Selasa, 01 April 2008

KONTROVERSI PERAN DAN GERAKAN PEREMPUAN

KONTROVERSI PERAN DAN GERAKAN PEREMPUAN
Syahruddin El-Fikri


Lahirnya gerakan revolusi Perancis dan revolusi Industri pada abad ke-18 telah mempengaruhi tata hubungan antara laki-laki dan perempuan. Lajunya industri menyebabkan kaum laki-laki banyak terserap di sektor industri, sedangkan kaum perempuan hanya berkutat di sektor domestik (rumah tangga). Ketidakberdayaan kaum perempuan di tengah struktur dan kultur masyarakat industri inilah yang mendorong lahirnya gerakan perempuan (feminisme) di Barat. Gerakan ini bertujuan untuk menentang segala bentuk perlakuan diskriminatif dan ketidak adilan terhadap perempuan.
Sebagai hasil dari gerakan perempuan di Barat itu, antara lain terlihat adanya perbaikan nasib kaum perempuan di Inggris dengan keluarnya aturan tentang perceraian pada tahun 1857, kemudian disusul dengan sejumlah peraturan lainnya, seperti aturan pembagian harta warisan dan masalah pengasuhan anak setelah perceraian, aturan tentang perlindungan terhadap isteri dari perlakukan kasar suami, dan aturan tentang aborsi. Selain itu, kaum perempuan di Eropa dan Amerika mulai mendapatkan hak pilih pada tahun 1920. setelah itu gerakan perempuan di dunia Barat tidak terdengar lagi gaungnya.
Gerakan perempuan kembali menghangat pada tahun 1960-an, antara lain dengan munculnya “The New Women’s Liberation Movement” sampai akhirnya Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 8 Maret 1975 sebagai Tahun International Perempuan (International Women Years). Sejak itu perhatian dunia terhadap gerakan perempuan semakin besar.(Musdah Mulia, 1997)
Gerakan perempuan mengalami puncak pencerahan dengan dibentuknya Committee on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW), yaitu semacam jaringan emansipasi perempuan secara Internasional. Institusi ini lahir setelah United Nations (UN / PBB) menyetujui deklarasi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan (Convention of the Elimination of All Form of Discrimination Against Women) pada tahun 1979.
Pembentukan lembaga International itu dimaksudkan untuk memantau deklarasi tersebut sebagai Ketetapan hukum Internasional dalam rangka menghapus semua jenis tindak diskriminatif terhadap perempuan, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Dengan demikian, lembaga ini secara konstitusional memberikan perlindungan hukum terhadap perlakuan diskriminatif yang dialami perempuan dan menerapkan pola kesejajaran dan kemitraan dalam hubungan laki-laki dan perempuan.

Gerakan Perempuan Di Indonesia
Dalam sejarah perjuangan perempuan Indonesia tercatat tokoh-tokoh perempuan, seperti RA. Kartini, Dewi Sartika, H. Rasuna Said, dll, yang memperjuangkan hak-hak perempuan untuk dapat memperoleh pendidikan yang setara dengan laki-laki. Tokoh-tokoh perempuan itu mengungkapkan kegelisahan intelektualnya melihat kenyataan di masyarakat, sistem budaya yang tidak egalitier, dan realitas sosio-kultural pada saat itu mencerminkan kekentalan unsur-unsur feodalisme dan kolonialisme.
Sejarah mencatat bahwa gerakan perempuan di Indonesia mempertegas kehadirannya melalui “Kongres Perempuan Indonesia” ke-1 di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Kelak, tanggal 22 Desember ini diperingati sebagai Hari Ibu. Pergerakan perempuan Indonesia yang kemudian diikuti dengan partisipasi kaum perempuan dalam revolusi kemerdekaan telah memberi kemungkinan gerak kepada kaum perempuan untuk membentuk wajah perjuangan dalam bentuk organisasi-organisasi perempuan. Kini di era sekarang ini tercatat sekitar 75 buah organisasi perempuan yang tergabung dalam KOWANI.
Sejak 1980, Indonesia telah merativikasi konvensi PBB tentang penghapusan dikriminasi terhadap perempuan karena tidak bertentangan dengan UUD 1945 yang menetapkan bahwa semua warga negara berkedudukan sama di dalam hukum dan pemerintahan.
Masalahnya adalah benarkan perempuan Indonesia dewasa ini telah terbebas dari diskriminasi? Secara jujur dapat dijawab tidak. Jawaban itu antara lain terlontar dalam suatu lokakarya yang diadakan pada tanggal 19 Mei 1994 untuk memasyarakatkan konvensi PBB tersebut. Dalam lokakarya itu terungkap bahwa perlakukan diskriminatif terhadap perempuan masih terjadi diberbagai bidang. Diksrimiansi paling buruk terhadap perempuan terjadi di sektor ketenagakerjaan (BPS, Indikator Perempuan dan Anak, Jakarta, 1991). Di sektor ini masih ditemukan perbedaan gaji antara laki-laki dan perempuan untuk jenis dan posisi pekerjaan yang sama, perbedaan usia pensiun dan perbedaan jaminan kerja sosial.
Karena itu sangat mengherankan jika ada yang mempertanyakan relevansi gerakan perempuan di Indonesia. Pertanyaan seperti itu muncul karena adanya anggapan bahwa karakteristik, kebutuhan dan latar belakang sosial histories perempuan Indonesia jauh berbeda dari perempuan di Barat. Budaya Indonesia berbeda dengan budaya Barat dan yang lainnya, yaitu menempatkan posisi perempuan pada posisi terhormat seperti dinyatakan dalam ungkapan berikut : Perempuan adalah tiang negara, perempuan adalah ibu bangsa, sorga terletak dibawah telapak kaki ibu. Karena itu gerakan perempuan di Barat yang berakar di Barat tidak semuanya relevan untuk perempuan Indonesia. Ada juga pendapat bahwa isu-isu yang menjadi focus gerakan perempuan cenderung terpisah dari isu-isu nasional dan tidak memberikan sumbangan substansial terhadap penyelesaian masalah nasional.
Ketimpangan gender dan stereotype jenis kelamin masih sangat kuat di Indonesia yang menganut sistem patriarchy, termasuk dalam hal ini diskriminasi terhadap peran publik perempuan. Kuota 30 % UU Pemilu yang disahkan DPR RI pada tanggal 18 Februari 2003, juga belum memberikan bukti akan tidak adanya diskriminasi, sebab kuota tersebut hanyalah bersifat Affirmative Action, perlakuan sementara. Di beberapa wilayah, terutama di pedesaan, adat istiadat tradisional, kepercayaan tabu dan tekanan sosial masih menindas kaum perempuan. Anak-anak perempuan biasanya diberi makan lebih sedikit, ditarik dari bangku pendidikan lebih awal, dipaksa memasuki kerja kasar lebih cepat dan hanya sedikit yang mendapat perawatan kesehatan dibandingkan dengan laki-laki. Ketika remaja, kaum perempuan sering dipaksa kawin muda, kalau tidak ditarik ke dunia prostitusi. Setelah menjadi Ibu atau isteri, kaum perempuan masih banyak yang diperlakukan tak ubahnya sebagai mesin kerja dan umumnya mereka tidak mengenal adanya hak reproduksi, terlebih lagi sehat hak reproduksi.
Dewasa ini kita sedang berada pada masa pertumbuhan ilmu pengetahuan yang demikian pesat, yang memungkinkan proses perubahan menuju masyarakat industri. Kecenderungan utama suatu masyarakat industri adalah komoditisasi, termasuk pengkomoditasian manusia. Dengan bantuan tehnologi yang maju sangat pesat, kekuatan-kekuatan dominan telah menjadikan mayoritas masyarakat sebagai komoditas yang lemah posisinya dan menjadi konsumen yang pasif karena tidak dapat menawar. Mayoritas kaum perempuan –karena posisi dan kemampuannya yang dianggap inferior dari kaum laki-laki dalam banyak faktor penting- menjadi pihak yang paling rentan untuk terjerumus sebagai komoditas. Fenomena tersebut antara lain dapat dilihat pada kasus TKW, pekerja perempuan di sektor industri, dan para penjaja seks di sektor industri pariwisata.

Gerakan Perempuan di Dunia Islam
Gerakan perempuan di dunia Islam atau sering juga disebut dengan “Feminisme Islam” diperkirakan muncul sejak awal abad ini. Gerakan mereka antara lain dikenal melalui pemikiran tokoh-tokoh perempuan, seperti Nabawiyah Musa dan Aisyah Taymuriah, keduanya penulis asal Mesir, Fatima Aliye (Turki), Zaenab Fawwaz (Lebanon), Rukayyah Shahawat Husain, Taj al-Shulthananh (Iran) dan Huda Sya’rawi. Pemikiran mereka umumnya terfokus pada upaya untuk menumbuhkan kesadaran atas persoalan sensitive gender, termasuk melawan kebudayaan dan ideologi masyarakat yang mengekang kebebasan perempuan.
Pemikiran perempuan-perempuan muslim tersebut baru dapat diterima di Indonesia -walaupun tidak seluruhnya,- pada tahun 1990-an, yaitu sejak terbitnya buku-buku terjemahan dari Riffat Hasan, Fatima Mernisi, Ali Ashgar, dan Aminah Wadud.
Sebenarnya gerakan perempuan Islam, sebagaimana lazimnya sebuah gerakan perempuan. Tidak muncul dari satu pemikiran teoritis dan gerakan yang tunggal yang berlaku bagi seluruh kaum perempuan di wilayah Islam. Akan tetapi, gerakan ini sangat terkait dengan lingkungan histories dan secara kontekstual dimaksudkan untuk menjawab masalah-masalah yang aktual menyangkut ketidakadilan dan ketidaksederajatan.
Satu-satunya yang membedakan gerakan perempuan muslim ini dengan perempuan pada umumnya terletak pada adanya dialog yang intensif antara prinsip-prinsip keadilan dan kesederajatan yang ada dalam teks-teks keagamaan dengan realitas yang ada dalam masyarakat muslim menyangkut perlakuan terhadap perempuan. Karenanya gerakan perempuan Islam pada hakekatnya hendak menggugah kesadaran akan adanya penindasan dan pemerasan terhadap perempuan di dalam masyarakat. Di tempat kerja, bahkan di dalam keluarga yang seringkali disahkan dengan argumen-argumen yang diklaim bersifat keagamaan.
Salah satu yang menjadi persoalan penting gerakan perempuan dalam di dunia Islam adalah persoalan patriarchy yang dipandang sebagai akar dari seluruh kecenderungan misogynist (kebencian terhadap perempuan). Sa’id Al-Afghani (1971: 34) misalnya, menuding perempuan sebagai “biang keladi” dari seluruh persoalan yang terjadi, seperti peristiwa perang unta antara Sayyidatina ‘Aisyah Ra., dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra. Dan lebih jauh lagi, al-Afghani menilai bahwa Sayyidatina ‘Aisyah Ra, harus bertanggung jawab terhadap kekisruhan tersebut. (Fatima Mernisi, 1997, xiii).
Paham patriarchy membawa pada timbulnya interpretasi ajaran agama yang memihak pada kepentingan laki-laki seperti terlihat dalam kitab-kitab fiqh yang nyaris semuanya ditulis oleh kaum laki-laki. Karenanya masalah fiqh perempuan boleh dikatakan tidak pernah ditulis berdasarkan pengalaman dan penghayatan keagamaan kaum perempuan itu sendiri. Sistem yang berdasarkan patriarchi tersebut biasanya mengandung upaya pengekangan kebebasan perempuan dan pembatasan gerak di dalam rumah tangga. Akibatnya kaum perempuan menjadi tidak mandiri dan sangat tergantung pada kaum laki-laki, baik ekonomis maupun psikologis. Semua itu menurut Fatima Mernisi, timbul melalui pandangan stereotype tentang hijab, yang menjadi landasan bagi pembatasan antara ruang publik (public sphere) dan ruang domestik (domestic sphere). Seolah-olah dunia publik adalah dunia laki-laki, sedangkan ruang domestik adalah milik kaum perempuan. Selain itu norma-norma moral, sosial dan hukum pun lebih banyak berpihak pada kaum laki-laki daripada perempuan.
Untunglah dalam paruh kedua abad ini jumlah perempuan kelas menengah dan atas yang mendapatkan kesempatan dan akses dalam kehidupan di dunia publik melalui pendidikan semakin meningkat. Di antara mereka banyak yang menulis tentang relasi-relasi gender yang timpang dan hubungannya dengan keluarga dan masyarakat. Tulisan-tulisan para feminis muslim itu pada akhirnya menimbulkan kesadaran perempuan muslim akan hak-hak mereka yang selama ini dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan moral agama.
Tujuan gerakan perempuan di dunia muslim pada hakekatnya adalah untuk membebaskan umat Islam baik perempuan maupun laki-laki dari struktur sosial dan pandangan keagamaan yang tidak adil, yang menghambat hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan sosial, hukum maupun keagamaan. Dengan kata lain, mereka ingin menegakkan suatu tatanan masyarakat Islami yang didalamnya hak-hak perempuan lebih terjamin.


Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.

Syahruddin El-Fikri
Aktif pada Lembaga Kajian Agama dan Sosial (eLKAS), Mantan Sekretaris Umum PMII Cabang Jombang tinggal Semarang

Tidak ada komentar: