Selasa, 01 April 2008

PEREMPUAN DAN HUKUM POLIGAMI DALAM ISLAM

PEREMPUAN DAN HUKUM POLIGAMI DALAM ISLAM

Syahruddin El-Fikri *)

Topik pembahasan mengenai perempuan seperti tak pernah habis-habisnya untuk dibicarakan, baik di ruangan seperti seminar dll, maupun di ruang terbuka seperti di warung-warung pinggir jalan, orang tak pernah sepi membicarakan mengenai perempuan. Topik ini apabila semakin dibahas dan dikaji, maka akan semakin menarik.

Dan tak salah kalau topik tentang perempuan ini selalu hangat dan aktual. Hal ini disebabkan karena berbagai interpretasi yang beragam dari para pakar, praktisi dan akademisi maupun para para pekerja kasar. Namun kesimpulan akhir dari perbincangan tersebut “hampir selalu” menempatkan perempuan pada posisi second line atau konco wingking.

Berbagai interpretasi dari para pakar yang menegaskan posisi perempuan sebagai second line, kebanyakan bersumber dari “doktrin agama” baik dari Al-Qur’an maupun al-Hadits. Namun, dikalangan aktifis perempuan (dan sebagian santriwati) menilai “doktrin agama” yang menegaskan posisi perempuan sebagai second line sangat ditentang habis-habisan. Mereka selalu mempertanyakan tentang konsep kesetaraan dan keadilan gender. Dan doktrin agama tersebut mereka anggap sebagai sebuah doktrin yang telah mendiskriminasikan perempuan. Kalangan aktifis gender ini mencoba membedah dalil-dalil lain yang memposisikan perempuan sebagai mitra dari kaum laki-laki atau sejajar/segregasi.

Bahkan ayat tentang “kelebihan” kaum laki-laki pun tak luput dari pembedahan mereka. Alasan mereka jelas, bahwa posisi kaum perempuan dan laki-laki adalah sebagai mitra sejajar dalam kehidupan keluarga maupun di masyarakat. Kedudukan kaum laki-laki yang lebih tinggi –sebagaimana QS. 4 : 34- dari kaum perempuan adalah suatu hal yang menafikan “kekuatan dan keunggulan” kaum perempuan. Banyak ayat-ayat atau dalil-dalil yang menegaskan kemitrasejajaran atau kese-gregasi-an antara kaum perempuan dan kaum laki-laki (QS.4:1). Para aktifis perempuan ini hanya ingin agar dalil-dalil tersebut tidak diterjemahkan atau ditafsirkan secara harfiah (lingusitik) semata, tetapi juga harus dilihat dari konteks ayat tersebut, kapan dan dimana turunnya, serta apa yang melatarbelakanginya.

Namun, kegigihan para aktifis perempuan ini, bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh kaum perempuan lain yang memiliki latar belakang pendidikan dari pesantren atau santriwati. Kebanyakan kaum santriwati berpendapat bahwa doktrin agama tersebut sudaha jelas, dan mereka-pun seolah-olah pasrah menerima kenyataan.

Sebab menurut anggapan mereka “salah satu cara” mendapatkan ridlo dan surga-Nya Allah adalah tunduk dan patuh kepada suami (lelaki). Dengan prinsip seperti ini, maka tak salah kalau kemudian ada istilah bahwa kaum perempuan tersebut adalah swarga nunut neroko katut.


********

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membela kaum perempuan ataupun kaum laki-laki. Tulisan ini hanya ingin mencoba memposisikan duduk persoalan secara jelas dan proporsional, khususnya menurut perspektif Islam.

Ayat-ayat al-Qur'an yang turun sangat beragam sifatnya. Ada ayat-ayat yang artinya jelas (qoth’i), sehingga bisa langsung dijadikan pedoman atau aturan hukum (muhkamat).

Dan ada juga ayat-ayat yang sifatnya simbolik (dhonny / meragukan) dan didalam al-Qur'an ayat-ayat seperti ini sangat banyak. Karena masih dhonny atau meragukan maka belum bisa dijadikan sebagai pedoman atau aturan hukum (mutasyabihat) dan masih perlu di re-interpretasi-kan.

Disamping kedua hal tersebut, al-Qur'an juga memuat cerita-cerita dan mitologi-mitologi yang penuturannya juga dibungkus dengan pra-lambang atau simbolik. Maka, penafsiran atas ayat-ayat semacam ini sangat tergantung dari cara pandang kita, apakah kita memahaminya secara harfiah atau sebagai simbolik. Dua cara pandang ini jelas sangat berbeda dan tentunya juga akan menghasilkan penafsiran atau interpretasi yang berbeda pula.

Masalahnya kemudian adalah, banyak orang yang menyatakan dan menganggap telah menafsirkan al-Qur'an secara harfiah. Padahal, sebagaimana kita ketahui, bahasa Arab, sebagaimana bahasa Semit lainnya, sangat bertumpu pada akar kata. Dan untuk mengerti satu kata Arab, kita harus terlebih dahulu mengetahui akar kata tersebut. Selanjutnya, jika kita buka kamus, akar kata yang dimaksud memiliki puluhan bahkan ratusan arti dan makna yang berbeda sesuai dengan konteksnya.

Dengan demikian, arti satu kata selain selalu tergantung pada akar katanya, juga sangat tergantung pada konteksnya. Jadi sangat tidak mungkin untuk memahami kata-kata Arab tanpa mempertimbangkan atau mengetahui konteksnya.

Bahkan tak jarang dalam konteks tersebut, juga masih terdapat berbagai arti lagi. Oleh karena itu, menafsirkan al-Qur'an secara harfiah (linguistik) jelas tidak mungkin, karena setiap kata dan ayat dalam al-Qur'an bisa mempunyai berbagai pengertian.

Disamping mengetahui makna dari akar kata serta konteks ayat tersebut, hal-hal lain yang turut mendukung dalam melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat yang masih memerlukan re-interpretasi adalah juga memahami konteks dan kultur masyarakat serta adat istiadat masyarakat Arab pada saat itu disamping pengetahuan akan tafsir al-Qur'an dan hadits nabi juga didukung oleh pengetahuan akan ilmu fiqh serta ilmu alat seperti nahwu dan sharaf. Karena itu, tidak mungkin menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara harfiah semata, tanpa mengetahui ilmu pengetahuan lainnya.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ada 2 (dua) pendekatan yang selalu ditunjukkan oleh al-Qur'an dalam memahaminya. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan ideal, dimana al-Qur'an selalu menggariskan prinsip-prinsipnya. Dan pendekatan kedua adalah melalui pendekatan realitas atas kondisi empirik yang ada. Atau meminjam istilahnya Sayyed Hoessien Nasr yaitu antara islam ideal dan Islam realita (1984), atau istilahnya Amien Rais, yaitu antara Islam Cita dan Islam Fakta (1991), sedangkan Nurcholis Madjid menyebutnya dengan istilah doktrin dan peradaban.

Kedua pendekatan ini memungkinkan kita untuk memahami segi ideal normatifnya, misalnya bagaimana seharusnya perempuan itu menurut al-Qur'an, tingkah lakunya, hubungannya dengan Tuhannya, dengan orang lain dan dengan dirinya sendiri. Sedangkan sisi realitanya kita bisa memahami bagaimana kenyataan yang terjadi terhadap perempuan, bagaimana perempuan memandang dirinya, bagaimana orang lain memandang perempuan dalam masyarakat Islam. Dengan demikian, disatu sisi kita bisa mendapatkan gambaran empirik, disisi lain ada gambaran teoritik; disatu pihak ada realitas, dipihak lain ada ideal.

Namun sayangnya, dalam kasus perempuan ternyata terdapat jurang kesenjangan yang sangat dalam dan lebar. Dan kenyataan ini hampir bahkan –mungkin- terjadi diseluruh belahan dunia ini, tak terkecuali didunia Barat sendiri yang sangat menjunjung tinggi hak zasi manusia. Pertanyaannya kemudian adalah apa yang harus kita lakukan untuk mengubah realitas tersebut untuk mendekati dan menjadi ideal, dan bagaimana cara kita untuk menutupi jurang kesenjangan tersebut.

Karena itu, mungkin pertanyaan tersebut bisa kita jawab manakala kita mau mengambil dari semangat dan spirit al-Qur'an. Misalnya, semangat tentang kebebasan, keadilan, kesejajaran dan penghormatan atas kemanusiaan. Al-Qur'an sudah jelas menegaskan bahwa Allah Swt adalah Maha Pengasih, Penyayang, Bijaksana, Maha Adil, dan bahkan Allah tidak mendiskriminasikan antara perempuan dan lelaki. Bahkan kemuliaan seseorang itu dinilai bukan karena kedudukan dan kelebihannya melainkan karena taqwanya kepada Sang Khaliq Allah Rabbu ‘l- ‘Izzati (QS. Al-Hujurat : 11).

Kita bisa menyaksikan bahwa kenyataan ini, dan Allah justru sangat peduli kepada perempuan dari pada kaum lelaki. Ini disebabkan karena Allah lebih memberikan perhatian kepada mereka yang terpinggirkan (posisi marginal), para janda, anak yatim, fakir miskin, para budak, kaum papa, ketimbang mereka yang kaya dan berkuasa.

Jadi kesimpulannya, al-Qur'an jelas tidak membuat pembedaan diskriminatif antara perempuan dan lelaki. Tapi semua ini harus dibuktikan dan dipaparkan secara jelas oleh kaum perempuan sendiri, sebab tanpa hal itu, sangat mustahil semua itu bisa tercapai. Dan perempuan harus yakin bahwa posisi mereka dengan lelaki adalah sebagai mitra sejajar. Dan kemitrasejajaran ini tidak akan bisa tercapai, jikalau perempuan sendiri tidak yakin akan hal ini, karena memang kondisinya sudah disosialisasikan demikian sejak dulu. Kenyataan ini sudah terjadi sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, dan ini tidak hanya sepanjang hidupnya saja, tetapi sepanjang masa di seluruh dunia. Kaum perempuan telah diajarkan tentang kelemahan dan kekurangan mereka, dan bahkan posisi mereka selalu berada pada posisi inferior. Kaum perempuan lemah, disebabkan mereka diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok, dan kaum perempuan (Hawa) adalah penyebab diturunkannya Adam dari Surga. Jika pemahaman seperti ini terus berlanjut, maka jelas posisi perempuan sangat sulit untuk berada pada posisi sejajar dengan kaum lelaki.

Diturunkannya Adam dari Surga, bukan semata-mata karena pengaruh perempuan (Hawa), tetapi memang sudah di-rencana-kan oleh Allah agar Adam menjadi khalifah dimuka bumi (QS.2:29-36).

Posisi perempuan yang menguntungkan, entah karena nasib baik, pendidikan atau karena alasan lain, telah mendapatkan satu hak tertentu seperti hak politik, ekonomi dan sosial. Pendek kata, kaum perempuan menjadi terjamin kehidupannya.

Dan kebanyakan kaum perempuan yang aktif terlibat dalam organisasi baik organisasi kemasyarakatan maupun sosial politik adalah berasal dari golongan ini. Namun, hal yang demikian ini hanyalah salah satu faktor saja, masih banyak aspek-aspek lain yang perlu digarap oleh perempuan, baik aspek teologis, psikologis dan sosiologis. Secara eksternal, kaum perempuan mungkin sudah sejajar dengan lelaki, tetapi secara internal rasa rendah diri masih membelenggu perempuan ketika berhadapan dengan lelaki. Perempuan harus menyangga beban dan tanggung jawab kepada keluarganya, kepada anak-anaknya, kepada suaminya dan kepada lelaki. Dan hal ini adalah merupakan realitas yang terjadi.

Anggapan bahwa kaum lelaki bertanggung jawab kepada perempuan dan keluarganya, adalah merupakan satu hal yang sangat lucu dan menggelikan. Diseluruh belahan dunia ini, dimanapun adanya, justru perempuanlah yang mengurusi lelaki.

Inilah kebenaran universal dan kebenaran terpenting diseluruh dunia. Lihatlah contoh ketika salah seorang Sahabat Rasulullah ingin mengadukan perbuatan istrinya yang selalu memarahi dan mengomeli dirinya kepada khalifah Umar Ibn Khattab.

Ketika ia sampai di pintu rumah Umar, ia mendapati Khalifah Umar juga sedang dimarahi oleh istri beliau, dan sahabat inipun kemudian bermaksud meninggalkan rumah Umar, dan hal ini diketahui oleh Khalifah. Khalifah bertanya gerangan maksud dan kedatangan sahabat tersebut, dan ia menyampaikan bahwa maksud dan tujuan ingin mengadukan perbuatan istrinya, namun ketika sampai justru istri khalifah juga memarahi Umar. Dan Umar-pun membiarkan dirinya dimarahi oleh istrinya.

Khalifah Umar menjawab, bahwa selama ini yang mengurusi dirnya dan anak-anaknya adalah istrinya, maka wajar kalau istrinya memarahinya. Ini adalah bukti yang sangat jelas. Tetapi kebanyakan kaum perempuan tidak memandang dirinya demikian (mengurusi lelaki), mereka merasa lelaki yang mengurusi dirinya.

Padahal semua orang tahu bahwa jika sebuah rumah tangga diambil perempuannya niscaya rumah tangga tersebut akan berantakan. Dan kita telah sering menyaksikan kenyataan ini, namun tak pernah mengendapkannya dalam kesadaran kita.

POLIGAMI
Tuduhan klasik bahwa al-Qur'an memperlakukan perempuan secara tidak adil karena memperbolehkan poligami selalu masih selalu diajukan orang, dan tuduhan ini seringkali dikaitkan dengan nabi yang juga melakukan poligami.

Pembahasan mengenai poligami adalah merupakan persoalan klasik yang tak kunjung selesai. Dalam al-Qur'an hanya ada satu kata yang menyangkut poligami (QS.4;3).

Tetapi sebagaimana beberapa kekeliruan lainnya, hal juga karena disebabkan karena penafsiran yang salah atas isi al-Qur'an. Baik dalam al-Qur'an maupun dalam kehidupan keseharian, Nabi memelihara anak yatim atau anak terlantar selalu mendapatkan perhatian besar dan dianggap sangat penting.

Izin poligami dalam al-Qur'an berkaitan dengan masalah tersebut (anak yatim dan anak terlantar. Dan jika kita membaca ayat tentang poligami tersebut, sebenarnya fokus utamanya adalah masalah penyantunan anak yatim. Maksudnya, pernikahan itu berarti menikahi ibu anak yatim. Penafsiran ini tidak bisa diragukan lagi, karena ayat ini turun pada masa ketika banyak terjadi perang dan banyak lelaki dan perempuan serta suami-suami mereka yang meninggal, sehinga banyak terdapat anak-anak yatim. Ketentuan al-Qur'an tentang masalah ini adalah pertama, agar anak-anak yatim ini dipelihara dan disantuni. Kedua, ayat ini berbicara tentang keadilan. Maka dapat disimpulkan bahwa poligami sebenarnya hanya boleh dilakukan dalam kondisi sulit seperti ini.

Rasulullah menikah pertama kali dengan Siti Khadijah pada usia 25 tahun, dan ini adalah merupakan pernikahan beliau yang sangat penting. Rasulullah tidak menikah lagi sampai usia beliau mencapai 50 tahun. Selama masa suburnya beliau justru seorang yang monogam dan menikah hanya sekali. Pada sisa usia beliau, beliau banyak melakukan pernikahan, namun kesemua istri beliau adalah sudah pernah menikah sebelumnya kecuali Siti Aisyah. Dan sebagian perkawinan yang dilakukan oleh Rasulullah juga karena alasan mengukuhkan persahabatan atau yang biasa disebut dengan perkawinan diplomatik. Dari istri-istri beliau, hanya Siti Khadijah saja yang menghasilkan putra.
Wa ‘l Lahu a’lamu bi ‘l-Shawab.

Syahruddin El-Fikri

Aktifis pada Lembaga Kajian Agama dan Sosial (eLKAS) dan juga wakil ketua pada Yayasan Riyadhul Jannah Semarang.

Tidak ada komentar: