berangkat karena kendala kesehatan.

Disamping kedua hal tersebut (biaya dan kesehatan), kalangan ulama juga sepakat bahwa makna Istithoah (mampu) dalam ayat 97 surah Ali Imran tersebut diatas, juga mampu memahami tata cara beribadah haji dengan baik dan benar. Mulai dari memakai pakaian ihram, niat haji dan umrah, tawaf (mengelilingi Kabah), sa'i (lari-lari kecil dari bukit Shofa ke bukit Marwah), wukuf (berhenti) di Arafah untuk mendengarkan Khutbah Arafah, melontar jumrah, mabit (bermalam di Mina dan Muzdalifah), tahallul (memotong sebagian rambut), dan lainnya.

Dengan mengetahui dan memahami prosesi dan tata cara beribadah haji dengan baik dan benar, maka jamaah tidak memiliki ketergantungan atau bergantung pada pembimbing ibadah haji. Selanjutnya diharapkan, jamaah akan mendapatkan predikat haji mabrur (diterima oleh Allah SWT). ''Tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga.'' (HR. Bukhari-Muslim).

Tentu saja, kerugian besarlah bagi mereka yang mengerjakan haji, namun tidak mendapatkan predikat haji mabrur. Al-Ghazali dalam magnum opus-nya Ihya 'Ulumuddin, menyebutkan, mereka yang mengerjakan haji, namun tidak memahami maksud dan makna yang terkandung dalam setiap prosesi ibadah haji adalah orang yang teperdaya, tertipu (ghurur).


Sekali Berhaji

Dengan jaminan balasan yang besar itu, maka jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia, datang berbondong-bondong ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. ''Serulah mereka (untuk berhaji), niscaya mereka akan datang kepada-mu dengan berkendaraan dan berjalan kaki menuju Makkah.''

Bahkan karena itu pula, sebagian umat Islam ada yang mengerjakannya lebih dari sekali. Sebab, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, diantara umrah yang satu dengan yang lain adalah penghapus dosa, dan tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga. Selain itu, dengan kemampuan yang dimiliki, maka mengerjakan haji lebih dari sekali itu hukumnya sunnah. ''(Haji) yang pertama itu hukumnya wajib, sedangkan yang selanjutnya (lebih dari sekali, pen) adalah sunnah.'' (HR. Ahmad).

Karena alasan ini pula (bahwa berhaji lebih dari sekali itu hukumnya sunnah), Menteri Agama (Menag) RI, HM Maftuh Basyuni, bermaksud memberlakukan 'larangan' atau aturan bagi yang sudah berhaji untuk mengerjakan haji lagi. Disamping alasan tersebut, Menag juga melihat besarnya animo (keinginan) umat Islam untuk memenuhi rukun Islam yang kelima ini dan menjadi Tamu-tamu Allah (dluyufurrahman).

Seperti diketahui, kuota jamaah haji Indonesia pada tahun 2007 mencapai 210 ribu orang. Sementara, setiap tahun jumlah umat Islam di Indonesia yang ingin menunaikan haji mencapai terus bertambah. Mereka yang belum mendapatkan porsi, harus antri dan menunggu giliran untuk berangkat (waiting list). Jumlahnya yang antri ini mencapai puluhan hingga ratusan ribu orang. Di beberapa daerah, bahkan ada CJH yang harus antri hingga lima tahun kedepan. Sebagian diantaranya adalah umat Islam yang sudah pernah berhaji dan sebagian besar lainnya adalah mereka yang belum berhaji sama sekali. Karena keterbatasan kuota inilah, maka mereka harus menunggu untuk tahun-tahun berikutnya.


Karena hal tersebut, maka Menag bermaksud memberlakukan aturan Berhaji Cukup Sekali Seumur Hidup itu. Tujuannya, agar terjadi pemerataan, dan mereka yang berkeinginan untuk berhaji lagi dapat mengurungkan niatnya dan mempergunakan dananya itu untuk kepentingan umat yang lebih besar, seperti membantu lembaga pendidikan, membangun sekolah serta membiayai pendidikan anak yatim dan tidak mampu.

Tak heran, keinginan Menag ini pun mendapatkan sejumlah respon dari masyarakat. Ada yang setuju, namun lebih banyak yang tidak. Bahkan, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang juga Rois 'Am PBNU, Dr HC KH A Sahal Mahfudz, merupakan salah seorang yang tidak setuju dengan aturan itu. Menurut Mbah Sahal, ibadah haji merupakan ibadah yang khusus (hanya untuk orang yang mampu), maka tidak perlu ada pengkhususan lagi. Selain itu, seseorang bahkan negara tidak berhak melarang penduduknya untuk melaksanakan ibadah yang justru diperintahkan oleh Sang Pencipta. (Lihat SM, 19/12).

Bahkan, ada pandangan yang lebih ekstrem lagi, dengan menyebutkan bahwa Menag adalah orang yang tidak memahami ajaran agama yang dianutnya, maka selayaknya untuk diganti.


Kaidah Fiqh

Tanpa bermaksud memihak siapapun, pandangan Menag untuk memberlakukan aturan atau bahkan -mungkin- larangan untuk berhaji lebih dari sekali, patut untuk direnungkan. Dengan kondisi saat ini, dimana jumlah umat Islam yang ingin menunaikan ibadah haji cukup besar, pandangan memberlakukan aturan atau batasan untuk berhaji cukup sekali, menurut penulis sangat tepat. Pasalnya, banyak umat Islam yang ingin berhaji, namun gagal berangkat karena terkendala oleh kuota yang terbatas. Selain karena minim kuota, kondisi ini diperparah lagi dengan banyaknya mereka yang sudah berhaji dan bermaksud untuk mengulanginya lagi.

Banyak alasan yang dikemukakan para jamaah haji yang ingin mengulangi atau berhaji kembali. Pertama, karena haji yang pertama dirasa kurang mantap, sehingga ia bermaksud untuk mengualnginya dan menyempurnakannya. Kedua, mengulang haji karena akan menghajikan orang lain. Ketiga, berhaji lagi karena menjadi muhrim atau pembimbing jamaah haji. Keempat, karena berhaji lebih dari sekali adalah sunnah.

Menurut seorang pakar fiqh asal Irak, Ibrahim Yazid An-Nakhai, walaupun hadits Rasulullah SAW menyatakan bahwa haji yang kedua dan seterusnya adalah sunnah, namun hukum itu bisa berubah, manakala ada atau tidak ada illat (alasan) yang mengikutinya. Kaidah ushul fiqh menyebutkan, Al-hukmu yadurru ma'a illatihi, wujudan wa 'adaman. (Hukum itu beredar (berlaku) sesuai dengan ada atau tidaknya illat).

Khalifah Umar Ibn Khattab RA pun pernah menangguh dan membatalkan hokum yang dalam Alquran dinyatakan sebagai hukum yang sudah pasti (qath'i). Yaitu, ketika salah seorang warga miskin yang terpaksa mencuri barang karena anak-anaknya kelaparan. Sesuai dengan hukum Islam, orang yang mencuri harus dipotong tangannya. Namun, karena dia terpaksa melakukan pencurian akibat kelaparan, maka Khalifah Umar RA justru tidak melakukan hukum potong tangan dan memerintahkan orang yang barangnya dicuri itu agar memberikan sejumlah barangnya kepada si pencuri tersebut.

Dengan bersandar pada kaidah tersebut, menurut Ibrahim An-Nakhai, berhaji lebih dari sekali yang hukum asalnya sunnah bisa menjadi makruh. Diantara alasannya, apabila ada orang yang belum pergi haji dan ingin berangkat namun gagal karena terbatasnya kuota, sementara didalamnya ada orang yang sudah berhaji, maka hukumnya makruh.

Ulama yang juga budayawan, KH A Mustofa Bisri (akrab disapa Gus Mus) dalam bukunya Fiqh Keseharian Gus Mus, menyatakan, membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim dan membiayai pendidikan anak yang tidak mampu lebih utama daripada berhaji yang kedua kali.

Merujuk pada kaidah usul fiqh, Gus Mus menyatakan: Al-Muta'addi Afdhalu min al-Qaashir (Yang luas itu lebih baik/utama (afdhal) daripada yang ringkas). Maksudnya, membantu fakir miskin, anak yatim, membangun lembaga pendidikan dan lain sebagainya yang manfaatnya lebih luas, lebih afdhal (mulia) daripada berhaji untuk kedua kali atau lebih yang manfaatnya hanya untuk diri sendiri.

Tentu saja, memberi sedekah dan membangun lembaga pendidikan, akan lebih besar manfaatnya (maslahah). Bahkan, andaikata dari setiap musim haji terdapat 10.000 orang yang sudah pergi haji, dan uang BPIH minimal Rp 25 juta itu disumbangkan untuk kepentingan membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim dan lainnya, maka akan terkumpul dana dari haji setiap tahun sebesar Rp 250 miliar.

Imam Malik, pencetus metode pengambilan hukum fiqh, Maslahah Mursalah, mengungkapkan, tiap maslahah merupakan pengkhususan (takhshih) dari keumuman hukum atau dalil yang qath'i (pasti) dan dzanny (yang meragukan).(Lihat Abu Zahrah, Usul Fiqh).

Merujuk pada pandangan ini, penulis berpendapat, ajaran Islam dan perintah Allah untuk menyantuni fakir miskin dan anak yatim, merupakah ke-maslahat-an yang lebih qath'i (pasti) dan jelas, daripada berhaji berulang-ulang yang maslahat-nya hanya untuk diri pribadi. Rasulullah SAW pun sering memerintahkan umatnya untuk membantu fakir miskin dan menyantuni anak yatim. ''Barangsiapa tidak mau memperhatikan urusan orang Muslim, maka Ia tidak termasuk golongan mereka.'' Lebih tegas lagi, Rasulullah mengatakan, ''Tidak termasuk orang yang beriman, orang yang tidur kekenyangan, sementara dirinya (mengetahui) ada tetangganya yang sedang kelaparan dan kekurangan.''

Karenanya, bagi umat Islam yang sudah haji dan ingin berhaji lagi, alangkah baik dan bijaknya, andaikata bisa menggunakan dana untuk haji yang kedua atau lebih itu untuk kepentingan umat yang membutuhkan.

Bukankah Rasulullah SAW telah menegaskan, ''Apabila anak cucu Adam (manusia) telah meninggal dunia, maka akan terputuslah semua amalnya. Kecuali tiga perkara, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.'' Berdasarkan hadits ini, --tentu-- membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, memberikan biaya pendidikan bagi anak yang tidak mampu, merupakan suatu amal jariyah yang akan langgeng bagi pribadi muslim yang ikhlas beramal, kendati dirinya telah terbujur kaku di liang kubur.


Peranan Pembimbing

Jika kita mau jujur dan mengevaluasi diri, sebagian besar umat Islam yang menunaikan ibadah haji --bahkan yang berhaji beberapa kali—belum maksimal memahami makna dan kandungan dari setiap prosesi ibadah haji. Jangankan makna dan tujuannya, memahami syarat, rukun, wajib dan sunnah haji saja banyak yang tidak mengetahui dan memahaminya secara tepat. Tak heran, ada jamaah yang gencar mengejar sunnah, namun meninggalkan yang wajib. Adapula yang mengutamakan syarat, tapi melupakan yang rukun.

Tentu saja, kita sangat mengharapkan para jamaah haji bisa meraih predikat haji mabrur. Yakni yang melaksanakan syarat, rukun, wajib dan sunnah haji secara sempurna dan paska haji, memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesamanya.

Para jamaah haji, sebagian besar --tentu-- pernah mendengar kisah Mubarak yang tidak pergi haji, namun oleh Rasulullah SAW, justru mendapatkan predikat haji mabrur. Ini disebabkan, oleh sikap dan perilakunya yang lebih mendahulukan kepentingan orang lain yang lebih membutuhkan, ketimbang mengejar gelar haji untuk dirinya sendiri. Ia gagal berangkat haji, karena dana untuk pergi haji diberikan kepada tetangganya yang sedang sakit untuk berobat. Atas sikap ikhlas dan dermawannya, oleh Rasulullah Ia mendapatkan predikat haji mabrur. Subhanallah.

Disinilah menurut hemat penulis, dibutuhkan peranan yang lebih optimal bimbingan manasik dari para pembimbing haji terhadap calon jamaah haji. Pembimbing tidak saja bertanggung jawab atas kelancaran proses pelaksanaan ibadah jamaah, lebih dari itu, pembimbing juga bertanggung jawab mengantarkan jamaah haji menjadi pribadi-pribadi muslim yang santun, dermawan, peduli dan memiliki akhlak terpuji, rajin mengerjakan shalat fardlu secara berjamaah, mengeluarkan zakat dan memperbanyak amalan sunnah lainnya sehingga bisa menggapai predikat haji mabrur.

Menurut penulis, bimbingan manasik haji tidak cukup hanya dilakukan selama 5-10 kali pertemuan. Bimbingan manasik harus dilakukan minimal setahun sebelum jamaah berangkat. Lebih lama tentu makin baik. Tujuannya, agar jamaah benar-benar memahami setiap tahapan prosesi ibadah haji dengan baik tanpa harus selalu bertanya kepada pembimbing. Dengan demikian, akan muncul keberanian dan kemandirian jamaah tanpa harus selalu bergantung pada pembimbing.

Disinilah yang kita harapkan peranan pembimbing dan bimbingan manasik yang lebih optimal. Kelancaran pelaksanaan prosesi ibadah haji, selain kuatnya pemahaman masing-masing pribadi jamaah, tetapi juga berkat peranan pembimbing dan bimbingan manasik yang optimal. Sekadar saran dan usul, ada baiknya setiap umat Islam yang akan menunaikan ibadah haji, memiliki sertifikasi kelulusan dalam memahami hasil bimbingan manasik. Mereka yang belum mendapatkan sertifikasi, hendaknya dapat menunda dulu keberangkatannya. Tujuannya, agar kewajiban melaksanakan ibadah haji yang sekali itu, benar-benar menghasilkan pribadi muslim yang sholeh.

Tentunya, sertifikasi itu harus merefleksikan kemampuan dan pemahaman jamaah. Sertifikasi kelulusan diberikan bukan karena adanya kepentingan tertentu, melainkan karena kemampuan dan pemahaman dari jamaah. Pemberi sertifikasi, --pemerintah, depag, KBIH atau pembimbing—memiliki tanggung jawab moral yang harus dipertanggung-jawabkan kelak di akhirat. Dengan demikian, mereka yang berhaji adalah orang-orang yang mampu dalam arti sesungguhnya.

Disinilah peranan KBIH menjadi sangat penting dalam meningkatkan pemahaman jamaah haji. Dengan bimbingan yang optimal, maka jamaah nantinya juga tidak membutuhkan lagi tugas pembimbing ketika di Tanah Suci, kecuali petugas khusus (TKHI, TKHD, TPIHI dan lainnya) yang ditunjuk oleh pemerintah. KBIH dan pembimbing cukup hanya sampai di embarkasi keberangkatan. Hal ini sejalan dengan harapan Menag yang ingin merumuskan kembali fungsi KBIH yang kini banyak berubah menjadi lahan bisnis.


Aturan Pembatasan

Jika nantinya aturan pembatasan itu dilakukan hendaknya diatur secara bijak. Sebab, animo masyarakat muslim untuk menunaikan ibadah haji sangat besar. Aturan tersebut hendaknya tidak menimbulkan permasalahan baru yang lebih rumit. Penulis menyarankan, mereka yang berkeinginan untuk berhaji lagi, hendaknya setelah memasuki masa 10 atau lima tahun kemudian. Dengan demikian, pemerataan bagi mereka yang belum berhaji sama sekali, dapat sedikit mengurangi daftar antrian yang cukup panjang.

Alternatif lainnya, adalah dengan mengatur mereka yang akan berhaji lebih dari sekali, harus atau wajib melalui biro haji khusus (PIHK/ONH Plus) dengan jumlah sekitar 5-10 persen dari jumlah kuota haji Indonesia. Sebab, mereka yang akan berhaji lagi adalah tergolong mereka yang sangat mampu (sebagian diatas rata-rata). Wa Allahu A'lamu Bi Al-Shawab.

*) Pemerhati masalah sosial keagamaan, tinggal di Depok, Jawa Barat.

Senin, 10 Maret 2008

SULTAN MUHAMMAD II : Sang Penakluk Konstantinopel

Rabu, 05 Maret 2008
(www.republika.co.id)

Rabu, 05 Maret 2008
SULTAN MUHAMMAD II : Sang Penakluk Konstantinopel



Teka-teki mengenai sosok ‘pemimpin terbaik’ seperti yang dijanjikan Rasulullah SAW akhirnya terjawab sudah. Sang penakluk Konstantinopel itu bernama Sultan Muhammad Al-Fatih atau Barat menyebutnya Sultan Mehmed II. Pemimpin yang telah diprediksi Rasulullah delapan abad sebelumnya itu terlahir pada 29 Maret 1432.

Itu berarti, Sultan Muhammad tampil secara gemilang memimpin ratusan ribu tentara Muslim menggempur ibukota Bizantium pada usia 21 tahun. Sebuah pencapain yang begitu gemilang. Ketika Sultan Muhammad terlahir ke dunia, kedua orangtuanya sudah melihat isyarat bahwa sang buah hati akan menjadi pimpinan besar.

Menjelang kelahirannya, sang ayah Sultan Murad - juga sebenarnya sebenarnya sedang mempersiapkan diri untuk menggempur imperium Bizantium yang berbasis di Konstantinopel. Seorang ulama besar Syekh Syamsuddin Al Wali dari Khurasan sudah melihat tanda-tanda pada bayi yang diberi nama Muhammad itu.

Syekh Syamsuddin Al-Wali pun mendidik dan membimbing Sultan Muhammad II sejak masih kecil hingga menemaninya ke medan pertempuran untuk menaklukkan Konstantinopel. Sultan yang bergelar Al-Fatih atau ‘Sang Penakluk’ itu digembleng dengan pendidikan tarekat sufi dan keterampilan berperang. Ia didik dengan disiplin tinggi dan keras.

Sehingga, Sultan Muhammad II sudah terbiasa dalam hidup susah dan menahan hawa nafsu. Ujian dan latihan yang dilaluinya sejak masa kecil itu, kelak membuatnya menjadi seorang pemuda berjiwa kuat dan tahan banting. Semua itu dipersiapkan demi untuk menepati janji Sang Pencipta melalui Rasulullah SAW, yakni menaklukkan Konstantinopel.

Pelajaran teknik dan strategi perang didalaminya dari sejumlah panglima berpengalaman. Menginjak usia 19 tahun, Pengeran Muhammad akhirnya didaulat menjadi sultan. Sebelum sukses menjebol benteng Bizantium, dia mendidik tentara dan rakyatnya agar menjadi orang-orang bertaqwa. Bermodalkan itulah, dia mammpu menggerakkan semangat para tentaranya untuk berjuang menegakkan janji Tuhan. Merebut Konstantinopel dari kekuasaan Bizantium. Janji itu akhirnya terbukti.


---------000---------

Penguasa Istanbul



Muhammad (Mehmed) II (1451-1481):
Sultan ketujuh yang berhasil
menaklukan Konstantinopel.

Beyazid II (1481-1512)
Selim I (1512-1520)
Sulaiman I (1520-1566)
Selim II (1566-1574)
Murad III (1574-1595)
Mehmed III (1595-1603)
Ahmed I (1603-1617)
Mustafa I (1617-1618)
Osman II (1618-1622)
Mustafa I (1622-1623)
Murad IV (1623-1640)
Ibrahim I (1640-1648)
Mehmed IV (1648-1687)
Suleiman II (1687-1691)
Ahmed II (1691-1695)
Mustafa II (1695-1703)
Ahmed III (1703-1730)
Mahmud I (1730-1754)
Osman III (1754-1757)
Mustafa III (1757-1774)
Abd-ul-Hamid I (1774-1789)
Selim III (1789-1807)
Mustafa IV (1807-1808)
Mahmud II (1808-1839)
Abd-ul-Mejid I (1839-1861)
Abd-ul-Aziz (1861-1876)
Murad V (1876)
Abd-ul-Hamid II (1876-1909)
Mehmed V (Resad)
(1909-1918)
Mehmed VI (Vahideddin) (1918- 1922)
Abd-ul-Mejid II, (1922-1924)

( )

Istambul, Kota Impian Para Raja


Rabu, 05 Maret 2008
ISTANBUL : Kota Impian Para Raja

(www.republika.co.id)

Prediksi Rasulullah SAW mengenai kejatuhan Konstantinopel itu akhirnya benar-benar terbukti. Kamis, 26 Rabiul Awal 857 H/ 6 April 1453 M, pasukan tentara Muslim di bawah komando Sultan Muhammad II tiba di ibukota negara adikuasa bernama Bizantium. Sultan pun berkirim surat kepada penguasa Bizantium yang berisi ajakan untuk masuk Islam atau menyerahkan Konstantinopel secara damai.

Perang menjadi pilihan terakhir. Namun, penguasa kota itu Constantine Paleologus - menolak seruan dakwah dan berkukuh tak mau menyerahkan Konstantinopel ke tangan Umat Islam. Paleologus lebih memilih jalan perang. Pasukan tentara Bizantium dibantu Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovanni Giustiniani dari Genoa, siap menghadapi meriam-meriam tercanggih dan 130 ribu tentara Muslim.

Lantaran tawarannya ditolak, Sultan ketujuh dari Kerajaan Usmani itu pun mulai mengobarkan semangat jihad. Gema takbir terus membahana seiring derasnya serangan yang dilancarkan pasukan Sultan Mehmed - begitu orang Barat menyebutnya — ke benteng Bizantium yang kokoh. Pertempuran hebat pun meletus.

Kerajaan Ottoman dengan strategi, teknologi perang, serta kepemimpinan militer yang tangguh, dan 130 ribu pasukan akhirnya berhasil membungkam kepongahan Bizantium. Setelah 53 hari berjibaku angkat senjata, dengan semangat jihad pasukan Sultan Muhammad akhirnya berhasil menguasai Konstantinopel.

Harapan dan impian umat Islam untuk menundukkan Bizantium yang telah dirintis sejak tahun 664 M akhirnya tercapai. Kemenangan yang tertunda selama 800 tahun itu akhirnya tiba juga. Sejak saat itu, bendera Kerajaan Usmani berkibar di langit Konstantinopel, kota impian para raja, kaisar dan sultan.

Konstantinopel pun memasuki era baru. Kota itu lalu berganti nama menjadi Istanbul yang berarti ‘kota Islam’, sekaligus menjadi ibukota Kerajaan Ottoman. Sebuah momentum penting dalam sejarah dunia. Kali pertama menduduki kota penting itu, Kerajaan Usmani mulai menegakkan hukum di kota itu.

Tak ada pembantaian terhadap penduduk Konstantinopel. Bahkan, pemerintahan Islam Usmani bekerja sama dengan umat Kristen untuk kembali membangun perekonomian, menjalin persahabatan dengan Yunani. Dinasti Usmani juga terus mengepakkan sayap kekuasaannya ke wilayah Mesir, Arabia, dan Syiria. Yang tak kalah pentingnya, kerajaan Usmani menyebarkan ajaran Islam hingga ke kawasan Balkan.

Seiring dengan menancapnya dominasi Islam, wajah bekas kota Konstantinopel itu pun berganti rupa. Bangunan masjid bermunculan, namun tetap dengan corak arsitektur Bizantum yang khas. Tak heran, jika pengaruh Bizantium ikut mewarnai gaya arsitektur Islam di Turki. Kemegahan bangunan Gereja Aya Sofia banyak mewarnai arsitektur masjid di Istanbul.

Di bawah kekuasaan Daulah Usmani, Istanbul terus berbenah. Pembangunan pun terus berlanjut, sepeninggal Sultan Muhammad (Mehmed) II. Pada era kepemimpinan Sultan Sulaiman I (1520-1566), pada tahun 1550 di Istanbul berdiri Masjid Sulaiman. Bangunan masjid itu berdiri kokoh dengan empat menara dan kubahnya lebih tinggi dari Aya Sofia.

Guna menambah jumlah penduduk Muslim di Istanbul, umat Islam yang tinggal di Anatolia dan Rumeli dianjurkan untuk bermigrasi ke Istanbul. Akhir 1457, migrasi besar-besaran terjadi dari Edirne bekas ibu kota Kerajaan Usmani ke Istanbul. Pada 1459, kota terbesar di Eropa itu dibagi menjadi empat wilayah administratif.

Sebagai sebuah kota besar pada zamannya, di Istanbul pun berdiri berbagai sarana dan prasarana publik. Tak kurang ada 81 masjid besar serta 52 masjid berukuran sedang di kota itu. Untuk mendidik para generasi muda, tersedia 55 madrasah, tujuh asrama besar untuk mempelajari Alquran.

Fasilitas sosial pun bermunculan, tak kurang lima takiyah atau tempat memberi makan fakir miskin berdiri. Tiga rumah sakit disediakan untuk mengobati penduduk kota. Tujuh buah jembatan juga dibangun untuk memperlancar arus transportasi. Guna menunjukkan kejayaannya, Kerajaan Usmani membangun 33 istana dan 18 unit pesanggrahan.

Selain itu, 33 tempat pemandian umum juga telah disediakan di berbagai penjuru kota. Untuk menyimpan benda-benda bersejarah, pemerintah Usmani pun menyediakan lima museum. Pada 14 Juli 1509, Istanbul sempat diguncang gempa bumi dahsyat atau yang dikenal sebagai ‘kiamat kecil’.

Ribuan bangunan yang awalnya berdiri kokoh akhirnya luluh lantak. Mulai 1510 M, Sultan Bayezid bahu membahu membangun kembali kota Istanbul selama 80 tahun. Hingga akhirnya, kota Istanbul kembali tampil megah dan gagah.

Pada tahun 1727 M pada masa Ibrahim Muteferika - seorang ilmuwan terkemuka - di Istanbul dibuka percetakan. Seiring dengan lahirnya fatwa dari Syekh Al-Islam kerajaan, buku-buku selain Alquran, hadits, fikih, ilmu kalam dan tafsir juga mulai diperbolehkan untuk dicetak. Sejak itulah, buku-buku tentang kedokteran, astronomi, ilmu pasti, sejarah, dan lainnya dicetak. Apalagi mulai 1727 sudah mulai berdiri badan penerjemah.

Sayangnya, ketika imperium Usmani memegang kendali kekuasaan, jejak peradaban yang ditinggalkan pada abad ke-8 M sampai ke-13 M tak dilanjutkan. Daulah Usmani lebih berkonsentrasi membangun pertahanan dan armada perang untuk memperluas wilayah kekuasaan, ketimbang membangun universitas dan pusat-pusat riset ilmu pengetahuan.

Seiring kemunduran yang dialami Kerajaan Usmani, Turki akhirnya berubah haluan menjadi negara sekuler pada 1923. Di bawah kepemimpinan Kemal Attaturk, sekulerisme menjadi ideologi negara. Semua simbol Islam dilarang, penggunaan bahasa dan aksara Arab diganti huruf Latin.

Dakwah diawasi. Bahkan pada 1925, Attaturk melarang tarekat dan pergi haji. Pendidikan agama amat dibatasi. Pengadilan agama ditutup, hukum pernikahan Islam diganti dengan hukum positif Swedia. Kini angin segar kembali berhembus di Istanbul. Muslimah kini diperbolehkan lagi mengenakan jilbab.

Kubah Simbol Kebesaran Islam

Selasa, 04 Maret 2008

Kubah Simbol Kebesaran Islam

(www.republika.co.id)

Megah dan indah. Pesona itulah yang terpancar dari sebuah bangunan masjid berkubah. Sebagai salah satu komponen arsitektur masjid, sejatinya kubah tak sekedar menampilkan kemegahan dan keindahan belaka. Lebih dari itu, kubah juga memiliki fungsi sebagai penanda arah kiblat dari bagian luar dan menerangi bagian interior masjid.

Dalam tulisan berjudul A review of Mosque Architecture, Foundation for Science Technology Civilisation (FSTC) mengungkapkan, keberadaan kubah dalam arsitektur Islam paling tidak memiliki dua interpretasi simbolik. Yakni, merepresentasikan kubah surga dan menjadi semacam simbol kekuasaan dan kebesaran Tuhan.

Seperti halnya menara dan mihrab, secara historis kubah belum dikenal pada masa Rasulullah SAW. Arsitektur terkemuka, Prof K Cresswell dalam Early Muslim Architecture menyatakan bahwa pada desain awal masjid Madinah sama sekali belum mengenal kubah. Dalam rekonstruksi arsitekturnya, Cresswell menunjukkan betapa sederhananya masjid yang dibangun Nabi Muhammad SAW.

Arsitektur awal masjid Rasul berbentuk segi empat dengan dinding sebagai pembatas sekelilingnya. Di sepanjang bagian dalam dinding tersebut dibuat semacam serambi yang langsung berhubungan dengan lapangan terbuka yang berada di tengahnya. Seiring berkembangnya teknologi arsitektur, maka kubah pun muncul sebagai penutup bangunan masjid.

Kubah memang bukan berasal dan berakar dari arsitektur Islam. Itu karena memang ajaran Islam tidak membawa secara langsung tradisi budaya fisik atau Islam tidak mengajarkan secara konkrit tata bentuk arsitektur. Islam memberi kesempatan kepada umatnya untuk menentukan pilihan-pilihan fisiknya pada akal-budi.

Hampir semua kebudayaan mengenal dan memiliki kubah. Dari masa ke masa bentuk kubah selalu berubah-ubah. Konon, peradaban pertama yang mengenal dan menggunakan kubah adalah bangsa Mesopotamia sejak 6000 tahun yang lalu. Pada abad ke-14 SM, di Mycenaean Greeks sudah ditemukan bangunan makam berbentuk kubah (tholos tombs).

Namun, ada pula yang menyatakan bahwa kubah mulai muncul pada masa Imperium Romawi, sekitar tahun 100 M. Salah satu buktinya adalah bangunan pantheon (kuil) di kota Roma yang dibangun Raja Hadria pada 118 M - 128 M. Penggunaan kubah tercatat mulai berkembang pesat di periode awal masa Kristen.

Struktur dan bentang kubah pada waktu itu tak terlalu besar, seperti terdapat pada bangunan Santa Costanza di Roma. Pada era kekuasaan Bizantium, Kaisar Justinian juga telah membangun kubah kuno yang megah. Pada tahun 500 M, dia menggunakan kubah pada bangunan Hagia Spohia di Konstantinopel.

Lalu sejak kapan Islam mulai menggunakan kubah pada arsitektur masjid? Secara historis dan arkeologis, kubah pertama dalam arsitektur Islam ditemukan di Kubah Batu (Dome of Rock) atau yang biasa dikenal sebagai Masjid Umar di Yerusalem. Kubah Batu dibangun sekitar tahun 685 M sampai 691 M.

Interior Kubah Batu dihiasi dengan arabesk - hiasan berbentuk geometris, tanaman rambatan dan ornamen kaligrafi. Unsur hiasan sempat menjadi ciri khas arsitektur Islam sejak abad ke-7 M. Hingga kini, kaligrafi masih menjadi ornamen yang menghiasi interior bangunan sebuah masjid.

Sejak saat itulah, para arsitek Islam terus mengembangkan beragam gaya kubah pada masjid yang dibangunnya. Pada abad ke-12 M, di Kairo kubah menjadi semacam lambang arsitektur nasional Mesir dalam struktur masyarakat Islam. Dari masa ke masa bentuk kubah pada masjid juga terus berubah mengikuti perkembangan teknologi.

Ketika Islam menyebar dan berinteraksi dengan budaya dan peradaban lain, para arsitek Islam tampaknya tidak segan-segan untuk mengambil pilihan-pilihan bentuk yang sudah ada, termasuk teknik dan cara membangun yang memang sudah dimiliki oleh masyarakat setempat tersebut.

Tak heran, jika bentuk kubah masjid pun terbilang beragam, sesuai dengan budaya dan tempat masyarakat Muslim tinggal. Hampir di setiap negara berpenduduk Muslim memiliki masjid berkubah. Di antara masjid berkubah yang terkenal antara lain; Masjid Biru di Istanbul Turki, Taj Mahal di Agra India, Kubah Batu di Yerusalem, dan lainnya.

Secara umum, kubah berbentuk seperti separuh bola atau seperti kerucut yang permukaannya melengkung keluar. Berdasarkan bentuknya, dalam dunia arsitektur dikenal ada 'kubah piring', karena puncak yang rendah dan dasar yang besar.

Selain itu, ada pula 'kubah bawang', karena hampir menyerupai bentuk bawang. Kubah biasanya akan diletakkan pada tempat tertinggi di atas bangunan, berfungsi sebagai atap. Ada pula yang ditempatkan di atas rangka bangunan petak dengan menggunakan singgah kubah.

Kubah juga biasa dianggap seperti gerbang yang diputarkan pada rangka penyangganya. Ini bermakna bahwa kubah mempunyai kekuatan struktur yang besar, laiknya jembatan gerbang tertekan. Pada awalnya, kubah dibangun dari batu bata atau beton. Seiring berkembangnya teknologi, kubah masjid pun dibentuk dari bahan alumunium.

Di era modern, para arsitektur sudah memperkenalkan bentuk kubah geodesi. Kubah ini berbentuk hemisfer dan menggunakan kekisi sebagai rangka, menjadikannya lebih ringan. Perkembangan teknologi juga memungkinkan penggunaan cermin dan plastik sebagai padatan. Kini keberadaan kubah pada bangunan masjid telah bergeser dari tuntutan fungsional -- keinginan untuk membentuk struktur bentang lebar pada ruang masjid - menjadi ciri dan simbol peradaban Islam yang ditempatkan pada bangunan masjid.

Kehadiran kubah pada bangunan masjid-masjid di Indonesia terbilang masih baru. Atap kubah baru hadir di Indonesia pada akhir abad ke-19 M. Itu berarti, selama lima abad lamanya, bangunan masjid di Nusantara tak menggunakan atap. Bahkan di Jawa, atap masjid berkubah baru muncul pada pertengahan abad ke-20 M.

Kubah merupakan elemen yang dapat menghadirkan ruang positif yang besar pada suatu bangunan. Ruang positif yang dihadirkan kubah pada bangunan masjid membuat orang yang berada di dalamnya akan merasa leluasa. Selain menghadirkan kesan megah, keberadaan kubah juga dapat membuat orang yang beribadah di masjid merasa kecil di hadapan kebesaran Tuhan yang menciptakannya.

Cikal Bakal Masjid Berkubah

Selasa, 04 Maret 2008

Cikal Bakal Masjid Berkubah
(www.republika.co.id)


Kubah Batu atau Dome of The Rock adalah salah satu bangunan suci umat Islam. Masjid berkubah pertama itu berada di tengah kompleks Al-Haram asy-Syarif yang terletak di sebelah timur di dalam Kota Lama Yerusalem (Baitul Maqdis).

Masjid itu berkubah keemasan. Sedangkan Masjid Al-Aqsa yang berkubah biru berada pada sisi tenggara Al-Haram asy-Syarif menghadap arah kiblat (kota Mekkah). Pembangunan masjid itu dimulai ketika Yerusalem jatuh ke dalam kekuasaan Islam pada era Khalifah Umar bin Khattab. Tak heran, jika masjid itu disebut Masjid Umar.

Adalah Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang memprakarsai pembangunan Kubah Batu pada tahun 66 H/685 M dan selesai tahun 72 H/691 M. Pembangunan masjid itu sepenuhnya dikerjakan dua orang arsitek Muslim yakni Raja' bin Hayat dari Bitsan dan Yazid bin Salam dari Yerusalem. Keduanya dari Palestina.

Bangunan Kubah Batu terdiri dari tiga tingkatan. Tingkatan pertama dan kedua tingginya mencapai 35,3 meter. Secara keseluruhan, tinggi masjid itu mencapai 39,3 meter. Keadaan ruang di dalamnya terdiri tiga koridor yang sejajar melingkari batu (sakhrah). Koridor bagian dalam merupakan lantai thawaf yang langsung mengelilingi batu seperti tempat thawaf di Masjidil Haram.

Di dalamnya dipenuhi ukiran-ukiran model Bizantium. Di dalamnya terdapat mihrab-mihrab besar jumlahnya 13 buah dan masing-masing mihrab terdiri dari 104 mihrab kecil. Untuk memasukinya ada empat pintu gerbang besar yang masing-masing dilengkapi atap.

Bentuk kubahnya banyak dipengaruhi arsitektur Bizantium. Sejarawan Al-Maqdisi menuturkan bahwa biaya pembangunan masjid itu mencapai 100 ribu koin emas dinar. Di dalam masjid itu terdapat batu atau sakhrah berukuran 56 x 42 kaki. Di bawah sakhrah terdapat gua segi empat yang luasnya 4,5 meter x 4,5 meter dan tingginya 1,5 meter.

Pada atap gua terdapat lubang seluas satu meter. Batu tersebut disebut sakhrah mukadassah (batu suci). Di batu tersebut Nabi Muhammad melakukan mi'raj dan sebagai saksi peristiwa tersebut maka dibangunlah Kubah Sakhrah di atasnya. Menurut literatur Islam, nilai kesucian sakhrah sama dengan Hajar Aswad (batu hitam).

Beragam Bentuk Kubah Masjid

Selasa, 04 Maret 2008

Beragam Bentuk Kubah Masjid
(www.republika.co.id)


Bentuk kubah masjid sangat beragam, terutama menyangkut proporsinya. Secara umum, bangunan masjid berkubah paling mudah ditemukan di sekitar wilayah Iran dan Asia Tengah, Turki, Mesir, serta India subkontinen. Pada awalnya, kubah relatif jarang ditemukan di tanah Arab, Afrika, Eropa, termasuk Asia. Namun, kini bangunan masjid baru dan modern di kawasan itu sudah menggunakan kubah.

Di wilayah Afrika Utara, seperti Maroko, Fez dan Tunisia, bentuk kubah masjidnya berbentuk menekan, bulat rendah. Sedangkan di Mesir bentuk kubahnya berbentuk setengah oval yang disebut al-ihliji (eliptis, berbentuk bulat panjang) seperti lengkung telur - lebih dari setengah lingkaran.

Selain itu, bangunan masjid di Mesir juga banyak juga yang berbentuk silinder (ustuwani) serta berbentuk kerucut (makhrut). Sementara itu, di kawasan Persia, kubah masjidnya berbentuk bawang, lancip ke atas.

Sedangkan, kubah masjid di India agak bulat dan ada juga yang berbentuk kubah Persia. Di Turki, bentuk kubah masjidnya masih kental bernuansa Bizantium. Bentuk kubah bergaya Bizantium juga menyebar di kawasan Balkan yang dulunya dikuasai Turki. Di Indonesia, bentuk kubah masjid juga terbilang beragam. Ada yang berbentuk bulat dan ada pula yang berbentuk joglo, seperti kubah masjid di Jawa. Bahkan, di Sumatera Barat banyak ditemukan kubah masjid berbentuk tanduk kerbau.

Kairo: Kota Segala Peradaban

Kamis, 28 Februari 2008

Kairo Kota Segala Peradaban
(www.republika.co.id)

Kairo menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam dan gudang barang-barang dagang untuk eropa dan dunia timur

Kota seribu menara. Itulah julukan yang disandang Kairo - salah satu kota penting dalam sejarah peradaban Islam. Pada abad pertengahan, ibukota Mesir yang berada di benua Afrika itu memainkan peranan yang hampir sama pentingnya dengan Baghdad di Persia serta Cordoba di Eropa.

Kairo yang terletak di delta Sungai Nil telah didiami manusia Mesir Kuno sejak tahun 3500 SM. Mesir Kuno sempat mencapai kemakmuran di bawah penguasa Zoser, Khufu, Khafre, Menaure, Unas dan lainnya. Di masa itu, ibukota Mesir Kuno itu sudah menjadi salah satu kota yang berpengaruh di dunia.

Sejak 30 SM, Mesir dikuasai bangsa Romawi. Kekuasaan Romawi di Mesir akhirnya tumbang ketika Islam menjejakkan pengaruhnya pada tahun 641 M. Adalah pasukan di bawah komando jenderal perang Muslim, Amar bin Al-Ash yang pertama kali menancapkan pengaruh Islam di Mesir. Saat itu, Amar bin Al-Ash justru menjadikan Fustat - kini bagian kota Cairo - sebagai pusat pemerintahannya.

Di Fustat itulah, bangunan masjid pertama kali berdiri di daratan Afrika. Fustat tercatat mengalami pasang-surut sebagai sebuah kota utama di Mesir selama 500 tahun. Penjelajah dari Persia, Nasir-i-Khusron mencatat kemajuan yang dicapai Fustat. Ia melihat betapa eksotik dan indahnya barang-barang di pasar Fustat, seperti tembikar warna-warni, kristal dan begitu melimpahnya buah-buahan dan bunga, sekalipun di musim dingin.

Dari tahun 975 sampai 1075 M Fustat menjadi pusat produksi keramik dan karya seni Islami - sekaligus salah satu kota terkaya di dunia. Ketika Dinasti Umayyah digulingkan Dinasti Abbasiyah pada 750 M, pusat pemerintahan Islam di Mesir dipindahkan ke Al-Askar - basis pendukung Abbasiyah. Kota itu bertahan menjadi ibukota pemerintahan hingga tahun 868 M. Sekitar 1168 M, Fustat dibumihanguskan agar tak dikuasai tentara Perang Salib.

Berdirinya Cairo sebagai ibukota dan pusat pemerintahan diawali gerakan penumpasan golongan Syiah yang dilancarkan penguasa Abbasiyah di Baghdad. Kongsi yang dibangun golongan Syiah dengan Bani Abbas untuk menjatuhkan Bani Umayyah akhirnya pecah.

Penguasa Abbasiyah mencoba meredam perlawanan golongan Syiah Ismailiyah di bawah pimpinan Ubaidillah Al-Mahdi. Setelah sempat ditahan, Ubadilah akhirnya dibaiat menjadi khalifah bergelar Al-Mahdi Amir Al-Mu'minin (909 M). Pengganti Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi, Muizz Lidinillah mulai mengalihkan perhatiannya ke Mesir.

Ia menunjuk Panglima Jauhar Al-Katib As-Siqili untuk menaklukan Mesir. Tahun 969 M, Mesir berada dalam kekuasaan Syiah Ismailiyah. Sejak itu, mereka membangun kota baru yang diberi nama Al-Qahirah atau Kairo yang berarti 'penaklukan' atau 'kejayaan'. Pada 972 M, di Kairo telah berdiri Masjid Al-Azhar.

Kota Cairo tumbuh pesat setelah pada tahun 973, seiring dengan hijrahnya Khalifah Mu'izz Lidinillah dari Qairawan ke Mesir. Sejak saat itu, Kairo mencapai kejayaan sebagai pusat pemerintahan Dinasti Fatimiyah. Dinasti itu menorehkan kegemilangan selama 200 tahun. Di masa itu, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz.

Kairo tumbuh dan berkembang sebagai pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia. Kairo pun menggabungkan Fustat sebagai bagian dari wilayah administratifnya. Tak heran, jika Cairo tumbuh semakin pesat sebagai salah satu metropolis modern yang diperhitungkan dan berpengaruh.

Pada era itu pula, Cairo menjelma menjadi pusat intelektual dan kegiatan ilmiah baru. Bahkan, pada masa pemerintahan Abu Mansur Nizar Al-Aziz (975 M - 996 M), Kairo mampu bersaing dengan dua ibu kota Dinasti Islam lainnya yakni, Baghdad di bawah Dinasti Abbasiyah dan Cordoba pusat pemerintahan Umayyah di Spanyol. Kini, Universitas Al-Azhar menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka yang berada di kota itu.

Jika kedua dinasti lainnya mampu membangun istana, Bani Fatimiyah pun mampu mendirikannya. Selain itu, ketiga dinasti yang tersebar di tiga benua itu juga berlomba membangun masjid. Dinasti Abbasiyah di Baghdad bangga memiliki Masjid Samarra, Dinasti Umayyah memiliki Masjid Cordoba dan Fatimiyah memiliki Masjid Al-Azhar.

Fatimiyah mencapai kemajuan yang pesat dalam administrasi negara. Karena, pada saat itu, dinasti itu mengutamakan kecakapan dibandingkan keturunan dalam merekrut pegawai. Toleransi pun dikembangkan. Penganut Sunni yang profesional pun diangkat kedudukannya laiknya Syiah. Toleransi antarumat beragama pun begitu tinggi. Siapapun yang mampu bisa duduk di pemerintahan.

Diakhir masa kejayaan Fatimiyah, Kairo hampir saja jatuh ke dalam kekuasaan tentara Perang Salib pada 1167 M. Untunglah panglima perang Salahudin Al-Ayubi berhasil menghalaunya. Sejak itu, Salahudin kemudian mendeklarasikan kekuasaannya di bawah bendera Dinasti Ayubiyah - penganut Sunni. Dinasti itu hanya mampu bertahan selama 75 tahun.

Kairo kemudian diambil alih Dinasti Mamluk. Sekitar tiga abad lamanya Mamluk menjadikan Kairo sebagai pusat pemerintahannya. Ketika Baghdad dihancurkan bangsa Mongol pada 1258 M, pasukan Hulagu Khan tak mampu menembus benteng pertahanan Kairo. Selama periode itu, Kairo menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam dan gudang barang-barang dagang untuk Eropa dan dunia Timur.

Kairo juga sempat dikuasai Turki. Sejak kekuasaan Turki berakhir pada 1517 M, kota itu sempat tenggelam. Kairo kembali menggeliat ketika pada awal abad modern, Muhammad Ali memimpin Mesir. Kota itu pun menjelma sebagai pusat pembaruan Islam zaman modern. Demikianlah perjalanan panjang kota Kairo.

Jejak Ilmu Pengetahuan di Bumi Cairo

Kamis, 28 Februari 2008
Jejak Ilmu Pengetahuan di Bumi Cairo

(www.republika.co.id)

Laiknya tiga metropolis intelektual era abad pertengahan, seperti Baghdad, Cordoba, dan Bukhara, dari Kairo juga muncul sederet ilmuwan Muslim yang berpengaruh. Pasalnya, pada era kejayaan Dinasti Fatimiyah dan Mamluk Cairo telah menjadi kota tempat berkumpulnya para ilmuwan serta sarjana yang melakukan kegiatan ilmiah.

Memasuki abad modern, Kairo juga telah melahir sejumlah pemikir pembaruan Islam. Berikut adalah beberapa nama di antara sederet ilmuwan dan sarjana serta pemikir pembaruan Islam yang muncul dari pusat peradaban Islam di benua Afrika itu:

* Ibnu Al-Haytham
Dialah peletak dasar-dasar teori optik modern. Orang barat menyebutnya Al-Hazen. Lewat karya ilmiahnya, Kitab Al Manadhir atau Kitab Optik, ia menjelaskan berbagai ragam fenomena cahaya termasuk sistem penglihatan manusia. Selama lebih dari 500 tahun, Kitab Al Madahir terus bertahan sebagai buku paling penting dalam ilmu optik.

* Ibnu Al-Baytar
Nama lengkapnya Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Al-Baytar. Dia adalah ahli botani sekaligus ahli obat-obatan terhebat banyak melakukan penelitian dan kegiatan ilmiah di Cairo. Dia berhasil mengumpulkan dan memberikan catatan terhadap lebih dari 1.400 jenis tanaman obat. Dialah ahli Botani terkemuka di Arab.

* Jamaluddin Al-Afghani
Dia adalah seorang pemikir pembaruan Islam yang secara lantang menyuarakan pentingnya menegakkan solidaritas pan-Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa dengan kembali kepada Islam. Dalam perlawanannya terhadap penjajah imperialisme Barat, Jamaluddin mengobarkan semangat persatuan Islam dengan jalan mengajak kembali kepada Al-Qur'an serta menghilangkan bid'ah dan khurafat.

* Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam. Ia belajar tentang filsafat dan logika di Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamaluddin Al-Afghani, seorang filsuf dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan-Islamisme untuk menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika.

* Sayyid Qutub
Sayyid bin haji Qutub bin Ibrahim, lahir tahun 1906 di sebuah desa bernama Qaha di wilayah Asyith, Mesir. Ideologi Islam dikemukakan Qutub sebagai ideology alternatif. Baginya tak ada jalan lain kecuali menegakkan Islam. Dalam bukunya Hadza al-Din, dia menegaskan bahwa Islam satu-satunya agama wahyu dan di amin kebenarannya dan dapat meningkatkan harkat manusia dan membebaskan dari berbagai ikatan daerah dan keturunan.

* Mahmud Syaltut
Syekh Mahmud Syaltut adalah salah seorang pemikir asal di Mesir. Ia memberi kontribusi dalah bidang hukum Islam. Mahmud Syaltut mengemukakan sebuah risalah tentang pertanggungjawaban sipil dan pidana Islam.


Para Khalifah Dinasti Fatimiyah Penguasa Cairo

* Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi (910-934). Dia adalah pendiri Dinastii Fatimiyah
* Abu al-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946)
* Isma'il al-Mansur bi-llah (946-953)
* Abu Tamim Ma'add al-Mu'izz li-Din Allah (953 M - 975) M. Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya
* Abu Mansur Nizar al-'Aziz bi-llah (975 M - 996 M)
* Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996M - 1021 M)
* Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Din Allah (1021 M - 1036 M)
* Abu Tamim Ma'add al-Mustanhir bi-llah (1036 M - 1094 M)
*Al-Musta'li bi-llah (1094 M - 1101 M). Pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
* All-Amir bi-Ahkam Allah (1101 M - 1130 M). Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
* Abd al-Majid (1130 M - 1149 M)
* Al-Wafir (1149 M - 1154 M)
* Al-Fa'iz (1154 M - 1160 M)
* Al-'Adid (1160 M - 1171 M): Setelah jatuhnya Al-`Adid, kekuasaan Dinasti Fatimiyah selama 200 tahun berakhir.
(heri ruslan )

Ibnu Battuta : Kisah Sang Pengembara

Rabu, 27 Februari 2008
Ibnu Battuta : Kisah Sang Pengembara
(www.republika.co.id)

Pencapaian Ibnu Battuta yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika.

''Aku tinggalkan Tangier, kampung halamanku, pada Kamis 2 Rajab 725 H/ 14 Juni 1325 M. Saat itu usiaku baru 21 tahun empat bulan. Tujuanku adalah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah,'' kisah Ibnu Battuta - pengembara dan penjelajah Muslim terhebat di dunia -- membuka pengalaman perjalanan panjangnya dalam buku catatannya, Rihla.

Dengan penuh kesedihan, ia meninggalkan orangtua serta sahabat sahabatnya di Tangier. Tekadnya sudah bulat untuk menunaikan rukun iman kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya bertualang dan menjelajahi dunia. Seorang diri, dia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia.

''Kehebatan Ibnu Battuta hanya dapat dibandingkan dengan pelancong terkemuka Eropa, Marcopolo (1254 M -1324 M),'' ujar Sejarawan Brockelmann mengagumi ketangguhan sang pengembara Muslim itu.

Selama hampir 30 tahun, dia telah mengunjungi tiga benua mulai dari Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia engah, Asia Tenggara, dan Cina.

Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mencapai 73 ribu mil atau sejauh 117 ribu kilometer. Tak heran, bila kehebatannya mampu melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai berlayar 125 setelah Ibnu Battuta.

Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battuta melebihi capaian Marco Polo. Tak heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi ketangguhan seorang Ibnu Battuta yang mampu mengarungi lauatan dan menjelajahi daratan sepanjang 73 ribu mil itu. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu.

Lalu siapakah sebenarnya pengembara tangguh bernama Ibnu Battuta itu? Pria kelahiran Tangier 17 Rajab 703 H/ 25 Februari 1304 itu bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim At-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutah. Sejak kecil, Ibnu Battuta dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Ibnu Battuta begitu tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu fikih dan sastra dan syair Arab.

Kelak, ilmu yang dipelajarinya semasa kecil hingga dewasa itu banyak membantunya dalam melalui perjalanan panjangnya. Ketika Ibnu Battuta tumbuh menjadi seorang pemuda, dunia Islam terbagi-bagi atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat mengalami kejayaan Bani Marrin yang berkuasa di Maroko pada abad ke-13 dan 14 M.

Latar belakang Ibnu Battuta begitu jauh berbeda bila dibandingkan Marco Polo yang seorang pedagang dan Columbus yang benar-benar seorang petualang sejati. Meski Ibnu Battuta adalah seorang teologis, sastrawan puis,i dan cendekiawan, serta humanis, namun ketangguhannya mampu mengalahkan keduanya.

Meski hatinya berat untuk meninggalkan orang-orang yang dicintainya, Ibnu Battuta tetap meninggalkan kampung halamannya untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah yang berjarak 3.000 mil ke arah Timur. Dari Tangier, Afrika Utara dia menuju Iskandariah. Lalu kembali bergerak ke Dimyath dan Kaherah.

Setelah itu, dia menginjakkan kakinya di Palestina dan selanjutnya menuju Damaskus. Ia lalu berjalan kaki ke Ladzikiyah hingga sampai di Allepo. Pintu menuju Makkah terbuka dihadapannya setelah dia melihat satu kafilah sedang bergerak untuk menunaikan ibadat haji ke Tanah Suci. Ia pun bergabung dengan rombongan itu. Beliau menetap di Makkah selama dua tahun.

Setelah cita-citanya tercapai, Ibnu Battuta, ternyata tak langsung pulang ke Tangier, Maroko. Ia lebih memilih untuk meneruskan pengembaraannya ke Yaman melalui jalan laut dan melawat ke Aden, Mombosa, Timur Afrika dan menuju ke Kulwa. Ia kembali ke Oman dan kembali lagi ke Makkah untuk menunaikan Haji pada tahun 1332 M, melaui Hormuz, Siraf, Bahrin dan Yamama.

Itulah putaran pertama perjalanan yang tempuh Ibnu Battuta. Pengembaraan putara kedua, dilalu Ibnu Battuta dengan menjelajahi Syam dan Laut Hitam. I lalumeneruskan pengembaraannya ke Bulgaria, Roma, Rusia, Turki serta pelabuhan terpenting di Laut Hitam yaitu Odesia, kemudian menyusuri sepanjang Sungai Danube.

Ia lalu berlayar menyeberangi Laut Hitam ke Semenanjung Crimea dan mengunjungi Rusia Selatan dan seterusnya ke India. Di India, ia pernah diangkat menjadi kadi. Dia lalu bergerak lagi ke Sri Langka, Indonesia, dan Canton. Kemudian Ibnu Battuta mengembara pula ke Sumatera, Indonesia dan melanjutkan perjalanan melalui laut Amman dan akhirnya eneruskan perjalanan darat ke Iran, Irak, Palestina, dan Mesir.

Beliau lalu kembali ke Makkah untuk menunaikan ibadah hajinya yang ke tujuh pada bulan November 1348 M. Perjalanan putaran ketiga kembali dimulai pada 753 H. Ia terdampar di Mali di tengah Afrika Barat dan akhirnya kembali ke Fez, Maroko pada 1355 M.

Ia mengakhiri cerita perjalannya dengan sebuah kalimat, ''Akhirnya aku sampai juga di kota Fez.'' Di situ dia menuliskan hasil pengembaraannya. Salah seorang penulis bernama Mohad Ibnu Juza menuliskan kisah perjalanannya dengan gaya bahasa yang renyah. Dalam waktu tiga bulan, buku berjudul Persembahan Seorang pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumka, diselesaikannya pada 9 Desember 1355 M.

Secara detail, setiap kali mengunjungi sebuah negeri atau negara, Ibnu Battuta mencatat mengenai penduduk, pemerintah, dan ulama. Ia juga mengisahkan kedukaan yang pernah dialaminya seperti ketika berhadapa dengan penjahat, hampir pingsan bersama kapal yang karam dan nyaris dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim. Ia meninggal dunia di Maroko pada pada tahun 1377 M.

Kisah pencapaian Ibnu Battuta yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika. Buktinya, Barat baru mengetahui kehebatannya setelah tiga abad meninggalnya sang pengembara.

Dari Tangier ke Samudera Pasai

Rabu 27 Februari 2008


Dari Tangier ke Samudera Pasai

(www.republika.co.id)

Petualangan dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Battuta sempat membuatnya terdampar di Samudera Pasai - kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-13 M. Ia menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Makkah selama 15 hari.

Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battuta melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ''Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,'' tutur sang pengembara berdecak kagum. Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para ulama dan pejabat Samudera Pasai.

Ia disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan ahli fiqih kesultanan. Menurut Ibnu Battuta, kala itu Samudera Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Penjelajah termasyhur itu juga mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir -- penguasa Samudera Pasai.

''Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,'' kisah Ibnu Battuta.

Menurut Ibnu Battuta, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun dii lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan.

Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitab yang berjudul Tuhfat al-Nazhar, Ibnu Battuta menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa.

Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Battuta itu antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa; raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah; raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia; raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa; Raja Romawi yang sangat pemaaf; Raja Melayu Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.

Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Battuta akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Catatan perjalanan Ibnu Battuta itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.


Abadi di Kawah Bulan

Nama besar dan kehebatan Ibnu Battuta dalam menjelajahi dunia di abad pertengahan hingga kini tetap dikenang. Bukan hanya umat Islam saja yang mengakui kehebatannya, Barat pun mengagumi sosok Ibnu Battuta. Tak heran, karya-karyanya disimpan Barat.

Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya, International Astronomy Union (IAU) mengabadikan Ibnu Battuta menjadi nama salah satu kawah bulan. Bagi orang Astronomi, Ibnu Battuta bukan hanya seorang pengembara dan penjelajah paling termasyhur, namun juga sebuah kawah kecil di bulan yang berada di Mare Fecunditas.

Kawah Ibnu Battuta terletak di Baratdaya kawah Lindenbergh dan Timurlaut kawah bulan terkenal Goclenius. Di sekitar kawah Ibnu Battuta tersebar beberapa formasi kawah hantu. Kawah Ibnu Battuta berbentuk bundar dan simetris.

Dasar bagian dalam kawah Ibnu Battuta terbilang luas. Diameter kawah itu mencapai 11 kilometer. Dasar kawah bagian dalamnya terbilang gelap, segelap luarnya. Kawah Ibnu Battuta awalnya bernama Goclenius A. Namun, IAU kemudian memberinya nama Ibnu Battuta.

Selain dijadikan nama kawah di bulan, Ibnu Battuta juga diabadikan dan dikenang masyarakat Dubai lewat sebuah mal atau pusat perbelanjaan bernama Ibnu Battuta Mall. Di sepanjang koridor mal itu dipajangkan hasil penelitian dan penemuan Ibnu Battuta. Meski petualangan dan pengembaraannya telah berlalu enam abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap dikenang.

Pro dan Kontra Mihrab



REPUBLIKA - Senin, 25 Februari 2008

Pro dan Kontra Mihrab



Mihrab merupakan bagian penting yang selalu hadir dalam ruangan masjid dan mushala. Meski begitu, ternyata umat Islam tak `satu kata'. Ada dua pendapat mengenai kehadiran mihrab dalam masjid. Pendapat pertama membolehkan dan pendapat kedua menilai kehadiran mihrab sebagai praktik bid'ah. Keduanya memiliki dalil.Adalah para ulama Hanifiah yang mendukung dan membolehkan hadirnya mihrab. Mereka memperbolehkan bagian dalam masjid dilengkapi dengan mihrab, apapun bentuknya. Bagi penganut mazhab Hanifiah, mihrab yang berupa cekungan, lubang yang tak tembus (misykat) ataukah ruang imam, tak menjadi masalah.

Pendapat yang pro dengan kehadiran mihrab dalam masjid merujuk pada hadits berikut ini: Dari Wa'il bin Hujr RA berkata: ''Aku menyaksikan Rasulullah SAW ketika bangkit menuju masjid, beliau masuk ke mihrab. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir. Kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.'' (HR Baihaqi). Namun, hadits itu dinilai dhaif oleh pendapat yang tak setuju dengan adanya mihrab di dalam masjid. Sebagian ulama memiliki pendapat lain soal hadits yang dijadikan pegangan kalangan yang memperbolehkan mihrab, karena pada zaman Rasulullah SAW belum ada mihrab melainkan sutrah. Mereka lebih mengartikan kata mihrab dalam hadits itu sama dengan kata mushalla (tempat shalat), seperti istilah mihrab dalam Alqur'an.

Umat Islam yang berpendapat mihrab sebagai praktik bid'ah juga memiliki dalil sebagai pegangan. Berikut ini adalah haditsnya: Dari Musa Al Juhani berkata, Rasulullah SAW bersabda: ''Umatku ini selalu berada di dalam kebaikan selama mereka tidak menjadikan di dalam masjid-masjid mereka seperti mihrab-mihrabnya orang-orang kristen.'' (HR. Ibnu Abi Syaibah di dalam Al Mushannaf). Pihak yang kontra mihrab juga berpendapat bahwa apabila telah ada mimbar, maka mihrab tidak perlu ada. Menurut mereka cukup dengan mimbar saja yang menjadi petunjuk arah kiblat tempat shalat. Kalangan Hanafiah juga menilai hadits yang dijadikan rujukan umat Islam yang tak membolehkan kehadiran mihrab itu dhaif.


Enam Mihrab di Masjid Nabawi




Masjid Nabawi dibangun Rasulullah SAW sekitar tahun 622 M, setelah beliau hijrah dari Makkah. Masjid yang terletak di kota Madinah itu merupakan salah satu mesjid yang utama bagi umat Muslim setelah Masjidil Haram di Mekah dan Masjidil Aqsa di Yerusalem. Di masjid itu pula terdapat makam Rasulullah SAW beserta para sabahatnya.

Awalnya, Masjd Nabawi hanya berukuran 30 x 35 meter. Namun, pada tahun 708 M, Gubernur Madinah, Umar bin Abdul Aziz memperluas bangunan masjid itu. Pada masa itu pula, mihrab mulai dibangun dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Masjid Nabawi. Dalam perkembangannya, saat ini terdapat enam mihrab di masjid Rasul itu.

Mihrab pertama yakni, mihrab Nabi SAW yang terletak di bagian Raudah antara mimbar dan makam Rasulullah. Yang kedua adalah mihrab Usmani. Ketiga, mihrab Hanafi sekarang mihrab Sulaimani yang dibangun Togan Syekh sesuadah tahun 860 H. Mihrab ini dihiasai marmer putih dan hitam oleh Sulaiman I dari Kerajaan Ottoman pada 938 H. Keempat, mihrab Tahajud terletak di belakang bekas kamar Fatimah Az-Zahra. Kelima, mihrab Fatimah yang terletak disebelah mihrab tahajud. Keenam adalah mihrab tarawih, yang sering digunakan imam Masjid Madinah saat memimpin shalat.

Mihrab: Ceruk Penanda Kiblat

REPUBLIKA - Senin, 25 Februari 2008

Mihrab: Ceruk Penanda Kiblat



Mihrab. Inilah bagian pokok - jika tidak yang terpenting - yang selalu hadir dalam arsitektur sebuah masjid. Merriam-Webster mendefinisikan mihrab sebagai sebuah ceruk yang menjorok ke dalam atau ruangan di dalam masjid yang menjadi penanda arab kiblat. Tak hanya sebagai penanda arah kiblat, mihrab juga berfungsi sebagai tempat imam memimpin shalat.

Secara harfiah, menurut Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve (IBVH), kata mihrab berarti gedung yang tinggi. Sebagian ulama berpendapat mihrab sebagai tempat memerangi setan dan hawa nafsu. Menurut mereka, mihrab berakar dari kata al-hurba yang berarti peperangan. Ada pula pendapat yang menyatakan, ceruk atau ruangan dalam masjid itu dinamakan mihrab, karena dalam tempat itu kebenaran manusia dapat ditempa dalam upaya menghindarkan diri dari kesibukan duniawi. Namun, Dr Muhammad Taqi-ud-Din Al-Hilali dan Dr Muhammad Muhsin Khan memiliki definisi dalan soal mihrab.

Dalam cetakan Alquran King Fahd Complex, Saudi Arabia, keduanya mendefinisikan mihrab sebagai tempat shalat kecil atau ruang privasi, bukan arah atau penunjuk tempat shalat apalagi tempat imam memimpin shalat. Selain memiliki beragam pengertian, kehadiran bagian interior masjid itu pun tak seutuhnya disepakti umat Islam. Ada yang memperbolehkan dan ada pula yang melarang kehadiran mihrab di dalam masjid, karena tak pernah dicontohkan Rasulullah SAW.

Itulah mengapa, sebagai bagian dari arsitektur masjid, kehadiran mihrab selalu menarik untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Lalu bagaimana asal-muasal mihrab bisa menjadi bagian interior yang amat penting dalam arsitektur masjid? Menurut Ibrahim Rafa'at Pasya - salah seorang pemikir Arab di abad ke-19 - eksistensi mihrab belum dikenal pada masa Rasulullah SAW. Pendapat itu diperkuat Ahli sejarah Islam As-Suyuti dalam bukunya I'la al-Adib bi Hudusi Bid'ah Al-Maharib. As-Suyuti menyatakan, mihrab dengan atap melengkung belum ada pada masa Rasulullah SAW. Tak hanya itu, pada era al-Khulafa ar-Rasyidin pun belum dikenal adanya mihrab.

Secara tegas, Al-Qaradhawi menyatakan, tak ada sunnah qauliah (ucapan), sunnah amaliah (perbuatan), dan sunnah taqririyah (persetujuan) dari Rasulullah SAW tentang mihrab. Meski begitu, kata mihrab, muncul sebanyak lima kali dalam Alquran -- empat kali dalam bentuk tunggal dan satu dalam bentuk jamak. Dalam surat Ali `Imran, kata mihrab disebutkan sebanyak dua kali, yakni pada ayat 37 dan 39, pada surat Maryam ayat 11, surat Sad ayat 21 dan surat Saba ayat 13.

''Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: ''Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?'' Maryam menjawab: ''Makanan itu dari sisi Allah.'' Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (Ali `Imran: 37)

Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): ''Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat {193} (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.'' (Ali 'Imran:39).

Kedua ayat itu digunakan sebagian umat Islam sebagai dalil digunakannya mihrab dalam masjid. Dalam Tafsir Ibnu Katsir jilid dua disebutkan, yang dimaksud mihrab dalam ayat 37 dan 39 itu surat Ali Imran itu adalah tempat tertutup yang digunakan Maryam dan Zakariya berdiam diri untuk beribadah, menyendiri dan bermunajat kepada Allah SWT. Menurut Ensiklopedia Islam, disebutkannya kata mihrab sebanyak lima kali dalam Alquran menunjukkan bahwa mihrab telah dikenal dalam sejarah nabi-nabi sebelum kenabian Muhammad SAW. Ahli hukum Islam dari Baghdad, taiyib at-Tabari menyatakan, mihrab merupakan tradisi Islam yang dimulai sejak Nabi Daud SAW.

Lalu kapan umat Islam mulai menggunakan mihrab pada interior masjid? Mihrab ternyata adalah sebuah inovasi awal arsitektur Islam khususnya arsitektur masjid. Mihrab pertama kali mewarnai khazanah arsitektur masjid mulai tahun 88 Hijriyah atau 708 Masehi. Kali pertama, mihrab dibuat di dalam Masjid Nabawi oleh Umar bin Abdul Aziz, saat menjabat Gubernur Madinah Munawarrah, pada masa kekhalifahan Walid bin Abdul Malik. Pada masa jabatannya itu, Umar bin Abdul Aziz (708-711 M) memerintahkan untuk membangun kembali Masjid Nabawi. Konon, dalam proyek pemugaran dan perluasan Masjid Nawabi itulah pertama kali mihrab dibangun.

Pembangunan Masjid Nabawi pun selesai pada tahun 91 Hijriyah atau 711 Masehi. Saat itu mihrab dibuat berbentuk ceruk pada dinding dan berfungsi sebagai penanda arah kiblat. Meski begitu, ada pula yang menyebutkan bahwa bentuk ceruk yang dimaksud pada masa itu sesungguhnya memiliki istilah thooq, bukan mihrab. Menurut sejarawan Arab, Al-Maqrizi, pembangunan mihrab juga berlangsung pada masa pemerintahan Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Malah, pada masa itu, Mu'awiyah telah membuat peraturan bahwa bangunan mihrab harus ada di dalam masjid. Pada masa kepemimpinan Mu'awiyah, seorang gubernur bernama Qurra' Bin Syarik telah memerintahkan pembuatn mihrab di Mesir dengan bentuk atap yang melengkung.

Dalam perkembangannya, Dinasti Fatimiyah di Mesir mulai menghiasi mihrab dengan gelang-gelang perak. Tak heran bila di Masjid Al-Azhar, Mesir dihiasi beragam ornamen yang nilainya mencapai lima ribu dirham. Pada masa pemerintah Umayyah ada yang menyebut mihrab sebagai tempat penting, sehingga posisinya ditinggikan melebihi tempat sembayang makmum. Itu berbeda dengan mihrab yang ada di masjid-masjid Iran. Di negeri para Mullah itu, posisi mihrab justru lebih bawah dari makmum. Meski terdapat beragam pendapat dan bentuk mihrab dalam dunia Islam, mihrab memiliki dimensi sosial budaya, yang paling bisa ditonjolkan secara visual. Wujud fisik mihrab memiliki peran sebagai media pengungkapan nilai-nilai atau budaya dari individu pelaku atau perancangnya atau merupakan refleksi masyarakat Muslim di sekitarnya.

Masjid Umayyah, Jejak Peninggalan Peradaban Damascus

Masjid Umayyah, Jejak Peninggalan Peradaban Damascus
Kamis, 21 Februari 2008
(www.republika.co.id)

Salah satu bukti peninggalan terbesar era peradaban Islam di abad pertengahan adalah Masjid Ummayah. Tak heran, bila bangunan yang hingga kini masih bertengger kokoh itu menjadi salah satu bangunan masjid terpenting di Damascus. Bangunan Masjid Umayyah berasal dari sebuah rumah pemujaan bangsa Yunani yang dibangun sekitar tahun 1000 SM.

Sebelum Islam datang, kaum Nasrani menyulapnya menjadi gereja. Ketika Islam menginjakkan kakinya dan disambut penduduk Damascus, bangunan itu oleh Abu Ubaidah bin Jarrah mulai difungsikan sebagai masjid. Awalnya, bangunan itu sebagaian digunakan sebagai gereja dan sebagian lainnya untuk tempat ibadah umat Islam.

Seiring waktu, jumlah penganut Islam bertambah banyak sedangkan penganut Kristen berkurang. Khalifah Al-Walid kemudian memutuskan untuk menjadikan bangunan itu sebagai masjid. Bentuk dan arsitekturnya pun diubah. Pemerintahan Islam, saat itu, membangunkan sebuah gereja baru bagi kaum Nasrani.

Tak seluruh desaian bangunan kuno itu diubah. Dua dari tiga buah balkon masih tetap digunakan. Khalifah Al-Walid I yang dikenal memiliki selera arsitektur yang tinggi membangun kembali bangunan itu menjadi sebuah masjid dengan sentuhan teknologi moderen dan tetap memperhatikan aspek estetikanya. Pada era masa keemasan, Masjid Umayyah menjadi pusat kegiatan umat Islam.

Sayangnya, masjid rancangan Khalifah Al-Walid I itu terbakar pada tahun 461 H. Masjid itu kemudian diganti dengan bangunan baru yang berbeda dari bentuk pertama dan mengikuti model masjid biasa. Bangunan baru itu memiliki tiga buah menara, tiga buah kubah, empat buah mihrab, tiga buah saumaah, dan empat buah gapura.

Kota nan Pemurah dan Dermawan

Kota nan Pemurah dan Dermawan
Kamis, 21 Februari 2008

www.republika.co.id

Suatu hari, penjelajah kondang asal Maroko, Ibnu Battuta (1304-1368 M) menginjakkan kakinya di Damascus. Ia begitu kagum melihat kehidupan sosial masyarakatnya yang dermawan dan pemurah. Ketika itu, sederet lembaga amal berdiri untuk meringankan beban bagi orang-orang yang tak berpunya dan membutuhkan bantuan.

`'Semangat sosial masyarakat Damascus begitu tinggi,'' kisah Ibnu Battuta dalam catatan perjalanannya. Saking banyaknya lembaga amal yang berdiri di kota itu, sampai-sampai Ibnu Battuta merasa sulit untuk menghitungnya. Saat itu, orang tak mampu menunaikan ibadah haji ke Makkah akan dibiayai lembaga amal yang ada.

Masyarakat Damascus pun berlomba-lomba mewakafkan tanahnya untuk sekolah, rumah sakit serta masjid. Damascus tak hanya dikenal sejarah sebagai kota yang dermawan karena kemakmurannya, namun juga pemurah karena sifatnya. Bianquis mencatat, begitu terbukanya Damascus bagi para pengungsi asal Andalusia yang terusir dari negeri Spanyol, ketika Kristen menguasai tanah itu pada abad ke 12 M.

Seabad kemudian, Damascus menjadi tempat berlabuh warga Irak dan Irak ketika bangsa Mongol menghancurkan tanah kelahiran mereka. Pada abad ke-16, lagi-lagi Damascus menjadi tempat berlindung pengungsi dari Spanyol baik Muslim maupun Yahudi yang mencari perlindungan. Tiga abad berselang, kota kembali menjadi tanah harapan bagi warga Kaukasus, Kurdi, dan Turki dari ancaman tentara Rusia.

Selain dikenal sebagai kota yang pemurah dan dermawan, Damascus juga kesohor sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa kekuasaan Khalifah Nur A-Din Zanki berkuasa, di Damascus dibangun sekolah. Khalifah juga mewariskan begitu banyak judul buku bagi perpustakaan yang ada di kota itu.

Catatan tentang pesatnya perkembangan ilmu di Damascus juga digambarkan seorang penjelajah Muslim lainnya, Ibnu Jubair. Saat bertandang ke kota itu pada tahun 1184, dia menyaksikan begitu banyak fasilitas bagi pelajar asing dan pengunjung di Masjid Umayyah. Tak heran, bila Ibnu Jubair mendorong para pelajar dan mahasiswa dari Spanyol untuk pergi menimba ilmu ke Timur.

`'Setiap orang di Barat yang ingin meraih sukses datang ke kota ini (Damascus) untuk belajar. Sebab, fasilitas dan batuan di sini begitu melimpah. Para pelajar yang menimba ilmu di sini tak pernah khawatir kekurangan makanan dan tempat bernaung,'' papar Ibnu Jubair dalam catatan perjalanannya.

Pelopor universitas modern pertama di Damascus dibangun penguasa Seljuk Nizam Al-Mulk. Sepeninggal Nizam, bermunculan madrasah atau universitas di sentero kota itu pada abad pertengahan. Menurut Tawtah, ketika itu di Damascus berdiri 73 perguruan tinggi, 41 universitas di Yerusalem, 40 universitas di Baghdad, 14 perguruan tinggi di Aleppo, 13 universitas di Tripoli, serta 74 perguruan tinggi di Kairo.

Namun, ada pula yang menyebutkan jumlah perguruan tinggi di Damascus pada era kejayaan Islam mencapai 150 buah. Menurut Ibnu Jubar, madrasah yang paling favorit serta terbaik di dunia, saat itu, adalah Al-Nuriyyah Al-Kubra berada di Damascus. Perguruan tinggi itu didirikan Khalifah Nur Al-Din.

Selain itu, Ibnu Jubair juga mencatat di kota itu berdiri sebuah rumah sakit tua dan sebuah rumah sakit baru. Rumah sakit yang dibangun umat Islam pertama adalah RS Al-Nuri yang dibangun pada tahun 706 M oleh Khalifah Al-Walid Ibn Abd Al-Malik dari Dinasti Ummayah. RS itu dilengkapi dengan peralatan paling modern dan tenaga dokter serta perawat yang profesional. Pada era itu, Damascus tumbuh pesat sebagai salah kota penting yang dikuasai umat Islam.

Secara geografis, Damascus terletak di sebelah Barat Daya Suriah. Ibu kota Republik Arab Suriah itu berada di oasis suatu dataran separuh gersang. Damscus juga berbatasan dengan Pegunungan Anti-Lebanon di sebelah Timur. Di sebelah Tenggara, kota ini berdekatan dengan Beirut, Lebanon. Damascus juga dilalui Sungai Barada yang telah mengalirkan air selama ribuan tahun.

Kota itu termasuk salah satu kota tertua yang dihuni manusia. Damascus dibangun sekitar 3.000 tahun SM. Berganti zaman, berganti pula penguasa Damascus. Secara bergantian, kerjaan Assyria, Yunani, Romawi dan Bizantium menguasai wilayah itu. Islam mulai menginjakkan pengaruhnya di kota itu pada era kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab.

Panglima perang seperti Khalid bin Walid, Amr bin AS, Abu Ubaidah bin Jarrah, Yazid bin Abu Sufyan berhasil menunaikan tugasnya untuk menaklukan Suriah dan Palestina dari kekuasaan Romawi. Secara resmi, Damascus berada dalam kekuasaan Islam pada September 635 M. Proses Islamisasi berlangsung damai dan lancar. Penguasa Islam tetap menghormati kebebasan beragama.

Sejak itulah, Suriah menjadi salah satu provinsi pemerintahan Khulafa Rasyidin yang berpusat di Madinah. Gubernur pertama Suriah adalah Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Pada era kepemimpinannya, Usman bin Affan kerap berkunjung ke provinsi itu. Ketika konstelasi politik di dunia Islam berubah, pada tahun 661 M Mu'awiyah bin Abu Sufyan mendirikan Dinasti Umayyah dan mendapuk Damascus sebagai ibu kota pemerintahannya.

Salah satu agenda Dinasti Umayyah adalah perluasan wilayah penyebaran Islam hingga ke Afrika Utara, Spanyol, Asia Tengah, Persia, serta India. Sehingga wilayah kekuasaan Islam pada abad pertengahan semakin meluas. Sekitar tahun 750 M, Dinasti Umayyah digulingkan Dinasti Abbasiyah dan ibu kota pemerintahan berpindah ke Baghdad.

Ketika kekuasaan Abbasiyah memudar, pada 875 M penguasa Mesir Ahmad ibnu Tulun mengambil alih kota itu. Pada 945 M, Dinasti Hamdanids mengambil alih Damascus. Sekitar tahun 968 M dan 971 kota itu dikuasai Qaramita. Setelah itu, Dinasti Fatimiyyah di Kairo menguasai Damascus. Sejak abad ke-11, Dinasti Seljuk menguasai kota itu.

Pada 1260 M bangsa Mongol menaklukan Damascus. Tiga abad berikutnya, Turki Usmani berkuasa di kota itu. Pada 1946 Suriah memproklamirkan kemerdekaannya. Hingga kini, Damascus tetap menjadi ibu kotanya.

Ilmuwan Muslim dari Damascus

Ilmuwan Muslim dari Damascus

- Abul-Fadl Jaafar ibn Ali al-Dimishqi
Dia adalah ekonom Muslim terkemuka di Damascus dan Suriah. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah Kitab al-ishara ila mahasin al-tijara wa matrifa aljayyid al-atrad wa radiha wa ghushush al-mudallisin fiha (buku yang menjelaskan keuntungan bisnis serta pengetahuan kualitas barang bagus dan jelek).

Buku itu selesai ditulis pada 20 April 1175 M. Abul-Fadl amat piawai dalam masalah trori dan praktik bisnis. Bukunya juga mengupas soal bagaimana mengemas dan menyimpan barang, bagaimana cara menjaga hak milik, serta bagaimana menggunakan uang. Abul-Fadl boleh dibilang sebagai ekonom yang mumpuni pada masanya.

- Ibnu Asakir (wafat:1176 M)
Dia adalah seorang ahli sejarah. Karyanya yang terkenal adalah Tarikh Dimashq atau sejarah Damscus. Dia adalah pengajar di perguruan tinggi yang ada di Masjid Umayyah dan pergurun tinggi di Damascus.

- Ibnu Abi Usaybia (1203-69 M)
Dia adalah dokter sekaligus ahli sejarah Muslim kelahiran Damascus. Selain menjadi dokter di rumah sakit, Ibnu Abi juga menjadi dokter khusus Emir Azeddin di Sarkar. Dia sempat menempati berbagai posisi di majemen RS baik di Damascus maupun di Kairo, Mesir. Dia juga mempelajari klasifikasi tanaman dengan Ibnu Al-Baitar. Salah satu karyanya adalah Uyun l'Anba fi Tabaqati'l Atiba mengupas tentang sejarah kedokteran.

-Ibnu Al-Nafis (wafat: 1288 M)
Dia adalah dokter terkemuka di Damascus. Ibnu Al-Nafis mengabdikan dirinya di RS Al-Nuri yang dibangun Nur Al-Din. Di antara karyanya yang paling populer adalah Kitab al-Shamil fi sinaat al-Tibiyya (Buku komprehensif tentang seni kedokteran). Bukunya itu terdiri dari 300 volume, hanya 80 yang diterbitkan. Kitab itu masih tetap digunakan hingga tahun 1952. Karya-karyanya kini berada di Cambridge University.

- Taqi Al-Din Ahmad Ibnu Taymiyyah (1263-1328 M)
Dia mengawali karinya sebagai pengajar Alquran di Masjid Umayyah. Kemudian, ia menjadi seorang pemikir dan ulama Islam. Di Damascus, ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu (tata bahasa arab), dan ushul fiqih (hukum).

Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat, atau shahih. Beliau memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir.

Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf. Dalam sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Karyanya mencapai 500 judul. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa-fatwa dalam agama Islam. (republika)