Rabu, 02 April 2008

"Padukan Hisab Rukyah, Satukan NU-Muhammadiyah

"Padukan Hisab Rukyah, Satukan NU-Muhammadiyah

Republika, 23 Nop 2003

Buku ini menawarkan konsep imkanurrukyah, yakni sistem rukyah yang bersendikan dengan hisab).

Kita sering menyaksikan perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadhan. Perbedaan penetapan tersebut sering melibatkan dua ormas Islam terbesar di tanah air ini, yaitu antara Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan Rukyah dan Muhammadiyah yang menggunakan Hisab. Dan tentu saja, perbedaan itu terkadang sangat sulit dipahami oleh masyarakat awam. Mereka sering bingung dalam menetapkan pilihan: apakah mengikuti Muhammadiyah atau mengikuti Nahdlatul Ulama. Walaupun Rasulullah Saw dalam salah satu sabdanya pernah mengatakan bahwa ''Perbedaan di antara ummatku adalah rahmat'' (Al-Hadits), namun tak tak jarang perbedaan tersebut sering menjadikan hubungan kedua organisasi itu menjadi renggang.

Pangkal perbedaan yang selama ini terjadi di kalangan kedua ormas tersebut dalam menetapkan awal dan akhir Ramadhan adalah berdasarkan pada perbedaan dalam memahami hadits yang berbunyi; Shumu li ru'yatihi wa afthiru li ru'yatihi fain ghumma `alaihi fa istakmiluhu tsalatsina yawman. Yang bermakna: ''Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, bila tertutup awan, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban menjadi 30 hari."

Perbedaan dalam memahami hadits inilah yang menjadi pangkal perbedaan dalam menetapkan awal dan akhir Ramadhan. Dari dasar itu, lalu kemudian muncul dua pemahaman dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal. Pertama, Rukyat yaitu melihat hilal pada akhir Sya'ban atau Ramadhan pada saat Maghrib atau Istikmal (sempurna), yaitu menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari ketika rukyat terhalang oleh awan (mendung). Kedua, Hisab yaitu dengan menggunakan perhitungan yang didasarkan pada peredaran bulan, bumi, dan matahari menurut ahli hisab (ulama Haiat).

Dari dua pemahaman tersebut, kalau dicermati secara seksama dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, perbedaan sistem hisab dan rukyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sehingga hasilnya pun menimbulkan perbedaan penggarapan, sebagaimana adanya klasifikasi sistem hisab (hisab haqiqy taqribu, hisab haqiqy tahqiqy, hisab haqiqy kontemporer). Kedua, perbedaan hasil ijtihad para ulama fiqh dalam masalah penetapan awal dan akhir Ramadhan.

Ada aliran rukyat seperti Imam Ramli dan Al-Khatib Asy-Syaibani yang menyatakan jika rukyat berbeda dengan perhitungan hisab, maka yang diterima adalah kesaksian rukyat, karena hisab diabaikan oleh syari'at (Nihayah al-Muhtaj III: 351). Dan ada juga aliran hisab murni seperti Imam As-Subkhy, Imam Ibbady, dan Imam Qalyuby.

Menurut mereka, jika ada orang menyaksikan hilal sedangkan menurut perhitungan hisab tidak mungkin dirukyat, maka kesaksian tersebut harus ditolak (I'anatut Tholibin II:261) dan aliran Moderat seperti Imam Ibnu Hajar yang menyatakan bahwa Syahadat (penyaksian) atau rukyat dapat ditolak, jika ahli hisab sepakat (ittifaq), namun jika tidak terjadi ittifaq (kesepakatan) maka rukyat tidak dapat ditolak (Tuhfah al-Mulhaj II: 382).

Perbedaan-perbedaan dalam menetapkan masalah awal dan akhir bulan antara kedua ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni antara NU dan Muhammadiyah inilah yang mendorong penulis buku ini, Ahmad Izzuddin, mencoba menggabungkan antara keduanya yakni antara rukyah dengan hisab. Di samping itu penulis buku ini juga menawarkan konsep atau formulasi mazhab imkanurrukyah (penggabungan antara rukyah dengan hisab, yakni sistem rukyah yang bersendikan dengan hisab).

Seperti diketahui selama ini semasa pemerintahan Orde Baru cq Menteri Agama nampak tidak konsisten dalam (dasar) penetapan awal-akhir Ramadhan. Hal tersebut terjadi karena seringnya terjadi ''kepentingan politik" dari pemerintah. Bila menteri agamanya dari NU, maka dasar penetapannya menggunakan rukyah (melihat hilal) dan jika si menteri dari Muhammadiyah maka dasar penetapannya menggunakan hisab (perhitungan).

Hal inilah yang sering menimbulkan ketidakpercayaan sebagian kelompok masyarakat terhadap ketetapan pemerintah sebagai Ulul Amri yang mestinya ditaati, sehingga muncul ketetapan awal-akhir Ramadhan dari ormas NU dan Muhammadiyah dengan cara sendiri-sendiri baik dengan bahasa instruksi maupun ihbar. Realitasnya selama ini, walaupun sudah ada sidang Isbat yang dilakukan oleh Pemerintah cq Menteri Agama yang diikuti oleh perwakilan ormas Islam di Indonesia dan pihak-pihak terkait, namun kenyataannya di masyarakat masih ada "ketetapan-ketetapan lain" yang kadang berbeda dengan ketetapan pemerintah tersebut.

"Misalnya NU dengan menggunakan istilah ihbar dan Muhammadiyah dengan menggunakan instruksi. Kedua ketetapan tersebut walaupun sifatnya menggunakan bahasa ihbar dan instruksi, tetapi masyakat awam masih sulit memahaminya. Maka untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat tersebut, dalam era pemerintahan sekarang ini perlu adanya langkah konkret yang objektif persuasif. Di samping juga mengambil langkah-langkah kebijakan penetapan awal-akhir Ramadhan itu harus sesuai dengan aspirasi dan standar penetapan hukum penetapan yang objektif dan ilmiah. Sehingga tidak ada kecenderungan atau keberpihakan pada dasar penetapan yang dipakai oleh siapa yang sedang berkuasa atau dari ormas mana menteri agamanya berasal.

Menurut cendekiawan muslim Nurcholis Madjid, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan dua sayap burung garuda Pancasila Indonesia yang harus dikompromikan jika ingin menjadikan negara ini besar. Jejak kompromi tersebut, adalah bagaimana "mengkyaikan Muhammadiyah dan mendoktorkan Nahdlatul Ulama" sebagaimana yang ditawarkan oleh Abdurrahman Mas'ud. Jadi dengan tawaran konsep imaknurrukyah ini, diharapkan perbedaan yang selama ini sering terjadi di antara kedua ormas tersebut bisa diselesaikan dengan mencari titik temu yang jelas.

Sebenarnya, dua metode yang selama ini menjadi pegangan dan pedoman yang dilakukan oleh kedua ormas tersebut merupakan dua metode yang saling melengkapi. Metode hisab sebagai prediksi dan perhitungan, walaupun sebelum ini statusnya adalah sebatas hipotesis verifikatif masih perlu menggunakan pembuktian observasi (rukyah) di lapangan.

Demikian juga sebaliknya, kontinuitas rukyah yang dibuktikan dengan hasil hisab harus selalu dilakukan setiap awal dan akhir bulan Qomariyah, sehingga tidak terbatas pada akhir bulan Sya'ban, akhir Ramadhan, dan akhir Dzulqa'dah saja. Dengan cara ini, maka hasil akhir standarisasi ketinggian hilal dapat dihasilkan sebagai hasil kompromi metode hisab dan rukyah secara empiris ilmiah.

Oleh karena itu, menurut penulis buku ini yang juga sebagai Dosen Ilmu Falak di berbagai perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah, perbedaan yang ada tidak akan terjadi lagi, jika kedua ormas Islam tersebut secara konsisten memegang prinsip-prinsip tersebut. Apakah mengikuti kemauan pemerintah dengan dasar Hukmul Hakim Hazamun wa Yarfa'ul Khilaf, dengan sikap yang legowo atau tetap pada keputusan sendiri-sendiri.

Namun, walaupun pemerintah dalam menetapkan awal-akhir bulan Qomariyah berdasarkan sidang Isbat lebih banyak dipengaruhi dan cenderung berpihak pada salah satu ormas yang membesarkan sang menteri agama, mestinya pemerintah sebagai Ulul Amri idealnya tetap harus aspiratif selektif dan persuasif dengan dasar ilmiah bukan atas dasar pertimbangan politis.

Wallahu a'lamu bishshawab.

Syahruddin El-Fikri

Penggiat Lembaga Kajian Agama dan Sosial Semarang

Judul buku : Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia, Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah dengan Mazhab Hisab
Penulis : Ahmad Izzudin
Pengantar : Prof Dr H Ahmad Rofiq, MA
Penerbit : Logung Pustaka Yogyakarta
Cetakan : I, Oktober 2003
Tebal : xx + 182 hlm

Tidak ada komentar: