Kamis, 26 Juni 2008

Bila Harga Nyawa Tak Semahal Helm






Jodoh dan rezeki adalah urusan Tuhan, begitu juga dengan kematian adalah kehendak Tuhan Yang Maha Pencipta. Proses kematian itu terjadi karena bermacam-macam. Ada yang karena sakit, keracunan, tabrakan, kebakaran dan lain sebagainya. Pendek kata, umur sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.

Namun tanpa disadari, terkadang kita justru bermain-main dengan kematian. Entah bermain dengan api yang kemudian jadi terbakar, atau dengan bermain sulap menusukkan pisau ke tubuh, dan lainnya. Nyawa menjadi mainan belaka. Bahkan bagi sebagian orang, mungkin nyawa tidak memiliki arti apa-apa. Lihatlah cara mereka memperlakukan nyawa dengan segitu 'murahnya.'

Ada ungkapan menarik, bila tidak ingin terbakar, janganlah bermain api. Dan jika tidak ingin terluka, jangan bermain pisau. Namun, manusia justru bermain-main dengan api dan pisau. Hal itu dilakukan bukan untuk keperluan yang sepatutnya, tetapi untuk sekadar unjuk kebolehan dan menunjukkan 'kedigdayaan' semata. Tak jarang, mereka sendiri mengalami kecelakaan yang berakibat fatal dengan main-main itu, yaitu meninggal dunia.

Kini, sebagian kematian itu berada di jalanan (selain di rumah, di rumah sakit, di kantor dan lainnya). Jumlahnya mencapai puluhan hingga ratusan ribu. Lengah sedikit saja, pelakunya siap menjemput ajal. Ya, data Polda Metro Jaya menyebutkan, tahun 2006 terdapat lebih kurang 4.407 kecelakaan dengan jumlah korban mencapai 1.128 orang. Ini baru untuk Polda Metro Jaya. Bagaimana dengan wilayah lainnya di seluruh Indonesia yang totalnya berjumlah 33 Polda?

Jika wilayah lainnya kita anggap memiliki kejadian dan jumlah korban separoh dari wilayah DKI,
berarti pada tahun 2006 terdapat 18.048 orang. Ditambah dengan korban dari Jakarta yang mencapai 1.128 jiwa, maka total korban meninggal dunia sebanyak 19.176 jiwa.

Menurut riset yang dilakukan Asian Development Bank (ADB), pada tahun 2003 terdapat 24,5 juta kecelakaan di jalan raya di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sembilan ribu orang mengalami luka-luka ringan, enam ribu orang luka berat dan 8,7 ribu orang meninggal dunia. Sebanyak 16 persen kecelakaan tersebut berhubungan dengan mobil dan 73 persen dengan sepeda motor.

Pada peringatan Pekan Keselamatan Transportasi Nasional yang diselenggarakan Departemen Perhubungan (Dephub) di silang Monas, Jakarta pada 20 April silam, Wakil Presiden RI, HM Jusuf Kalla menyatakan, jumlah korban akibat kecelakaan lalu lintas mencapai 30 ribu orang per tahun. Jumlah ini, lebih banyak daripada jumlah korban flu burung yang mencapai 100 orang per tahun yang justru sangat dihebohkan oleh dunia.

Besarnya jumlah kecelakaan ini, diantaranya disebabkan oleh makin banyaknya jumlah kendaraan bermotor. Berdasarkan data Samsat Polda Metro Jaya, hingga tahun 2006 jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sebanyak 7.840.671 unit. Terdiri atas, 1.829.576 kendaraan penumpang, 503.789 unit kendaraan beban, 313.295 unit bus dan 5.194.011 unit sepeda motor. Jumlah kendaraan bermotor itu, hampir sama dengan jumlah warga DKI Jakarta yang mencapai 8.603.776 jiwa.

Pada siang hari, angka tersebut akan bertambah seiring dengan datangnya para pekerja dari kota satelit seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, Depok dan daerah sekitarnya yang mencapai empat juta orang, sehingga total mencapai 12 juta jiwa lebih.

Posisi Jakarta sebagai pusat ekonomi telah mendorong orang-orang diluar Jakarta dan luar pulau Jawa untuk mencari rezeki di ibukota Indonesia ini. Banyak dari orang-orang yang datang ke Jakarta ini tanpa dibekali dengan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga berdampak pada masalah sosial. Salah satunya berkaitan dengan lalu lintas. Minimnya keterampilan dalam berkendaraan, membuat tingkat kecelakaan yang disebabkan oleh faktor pengendara cukup besar.


Sepeda Motor

Direktur Direktorat Mabes Polri, Brigjen Polisi Drs Yudi Sushariyanto SH mengungkapkan, dari seluruh peristiwa kecelakaan terdapat tiga faktor utama yang menjadi penyebabnya. Yakni, faktor manusia (pengendara), lingkungan (jalan) dan kendaraan yang kurang laik jalan. ''Dari tiga penyebab itu, faktor pengendara dalam arti minimnya keterampilan berkendara dan ketidakwaspadaannya, menempati posisi teratas dibandingkan dengan faktor lainnya,'' kata Yudi.

Berdasarkan data Ditlantas Polda Metro Jaya, tahun 2006 terdapat 4.407 kejadian (kecelakaan) dengan melibatkan 3.092 kejadian dikarenakan oleh faktor pengemudi (pengendara), 823 karena kendaraan tidak laik jalan dan 492 karena kondisi jalan yang tidak baik.

Sementara itu, Kasi Dikmas Polda Metro Jaya, Kompol Warsinem menyebutkan, dari jumlah kecelakaan yang terjadi di Polda Metro Jaya pada tahun 2006, sebanyak 3.134 kejadian disebabkan oleh kendaraan roda dua (sepeda motor) dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 857 orang dan 1.851 orang mengalami luka berat serta 1.519 orang menderita luka ringan. Artinya, hanya di Jakarta, setiap harinya terdapat 2-3 orang yang meninggal dunia akibat kecelakaan sepeda motor.

Berdasarkan data Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI), hingga saat ini jumlah sepeda motor di Indonesia mencapai 28 juta unit. Angka ini terus bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2005, jumlah sepeda motor yang berhasil dicatat oleh AISI terjual sebanyak 5,1 juta unit. Kemudian pada tahun 2006 terjual sebanyak 4,2 juta unit dan pada 2007 terjual lagi sebanyak 4,4-4,6 juta unit. ''Tahun ini, jumlah sepeda motor diperkirakan akan bertambah sebanyak 4,6 hingga 5 juta unit,'' kata Direktur Marketing PT Astra Honda Motor (AHM), Johannes Loman.


Helm Standar

Berdasarkan data Ditlantas Polda Metro Jaya, jumlah korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengendara sepeda motor jaug lebih banyak dibandingkan dengan pengemudi (mobil). Jumlahnya lebih dari tiga kali lipat.

Namun, satu hal yang menjadi catatan penting, sebagian besar pengendara sepeda motor yang meninggal itu, karena tidak dilengkapi dengan standar keselamatan yang sempurna. Baik dari kepala (Helm), lutut/dengkul, mata kaki, siku, tangan, punggung dan lainnya. Begitu juga dengan kendaraannya yang tidak dilengkapi dengan spion, akibat rem yang blong, ban bocor/pecah dan lain sebagainya.

Lebih spesifik lagi, jumlah korban yang meninggal itu disebabkan karena mengalami pecah kepala. Artinya, helm yang digunakan tidak mampu menahan kerasnya benturan/kecelakaan yang terjadi, sehingga mengalami kondisi yang parah tersebut.

Secara kasat mata, dengan mudah bisa kita saksikan banyaknya pengendara sepeda motor yang tidak menggunakan helm standar (helm yang memenuhi unsur keselamatan/Safety). Menurut ketentuan Internasional, helm standar itu memenuhi empat unsur penting (komponen dasar), yaitu outer shell (bagian terluar, bahannya bisa terbuat dari fiberglass, atau seperti thermoplasticpolycarbonate); impact-absorbing liner (bagian penahan benturan dari dalam helm, biasanya terbuat dari polystyrene); comfort padding (lapisan untuk kenyamanan seperti busa dan kain pelapis); dan retention system (sistem pengikat helm). Yang terakhir ini merupakan komponen yang sangat penting untuk memastikan agar helm tetap menempel di kepala meski terjadi kecelakaan. Setiap tali dirancang agar terhubung pada setiap sisi dari tempurung helm.

Dari keempat komponen tersebut, maka kualifikasi helm yang memenuhi standar tersebut adalah helm yang memiliki pelindung luar, pelindung bagian dalam, busa pengaman dan tali pengikat. Dengan contoh ini, maka helm yang dianggap memenuhi standar adalah helm yang berbentuk full face (menutup keseluruhan wajah). Helm model ini merupakan jenis helm yang memberikan keselamatan tertinggi. Sedangkan helm model 3/4 (three-quarter open face), walaupun konstruksinya sama dengan helm full face, namun memiliki tingkat perlindungan lebih kecil.

Bagaimana dengan helm yang half face (setengah terbuka) seperti jenis helm batok (topi)? Helm jenis ini dalam UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas tidak direkomendasikan. Sebab, tingkat keamanan dan kenyamanan untuk pengendara sepeda motor sangat kecil.

Namun demikian, realitas di lapangan, ternyata banyak pengendara sepeda motor yang tidak menggunakan helm 3/4 atau standar. Parahnya lagi, malah banyak yang menggunakan helm half face (cetok) bahkan tidak menggunakan helm. Kalau pun terpaksa menggunakan helm, maka yang dipilih pun tentunya yang lebih murah atau seharga Rp 10 ribu per unit. Dengan bangganya mereka menggunakan helm cetok tersebut. Seolah, mereka tak mau peduli dengan nyawanya. Prinsipnya, pakai helm tersebut agar tidak ditilang polisi. Ternyata, mereka lebih sayang pada uang daripada nyawa mereka meregang di aspal. Ya, harga nyawa mereka tak lebih mahal dari sebuah helm cetok yang berharga Rp 10 ribu.


Tanggung Jawab Bersama

Kesadaran masyarakat akan keselamatan lalu lintas masih sangat minim. Sama minimnya dengan pemahamannya terhadap UU Lalu Lintas. Karena itulah, beberapa pabrikan kendaraan bermotor maupun industri pendukung otomotif nasional, bahu-bahu mengampanyekan pentingnya keselamatan berlalu lintas ini. Dua pabrikan sepeda motor yang sangat konsisten mengampanyekan keselamatan berlalu lintas dalam setiap kegiatannya adalah PT Astra Honda Motor (AHM) dan PT Yamaha Motor Kencana Indonesia (YMKI). Selain dengan pelatihan dan kegiatan Safety Riding, AHM juga memiliki Honda Riding Trainer (HRT) yaitu alat simulasi untuk memahami keselamatan berlalu lintas.

Sedangkan YMKI juga menggelar kegiatan serupa dan turut melibatkan unsur kepolisian. Pertengahan Mei 2008 lalu, pabrikan berlambang garpu tala ini menggelar Indonesian Traffic Police Safety Course & Contest di Mapolda Metro Jaya.

Yang cukup menggembirakan justru keterlibatan PT Shell Indonesia terhadap pentingnya keselamatan berlalu lintas ini. Shell membuktikan kepedulian dengan turut mengampanyekan keselamatan berkendara di jalan. Antara lain, turut berpartisipasi dalam Manajemen Modern untuk Keselamatan di jalan dan Indonesia Defensive Driving Center, serta melakukan perawatan sepeda motor secara berkala dengan menggunakan pelumas Shell Advance.

Mesin motor yang kurang dirawat, dapat menimbulkan kerusakan pada mesin. Apalagi, bila pelumas yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi mesin. Akibatnya, bisa terjadi gesekan antarkomponen yang bisa berakibat pada kerusakan dan keausan pada mesin.

Untuk itulah, Shell memproduksi pelumas Shell Advance yang berteknologi tinggi dan mampu melindungi mesin dari kerusakan akibat gesekan yang terjadi. Pelumas Shell Advance memiliki teknologi DPA (Dynamic Performance Addition), yaitu teknologi pendukung yang terbukti dan dipercaya dapat membantu mengatur oksidasi di dalam mesin. Pihak Shell mengklaim, dengan menggunakan pelumas ini, maka para pengendara sepeda motor dapat merasakan daya respon yang lebih dari sepeda motor mereka.

Shell Advance yang memiliki tujuh varian (tiga varian untuk kategori 4-Tak dan empat varian untuk kategori 2-Tak) ini, juga mencegah penguraian didalam mesin, sehingga pelumas terus bekerja sampai saat penggantian pelumas yang berikutnya. Selain itu, Shell Advance juga memiliki detergen khusus yang mendukung kebersihan komponen dengan melepaskan kemudian meluruhkan partikel karbon hitam yang membandel secara aman. Kelebihan-kelebihan tersebut dapat membantu meningkatkan kinerja mesin motor sehingga menjadi lebih prima.

Ini merupakan upaya konkret Shell sebagai bentuk tanggung jawab dan kepeduliannya dalam meminimalkan jumlah kecelakaan kendaraan bermotor termasuk menurunkan angka korban meninggal dunia akibat kecelakaan. Sekaligus, meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keselamatan berlalu lintas dan berkendara dengan baik dan benar. Upaya ini semua tentuanya akan sia-sia, bila masyarakat tidak mau menghargai nyawanya sendiri.

n syahruddin e/republika



Tidak ada komentar: