Tampilkan postingan dengan label tokoh muslim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tokoh muslim. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Januari 2009

Al-Ghayah wa al-Taqrib :Dasar-dasar Ilmu Fiqih


Al-Ghayah wa al-Taqrib :Dasar-dasar Ilmu Fiqih






Ilmu fiqih merupakan salah satu cabang hukum Islam yang memuat tentang berbagai permasalahan umat dalam kehidupan sehari-hari. Di dalamnya, dibahas tentang masalah, antara lain ubudiyah (ibadah), muamalah (perdagangan dan hubungan antarsesama), jinayah (hukum pidana), dan munakahat (pernikahan).

Kitab-kitab yang membahas masalah tersebut cukup banyak, mulai dari mahzab Maliki, Syafi'i, Hanafi, hingga Hanbali. Dari sekian banyak kitab itu, satu di antaranya adalah al-Ghayah wa al-Taqrib yang ditulis oleh Ahmad bin Husain bin Ahmad al-Isfahani atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Syuja' (Bapak Pemberani).

Di pesantren, kitab ini menjadi rujukan para kiai dan santri dalam mempelajari hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan kehidupan umat sehari-hari. Menurut Samsul Arifin, seorang sarjana alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang mengangkat salah satu topik bahasan dalam kitab ini, mengatakan, kitab Taqrib merupakan kitab yang sangat padat dalam menjelaskan hukum-hukum fiqih. Di dalamnya diuraikan 16 bab hukum fiqih, mulai dari bab Thaharah (bersuci) sampai ahkam al-i'tqi.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah, Lasem, Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Zaim Ma'soem, menjelaskan, kitab ini menjadi rujukan para ulama Salaf al-Shalihin (orang-orang saleh zaman dulu). Karena, kitab Taqrib ini sangat lengkap dalam membahas masalah-masalah fiqih.

''Kendati ringkas, kitab ini mengandung makna yang sangat luas. Dan, isinya sangat lengkap dan mudah dipahami setiap orang yang baru belajar tentang fiqih,'' kata Gus Zaim--sapaan akrabnya--kepada Republika.

Selain itu, tambah Gus Zaim, kitab ini juga menjadi rujukan di pesantren-pesantren dalam mempelajari ilmu fiqih. ''Hampir seluruh pesantren tradisional mengenal kitab ini dan syarah-nya. Ia diajarkan sejak berdirinya pesantren hingga saat ini,'' ungkap Ketua Umum Rabithah Ma'ahidil Islamiyah (RMI, Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia) Provinsi Jawa Tengah ini.

Di dalam kitab Taqrib ini, kata Gus Zaim, dibahas tentang dasar-dasar ilmu fiqih, seperti masalah ubudiyah, muamalah, munakahat, dan jinayah.

Dalam bidang ibadah, di antaranya dibahas tentang cara menggunakan air untuk bersuci. Di dalam kitab Taqrib disebutkan, air yang boleh untuk bersuci itu ada tujuh macam air, yaitu air langit, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air salju, dan air embun.

Maksud dari kalimat tersebut adalah ''(Air yang boleh) artinya sah (untuk bersuci itu ada tujuh macam, yakni air langit) artinya yang terjun dari langit, seperti hujan. Kemudian, air laut artinya yang asin, air sungai (yang tawar, yang mengalir), air sumur, air sumber, air salju dan air embun.'' Ketujuh air yang dimaksud tertuang dalam ungkapan berikut: ''Apa yang turun dari langit dan apa yang menyembul dari bumi dalam keadaan bagaimanapun adalah termasuk pokok penciptaan. (Lihat syarah Fath al-Qarib al-Mujib karya Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi, hlm 3).

Kemudian, dalam bab al-Shiyam (bab Puasa), Abu Syuja' menulis tentang syarat-syarat dan kewajiban puasa itu ada empat macam, yaitu Islam, aqil (berakal, tidak gila), baligh (sudah mencapai umur), dan mampu berpuasa.

Dalam bab al-Shiyam ini, Abu Syuja' menulis tentang hal-hal yang harus dilakukan saat berpuasa, hal-hal yang membatalkan puasa, hal-hal yang dianjurkan selama berpuasa, larangan berpuasa, serta sanksi bagi mereka yang melanggar larangan tersebut.

Kemudian, dalam bab Haji, Abu Syuja' juga menulis secara lengkap tentang syarat-syarat haji dan umrah, rukun umrah, rukun haji, wajib haji, dan larangan-larangan selama berhaji.

Sedangkan dalam bab Zakat, Abu Syuja' menerangkan tentang kewajiban berzakat, harta yang wajib dizakati, dan orang yang berhak menerima zakat.

Menurut Abu Syuja', ada lima jenis harta yang wajib untuk dikeluarkan zakatnya, yaitu hewan ternak, barang berharga maksudnya adalah emas dan perak, tanaman, biji-bijian, dan barang perdagangan.

Dijelaskan oleh Al-Ghazzi dalam syarah-nya, Fath al-Qarib, hewan ternak yang wajib dizakati itu ada tiga jenis hewan, yaitu unta, sapi atau kerbau, dan kambing (domba). ''Karena itu, tidak ada kewajiban zakat atas kuda dan hewan hasil persilangan antara kambing dan kijang,'' ungkapnya.

Walaupun isinya sangat ringkas, kata Gus Zaim, kitab Taqrib ini cukup jelas dalam menggambarkan masalah-masalah hukum fiqih. ''Karena isinya yang simpel dan ringkas, kitab ini menjadi rujukan para ulama untuk menjelaskan secara komprehensif mengenai ilmu fiqih,'' paparnya. n sya

-----00000-----

Jadi Rujukan Para Ulama Fikih


Pengarang Kitab Taqrib ini bernama lengkap Ahmad bin Husain bin Ahmad al-Isfahani al-Syafi'i. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Abu Syuja' yang berarti Bapak Pemberani. Ia dilahirkan di Kota Isfahan, sebuah kota di Persia, Iran, pada 433 H (1042 M) dan wafat pada 593 H (1196 M) di Kota Madinah.

Julukan yang diberikan para ulama dengan nama Abu Syuja', bukannya tanpa alasan. Ia dikenal akan keberaniannya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Hal ini berkaitan dengan jabatannya sebagai menteri pada Dnasti Bani Seljuk. Selain Abu Syuja', ia juga dijuluki Syihab Al-Dunya wa al-Din (Bintang Dunia dan Agama). Itu karena kecerdasan dan kepandaiannya dalam bidang agama dan menjadi rujukan para ulama Fikih dalam masalah keagamaan.

Dalam kebenaran, Abu Syuja' tak pernah peduli dengan caci maki, hujatan, dan kecaman dari siapa pun. Ia dengan tegas menyampaikan hukum-hukum Allah. Karena keberaniannya itulah, para ulama menjulukinya, Abu Syuja' (Bapak Pemberani).

Sedangkan, julukan Syihab al-Dunya wa al-Din (Bintang Dunia dan Agama), berkat kepakarannya dalam bidang fikih. Abu Syuja' dikenal sebagai salah seorang ulama penganut Mazhab Syafi'i. Di Basrah, ia mendalami mazhab fikih yang dipelopori Imam Syafi'i selama 40 tahun lebih.

Kecerdasan Abu Syuja' diakui banyak ulama. Bahkan, Kitab Taqrib yang dikarangnya, menjadi rujukan para ulama fikih, khususnya dari Mazhab Syafi'i. Sejumlah kitab yang mensyarahi Kitab Taqrib cukup banyak jumlahnya. Di antaranya, Kifayat al-Akhyar fi Syarh Ghayah al-Ikhtishar karya Imam Taqiyuddin bin Muhammad al-Husaini al-Hishni al-Dimasyqi, wafat tahun 892 H. Kemudian ada Al-Iqna' fi Hall Alfazh Abi Syuja' karya al-Khatib as-Sarbini. Selain itu, ada pula Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh at-Taqrib atau al-Qaul al-Mukhtar fi Syarh Ghayat al-Ikhtishar karya Abu Abdillah Muhammad bin Qasim al-Gazzi, wafat tahun 918 H.

Selain keberanian dan kecerdasannya dalam bidang agama, Abu Syuja' juga dikenal sebaga pribadi yang dermawan. Saat menjabat menteri pada Dinasti Bani Seljuk, ia mengangkat 10 orang pembantu yang bertugas membagi-bagikan hadiah dan sedekah. Kesepuluh orang pembantunya itu diserahi tugas membawa uang 120.000 dinar. Uang sebanyak itu dibagi-bagikan kepada para ulama dan orang-orang saleh.

Dan, di akhir usianya, ia memilih hidup dalam kezuhudan (melepaskan diri dari urusan dunia dan mengabdikan diri semata-mata karena Allah--Red). Seluruh hartanya dilepaskan, lalu ia pergi ke Madinah. Di Kota Nabi ini, kendati pernah menjabat sebagai menteri, Abu Syuja' tak malu melakukan kebiasaan orang-orang kecil. Ia menyapu dan menghamparkan tikar serta menyalakan lampu Masjid Nabawi. Kegiatan ini rutin dilakukannya setiap hari. Tugas ini dilakukannya, setelah salah seorang petugas Masjid Nabawi meninggal dunia. Rutinitasnya ini ia lakukan sampai ajal menjemputnya pada 593 H (1166 M).

*****

Abu Syuja' adalah salah seorang ahli fikih Mazhab Syaf'i yang diberikan umur panjang oleh Allah, yakni 160 tahun menurut kalender hijriyah dan 154 tahun menurut kalender masehi.

Abu Syuja' meninggal dunia di Madinah. Jenazahnya dimakamkan di masjid yang ia bangun sendiri di dekat Bab Jibril, sebuah tempat yang pernah disinggahi Malaikat Jibril. Letak kepalanya berdekatan dengan kamar Makam Nabi SAW dari sebelah timur.

Walaupun usianya sangat panjang, namun fisiknya tetap muda. Konon, tak ada satu pun anggota tubuhnya yang cacat. Ketika ditanyakan apa rahasianya? Abu Syuja' menjawab: ''Aku tak pernah menggunakan satu pun anggota tubuhku untuk berbuat maksiat kepada Allah. Karena di masa mudaku, aku menjaganya dari perbuatan maksiat, maka Allah menjaga anggota tubuhku di usia senja.'' n sya



AQIDAH AL-AWWAM : PELAJARAN TAUHID BAGI PEMULA

AQIDAH AL-AWWAM : PELAJARAN TAUHID BAGI PEMULA

Kitab ini mengajarkan kepada setiap muslim untuk lebih mengenal tentang Rabb-nya, sebagaimana ia mengenal dirinya sendiri.



Di dunia pesantren, khususnya salafiyah, kitab kuning merupakan rujukan bagi sejumlah santri dan kyai untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari. Hampir tiada hari bagi seorang santri, tanpa bersentuhan dengan kitab kuning. Kitab kuning adalah sebuah buku yang ditulis para ulama Salafiyah (mutaqaddimin; terdahulu), tentang persoalan kehidupan sehari-hari. Umumnya, kitab kuning itu membahas tentang masalah fiqih (shalat, puasa, zakat dan haji), hadits, tasawuf, tata bahasa arab (nahwu, sharaf, balaghah, mantiq), tafsir, aqidah (Tauhid) dan lainnya.

Dinamakan kitab kuning, karena kertasnya berwarna agak merah kekuning-kuningan. Kitab ini ditulis dalam bahasa arab tanpa harakat (baris). Karena itu, di kalangan santri, kitab kuning disebut juga kitab gundul (tanpa harakat).

Dalam bidang aqidah, banyak dibahas tentang keimanan dan hubungan seorang Abid (yang menyembah; hamba) dengan Ma’bud (Yang disembah; Allah), keimanan kepada Rasul-rasul Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Qadla dan Qadar serta Hari Kiamat. Dan salah satu kitab kuning yang membahas tentang aqidah ini adalah ‘Aqidah Al-Awwam karya Sayyid Ahmad Al-Marzuki Al-Maliki, yang ditulis pada tahun 1258 H.

Sesuai dengan namanya ’Aqidah Al-Awwam, yang berarti aqidah untuk orang-orang awam, kitab ini diperuntukkan bagi umat Islam dalam mengenal ke-tauhid-an, khususnya tingkat permulaan (dasar). Karena itu, isi dari kitab ini sangat perlu dan penting untuk diketahui setiap umat Islam. Terlebih bagi mereka yang baru pertama mengenal Islam. ’Aqidah Al-Awwam ini ditulis dalam bentuk syair (nazham). Didalamnya terdapat sekitar 57 bait syair yang berisi pengetahuan yang harus diketahui setiap pribadi muslim.

Nazham ’Aqidah Al-Awwam ini berisi tentang sifat-sifat wajib dan mustahil bagi Allah, sifat wajib dan mustahil bagi Rasul, nama-nama Nabi dan Rasul, nama-nama Malaikat dan tugas-tugasnya. Selain itu, didalamnya juga dibahas tentang pentingnya mengenal nama-nama keluarga dan keturunan Nabi Muhammad SAW dan perjalanan hidup beliau dalam membawa ajaran Islam. Di sebagian masyarakat, materi dari nazam 'Aqidah Al-Awwam ini dikenal dengan sebutan sifat 20.

Begitu pentingnya kitab ini, Syekh Nawawi Al-Syafi’i, kemudian memberikan syarah (keterangan dan penjelasan) tentang ’Aqidah Al-Awwam ini dalam kitabnya Nur Al-Zholam (penerang atau cahaya dalam kegelapan), mengenai kandungan dari nazham tersebut. Syarah Nur al-Zholam ini ditulis Syekh Nawawi sekitar tahun 1277 H.

Nazham dari ’Aqidah al-Awwam ini dimulai dari kalimat : Abda’u bismi Allah wa Al-Rahman wa bi al-Rahimi da’im al-Ihsani (saya memulai dengan nama Allah yang Pengasih dan yang senantiasa memberikan kasih sayang tanpa pernah putus asa). Kemudian diakhiri dengan kalimat wa Shuhuf al-Khalil wa al-Kalimi fi ha Kalam al-Hakam al-Alimi (Dan shuhuf/nabi Khalil (Ibrahim) dan Al-Kalim (Musa)).

Kitab ini terdiri dari beberapa bab (pasal). Bab pertama membahas tentang Sifat-sifat yang wajib dimiliki Allah, sifat jaiz (boleh) dan mustahil bagi Allah. Jumlahnya ada 41 sifat yang terdiri atas 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil dan satu sifat jaiz bagi Allah.

Karena itu, menurut pengarang kitab ini, wajib hukumnya bagi orang mukallaf (orang yang terbebani hukum syariat) untuk mengetahui sifat-sifat Allah tersebut. Ke-20 sifat wajib bagi Allah adalah : wujud (ada; (QS Thaha:14, Al- Rum:8, Al-Hadid:3), qodim (terdahulu), baqa' (kekal; QS Ar Rohman: 26–27 dan Al-Qashas : 4), Mukhalafatuhu li al-Hawaditsi (berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya; (QS As Syuro;11, Al-Ikhlas:4), Qiyamuhu bi Nafsihi (berdiri sendiri; QS Thoha:111, Al-Faathir:15 dan Al-Ankabut:6), Wahdaniyah (Maha Esa; QS Al-Ikhlash:1-4, Az Zumar:4), Qudrah (Maha Berkuasa; QS An-Nur:45, Al-Faathir:44), Iradah (Maha Berkehendak; QS An-Nahl;40, Al-Qashash:68), 'Ilmu (Maha Mengetahui; QS.Ali Imran:26, Asy-Syuura:94–50, Al-Mujadalah:7), Hayyu (Maha Hidup; QS Al-Furqon:58, Al-Mu'min:65, Thaha:111), Sama' (Maha Mendengar; (QS.Al-Mujadalah:1, Thaha:43-46)), Bashar (Maha Melihat; (QS Al-Mujadalah:1, Thaha : 43-46), Kalam (Maha Berbicara; QS. An Nisa:164, Al-A’raaf:143). Kemudian Qodirun (Berkuasa), Muridun (Berkendak), 'Aliman (Mengetahui, Berilmu), Hayyan (Hidup), Sami'an (Mendengar), Bashiran (Melihat), Mutakalliman (Berbicara).

Ke-20 sifat tersebut terbagi lagi menjadi 4 bagian, yaitu Nafsiyah (jiwa, sifat wujud), salbiyah (meniadakan: Qidam, Baqa’, Mukholafatuhu Lilhawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniyah), Ma'any (karena sifat ini menetapkan pada Allah makna Wujudnya yang menetap pada Zat-nya yang sesuai dengan kesempurnaannya. Sifat Ma’ani ini ada tujuh yaitu sifat berkuasa, berkehendak, berilmu, hidup, mendengar, melihat dan berbicara. Sedangkan yang terakhir adalah sifat Ma'nawiyah, yang bernisbat pada sifat ma’ani yang merupakan cabang dari sifat ma’nawiyah. Disebut ma’nawiyah karena sifat itu menetap pada sifat ma’ani, yaitu bahwa Allah Maha berkuasa, berkehendak, berilmu, hidup, mendengar, melihat, dan berbicara.

Sementara itu, lawan dari sifat wajib adalah mustahil. Ke-20 sifat mustahil bagi Allah itu adalah 'Adam (tidak ada); Hudust (baru); Fana (rusak); Mumatsilah lilhawaditsi (sama dengan makhluknya); A'damu Qiyamuhu binafsihi (tidak berdiri sendiri); Ta'dud (berbilang); A'juzn (dlaif; lemah); Karahah (terpaksa); Jahlun (bodoh); Mautun (mati); Shomamun (tuli); 'Umyun (buta); Bukmun (bisu); Kaunuhu A'jizan (Dzat yang lemah); Kaunuhu Kaarihan (Dzat yang terpaksa); Kaunuhu Jaahilan (Dzat yang bodoh); Kaunuhu Mayyitan (Dzat yang mati); Kaunuhu Ashomma (Dzat yang tuli); Kaunuhu A'maa (Dzat yang buta); Kaunuhu Abkamu (Dzat yang bisu).

Sedangkan sifat Jaiz (boleh) bagi Allah Ta’ala adalah sesuatu yang akan diciptakan tergantung pada Allah, apakah akan diciptakan atau tidak. Pengarang Nadhom (Al-Marzuky) berkata : Dengan karunia dan keadilanNya, Allah memiliki sifat boleh (wenang) yaitu boleh mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya. Keterangan ini berdasarkan firman Allah: “Dan Tuhanmu menetapkan apa yang Dia kehendakidan memilihnya, tidak ada pilihan bagi mereka” (QS Al-Qashash:68 dan Al-Baqarah:284).

Pasal kedua kitab ini membahas tentang sifat-sifat yang dimiliki oleh Nabi dan Rasul serta jumlah Nabi dan Rasul. Adapun sifat itu adalah sifat wajib, mustahil dan boleh (jaiz). Sifat wajib itu adalah Fathonah (cerdas) lawannya adalah baladah (bodoh), Siddiq (jujur) lawannya Kidzib (bohong), Tabligh (menyampaikan risalah atau wahyu) lawannya adalah Kitman (menyembunyikan atau menyimpan) dan Amanah (dapat dipercaya) lawannya Khianat (tidak dapat dipercaya).

Dan sifat Jaiz pada haknya para Nabi dan Rasul adalah adanya sifat-sifat (yang bisa terjadi) pada manusia yanag tidak menyebabkan terjadinya pengurangan pada martabat (kedudukan) mereka (Nabi dan Rasul) yang tinggi.

Dari keterangan ini, maka lengkaplah aqidah yang perlu diketahui setiap orang Islam tentang sifat-sifat Allah dan Rasul-rasulnya yang berjumlah 50 sifat, yaitu sifat Wajib bagi Allah (20), mutahil (20), Wajib bagi Rasul (4), sifat mustahil bagik rasul (4) dan sifat Jaiz bagi Allah dan Rasul (masing-masing 1 sifat).


Nabi dan Rasul

Sementara itu, mengenai jumlah Nabi dan Rasul, Alquran tidak pernah menyebutkannya. Hanya saja, yang wajib diketahui berjumlah 25 orang. Mereka adalah Nabi Adam, Idris, Nuh, Hud, Sholeh, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishaq, Ya'qub, Yusuf, Ayyub, Syuaib, Harun, Musa, Ilyasa', Dzulkifli, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa dan Toha (Muhammad SAW). Para nabi dan rasul ini didalam Alquran disebutkan sebanyak 18 Rasul dalam surah Al-An'am, dan tujuh Rasul lainnya pada berbagai ayat pada surah-surah lainnya.

Para ulama berselisih pendapat mengenai jumlah Nabi dan Rasul. Ada yang menyebutkan jumlah Nabi mencapai 124 ribu orang sedangkan jumlah Rasul sebanyak 313 orang, sebagaiman yang di riwayatkan oleh Ibnu Mardawiyah dari Abu Dzar ra. Lihat Ibnu Katsir i/585 ).

Sementara itu, Syaikh Al-Bajuri berpendapat jumlah Nabi dan rasul itu tidak terbatas. ''Pendapat yang shahih (benar) mengenai para Nabi dan Rasul adalah tidak membatasi jumlah dengan hitungan tertentu. Karena hal itu bisa menetapkan kenabian pada seorang yang realitasnya bukan Nabi atau sebaliknya menabikan kenabian pada seorang padahal realitasnya dia benar-benar Nabi.''

Keterangan Bajuri ini, kata pengarang Kitab ini bersumber pada Al-Quran surah An-Nisa ayat 164. ''Dan (Kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu dan para Rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu.''

Sementara itu, mengenai Malaikat Allah jumlahnya sangat banyak. Hanya saja, menurut Al-Marzuqy, mereka yang wajib diketahui berjumlah 10 orang, yakni Jibril (menyampaikan wahyu), Mikail (menurunkan hujan), Isrofil (meniup terompet), Izrail (pencabut nyawa), Munkar dan Nakir (bertanya kepada manusia yang telah meninggal di alam kubur), Rakib dan Atid (pencatat amal baik dan buruk manusia), Ridwan (penjaga Surga) dan Malik (penjaga neraka).

"Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."(QS. At Tahrim : 6). Dan diantara mereka terdapat malaikat yang bertugas sebagai juru tulis (Al-Katabah), penjaga (Al-Hafadlotu), penjaga Arsy, pembaca tasbih (AI-Musabbihun), memintakan ampunan orang-orang mukmin (Al-Mustaghfirur li Al-Mu'minin), senantiasa sujud (As-saajidun), mengatur barisan (Ash-shoofun), yang mengatur peredaran siang dan malam hari, pemberi rahmat, malaikat yang berjalan mencari majelis dzikir dan lain sebagainya.

Dalam syarah Nur Al-Zholam disebutkan, kitab 'Aqidah Al-Awwam sangat penting untuk dipelajari dan diketahui oleh setiap orang mukallaf. Dengan mengenal sifat-sifat Allah, dia akan mengenal dirinya sendiri, begitu juga sebaliknya. ''Man 'Arafa nafsah, faqad 'arafa Rabbah,'' (Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhan-Nya). Dengan mengenal Tuhan-Nya, maka dia akan senantiasa untuk taat dalam menjalankan perintah Allah, dan menjauhi segala larangan-Nya. Wa Allahu A'lamu.

n sya

------------000------


PUJANGGA MESIR YANG JADI MUFTI DI MAKKAH


Al-Marzuqy atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Al-Fauzy adalah seorang pujangga yang hidup di tahun 1281 H/1864 M. sehari-harinya, Al-Marzuqy adalah seorang tenaga pengajar (al-Mudarris) dan juga Mufti di Makkah.

Nama lengkap adalah Syekh Ahmad bin Muhammad bin Sayid Ramadhan Mansyur bin Sayid Muhammad al-Marzuqi Al-Hasani. Lahir di Mesir pada tahun 1205 H. Karena kecerdasan dan penguasaannya di bidang keilmuan, Marzuqy diangkat sebagai Mufti madzhab Maliki di Makkah menggantikan saudaranya ketika saudaranya Sayid Muhammad wafat (1261 H). Di masjid Makkah al-Mukaramah, Marzuqi mengajar Al-Qur’an, Tafsir dan ilmu-ilmu Syariah. Diantara guru-gurunya adalah Syekh al-Kabir Sayid Ibrahim al-‘Ubaidi yang pada masanya adalah sosok yang konsentrasi di bidang Qiraaah al-Asyrah (Qiraah 10). Dan diantara murid-muridnya adalah Syekh Ahmad Dahman (1260-1345 H), Sayid Ahmad Zaini Dahlan (1232-1304 H), Syekh Thahir al-Takruni, dan lainnya.

Al-Marzuqy dikenal sebagai penulis kitab ‘Aqidah Al-Awwam’ yang berisi sebanyak 57 bait syair. Ia begitu lincah dalam menuliskan qolam-nya (pena), terutama menyangkut puji-pujian kepada Allah dan Rasulullah SAW. Dan salah satu karyanya yang terkenal adalah ‘Aqidah Al-Awwam, yaitu Aqidah untuk orang-orang awam. Begitu pentingnya pelajaran yang bisa diambil dari 'Aqidah Al-Awwam ini, Syekh Nawawi Al-Syafi’i juga turut memberikan syarah ‘Aqidah Al-Awwam’ ini dengan nama Nur Al-Dholam (Cahaya dalam Kegelapan).


Sebuah Syair dari Rasulullah

Ada kisah menarik dibalik penulisan nazam ‘Aqidah Al-Awwam ini. Dalam syarah Nur Dholam disebutkan, pada suatu malam yang sudah larut, tepatnya pada tanggal 6 Rajab 1258 H, Marzuqy bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW yang disampingnya berjejer para sahabat-sahabat Nabi SAW. Marzuqy menceritakan, dalam mimpi itu, Rasulullah SAW menyuruhnya untuk membacakan Manzhumah at-Tawhid (yaitu syair Aqidah al-Awwam).

‘’Bacalah, Manzhumah At-Tawhid yang akan menjamin surga dan tercapai maksud baiknya bagi yang menghafalnya.’’

Marzuqy pun bertanya : Nazam apa gerangan Ya Rasulullah?’’ Nabi kemudian membacakan nazam tersebut. ‘’Abda’u Bismillahi warrahmani hingga kalimat wa Shuhuf al-Khalil wa al-Kalimi fiha Kalam al-Hakam al-Alimi. Marzuqy pun lantas menirukannya.

Dan ketika terbangun dari tidurnya, Marzuqy mencoba Mengingat dan membaca nazam tersebut. Dan atas kehendak Allah, nazam itu mampu dihafal Marzuqy dengan baik. Ia pun kemudian mencatat nazam tersebut hingga bisa dinikmati oleh umat Islam di seluruh dunia hingga kini.

Karya Marzuqy ini, menjadi catatan penting dalam hidupnya. Sebab, beberapa bulan setalah peristiwa itu, Ia kemudian bermimpi berjumpa kembali dengan Rasulullah SAW. Tepatnya malam Jumat menjelang subuh, tanggal 28 Dzulqa’dah. Pada pertemuannya kali ini, Rasulullah SAW memintanya kembali untuk membacakan nazam Aqidah Al-Awwam tersebut. ‘’Bacalah apa yang telah kau hafal,’’ kata Rasul.

Marzuqy kemudian membacakannya dari awal hingga akhir. Dan setiap kali Marzuqy selesai membaca satu bait nazam tersebut, para sahabat Nabi selalu mengitari (berputar mengelilingi) Marzuqy dan meng-amini-nya. Setelah selesai, Rasulullah SAW pun berdoa untuknya.

Semula, nazam Aqidah Al-Awwam ini berjumlah 26 bait, sebagaimana yang didapatkannya dalam mimpi. Kemudian, ia menambahkannya lagi sebanyak 31 bait, sehingga menjadi 57 bait. Nazam tambahan tersebut dimulai dari Wa Kullu ma Ata bihi Al-Rasul. Menurut beberapa riwayat, penambahan yang dilakukan Marzuqy dalam nazam Manzhumah At-Tawhid tersebut dikarenakan rasa cinta dan rindunya kepada Rasulullah SAW.

Beberapa karya Marzuqy antara lain 'Aqidah al-Awwam, Tahsil nail al-maram li Bayan Manzumah Aqidatul Awam (1326 H), Bulugh al-Maram li Bayan Alfadz Maulid Sayid al-Anam Fi Syarh Maulid Ahmad Al-Bukhari (1282 H), Bayan Al-Ashli fi Lafdz bi Afdzal, Tashil al-Adhan Ala Matan Taqwim al-Lisan fi Al-Nahwi li al-Khawarizmi al-Baqali, Al-Fawaid al-Marzuqiyah al-Zurmiyah, Mandzumah fi Qawaid al-Sharfi wa al-Nahwi dan Matan Nazam fi Ilm al-Falak. Wa Allahu A’lam.

n sya

YUSUF AL-QARDHAWI : ULAMA PROGRESIF YANG KONTROVERSIAL

YUSUF AL-QARDHAWI : ULAMA PROGRESIF YANG KONTROVERSIAL




Qardhawi seringkali mengkritik kebijakan pemerintah setempat dan para ulama lainnya yang dianggap membuat dikotomi ajaran Islam.



Di berbagai negara di dunia, nama Dr Yusuf Qardhawi (ada yang menulisnya dengan Yusuf Qaradhawi), sangat populer. Qardhawi dikenal sebagai ulama yang berani dan kritis. Pandangannya sangat luas dan tajam. Karena itu, banyak pihak yang merasa 'gerah' dengan berbagai pemikirannya yang seringkali dianggap menyudutkan pihak tertentu, termasuk pemerintah Mesir. Akibat pandangan-pandangannya itu pula, tak jarang pria kelahiran Shafth Turaab, Mesir pada 9 September 1926 ini harus mendekam dibalik jeruji besi. Namun demikian, ia tak pernah berhenti menyuarakan dan menyampaikan pandangannya, dalam membuka cakrawala umat.

Hingga saat ini, ratusan buku telah ia tulis dan sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa di dunia. Buku-buku Qardhawi, membahas berbagai hal terkait kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mulai dari urusan rumah tangga hingga negara dan demokrasi.

Sejak kecil, Qardhawi sudah dikenal sebagai anak yang pandai dan kritis. Pada usia 10 tahun, ia sudah hafal Alquran. Ia menyelesaikan pendidikannya di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi. Setelah itu, Qardhawi terus melanjutkan ke Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, dan lulus tahun 1952. namun, gelar doktoralnya baru diperoleh pada tahun 1972 dengan disertasi berjudul "Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan." Disertasinya telah disempurnakan dan dibukukan dengan judul Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat konprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.

Keterlambatannya meraih gelar doktoral itu bukannya tanpa alasan. Sikap kritislah yang membuatnya baru bisa meraih gelar doktor pada tahun 1972. Untuk menghindari kekejaman rezim yang berkuasa di Mesir, Qardhawi harus meninggalkan tanah kelahirannya menuju Qatar pada tahun 1961. Disana, ia sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.

Namun, sebelum itu, ia sudah merasakan kerasnya kehidupan penjara. Saat berusia 23 tahun, Qardhawi muda harus mendekam dipenjara akibat keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimn saat Mesir masih dijabat Raja Faruk tahun 1949. Setelah bebas dari penjara, ia lagi-lagi menyuarakan kebebasan. Karena khutbah-khutbahnya yang keras, dan mengecam keridakadilan yang dilakukan rezim berkuasa, Ia harus berurusan dengan pihak berwajib. Bahkan, ia sempat dilarang untuk memberikan khutbah di sebuah Masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidakadilan rezim saat itu.

Akibatnya, tahun 1956 (April) ia kembali ditangkap saat terjadi Revolusi di Mesir. Setelah beberapa bulan, pada Oktober 1956, Qardhawi kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun. Setelah berkali-kali mendekam dibalik jeruji besi, Qardhawi akhirnya meninggalkan Mesir tahun 1961 menuju Qatar. Di Qatar ini, Qardhawi lebih leluasa mengungkapkan pemikiran-pemikirannya.

Sikap moderat Qardhawi terlihat dalam mendidik putra-putrinya. Dari tujuh orang anaknya (empat putri dan tiga putra), hanya satu orang yang mengambil pendidikan agama. Selebihnya ada yang mengambil fisika, kimia, elektro dan lainnya. Ia membebaskan anak-anaknya menuntut ilmu apa saja yang sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderunga masing-masing. Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Texas Amerika.

Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.

Dilihat dari beragam pendidikan anak-anaknya, masyarakat bisa membaca sikap dan pandangan Qardhawi terhadap pendidikan modern. Menurut Qardhawi, semua ilmu (bisa islami dan tidak islami), tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya. Dan ia menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu, menurut Qardhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.

Karena sikapnya ini pula, banyak pihak yang mengecam Qardhawi bahkan dianggap menyimpang. Bahkan, sebagian diantara para pemikir mencap dirinya sebagai orang yang mendukung pendidikan barat yang bisa merusak akhlak generasi muda. Namun demikian, ia menanggapi semua tuduhan yang ditujukan kepada dirinya dengan sikap lapang dada.

Salah seorang yang menuduhnya menyimpang adalah Abu Afifah. Dalam sebuah artikelnya; ''Siapakah Yusuf Al-Qardhawi, Abu Afifah menyebutkan Qardhawi sebagai seorang ahlul bid'ah. ''Sesungguhnya bencana yang tengah menimpa umat dewasa ini adalah menjamurnya kelompok-kelompok orang yang berani memanipulasi (memalsukan) “selendang ilmu” dengan mengubah bentuk syari’at Islam dengan istilah “tajdidi” (pembaharuan), mempermudah sarana-sarana kerusakan dengan istilah “fiqih taysiir” (fiqih penyederahanaan masalah), membuka pintu-pintu kehinaan dengan kedok “ijtihad” (upaya keras untuk mengambil konklusi hukum Islam), melecehkan sederet sunnah-sunnah Nabi dengan kedok “fiqih awlawiyyat” (fiqih prioritas), dan berloyalitas (menjalin hubungan setia) dengan orang-orang kafir dengan alasan “memperindah corak (penampilan) Islam”.

Selain Abu Afifah, masih banyak tokoh lain yang meminta agar umat Islam berhati-hati terhadap setiap gagasan Qardhawi. Diantaranya Syeikh Shalih Alu Fauzan, yang mengkritik kitab yang ditulis Qardhawi (Al-I’laam binaqdi Al-Kitab Al-Halal wa Al-Haram (Kritik terhadap kitab Halal dan Haram karya Yusuf Qardhawi) dan Syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy pengarang kitab Ar-Raddu ‘Ala Al-Qardhawi, serta Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi. Wa Allahu A'lamu.

n sya/berbagai sumber

-----00000------


Beberapa Sikap Kontroversi Qardhawi

1. Mendukung masuknya Partai Kupu-Kupu Italia ke dalam parlemen yaitu sebuah partai politk para pelacur. Menurut Qardhawi, Partai Kupu-Kupu ini mengaspirasikan hak demokrasinya. Jika anda menolak keberadaannya atau menolak masuknya ke parlemen atau menolak keikutsertaannya dalam penghitungan dengan suara anggotanya, maka anda tidak demokratis, dan tindakan ini melawan demokrasi.

2. Sikap Qardhawi terhadap orang Kafir. Qardhawi berkata : “Sesungguhnya rasa cinta (persahabatan) seorang muslim dengan non-muslim bukan merupakan dosa.” “Semua urusan yang berlaku di antara kita (maksudnya : kaum muslimin dan orang-orang Nashrani) menjadi tanggungjawab kita bersama, karena kita semua adalah warga dari tanah air yang satu, tempat kembali kita satu, dan umat kita adalah umat yang satu. Aku mengatakan sesuatu tentang mereka, yakni saudara-saudara kita yang menganut agama Masehi (Kristen) – meskipun sementara orang mengingkari perkataanku ini – “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”. Ya, kita (kaum muslimin) adalah orang-orang beriman, dan mereka (para penganut agama Kristen) juga orang-orang beriman dilihat dari sisi lain.

3. Sikapnya terhadap Ahli Bid'ah. Qardhawi membela golongan Rafidhah, yaitu pewaris golongan Mu'tazilah. Kelompok Rafidhah ini diketahui memasukkan sekitar 10 persen paham Mu'tazilah yang dianggap sesat dan menyamakan dirinya dengan Abu Jahal. Qardhawi menilai, upaya membangkitkan perselisihan dengan mereka sebagai pengkhianatan terhadap umat Islam. Qardhawi menilai kutukan yang dilontarkan kaum Rafidhah terhadap para sahabat Nabi, tahrif (mengubah lafazh dan makna) Al Qur’an yang mereka lakukan, pendapat mereka bahwa imam-imam mereka terpelihara dari kesalahan (ma’shum), dan pelaksanaan ibadah haji mereka di depan monumen-monumen kesyirikan, dan kesesatan-kesesatan mereka yang lainnya, semua itu hanya merupakan perbedaan pendapat yang ringan dalam masalah aqidah.

4. Sikapnya terhadap Sunnah (Hadits). Qardhawi menyatakan, seorang wanita diperbolehkan menjadi pemimpin. Ia menyangkal hadits yang diriwayatkan Bukhari, yaitu : “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) yang menguasakan urusan (pemerintah) mereka kepada wanita”. (HR Bukhari). Menurutnya, ketentuan (hadits) ini hanya berlaku di zaman Rasulullah, di mana hak untuk menjalankan pemerintahkan ketika itu hanya diberikan kepada kaum laki-laki. Adapun di zaman sekarang ini ketentuan ini tidak berlaku”.

Selain masalah diatas, masih banyak sikap Qardhawi yang dianggap menyimpang oleh sebagian yang lain dan menempatkannya sebagai ahlul bid'ah, namun sebagian lagi menganggap sikap Qardhawi itu sebagai sikap yang berani dalam membahas sebuah persoalan secara lebih jelas. Karena itu, di Mesir terhadap sekelompok orang yang menamakan dirinya Qaradhawiyan (penggikut Qardhawi). Wa Allahu A'lamu.

n sya/berbagai sumber

---------000000------

Buku-buku karya Qardhawi



Yusuf Qardhawi telah menulis berbagai buku dalam perlbaga bidang kelimuan Islam, seperti bidang sosial, dakwah, fiqh, demokrasi dan lain sebagainya. Buku karya Qardhawi sangat diminati uamt Islam di berbagai penjuru dunia. Bahkan, banyak buku-buku atau kitabnya yang telah dicetak ulang hingga puluhan kali dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Berikut sejumlah buku karya Qardhawi.

A. Dalam bidang Fiqh dan Usul Fiqh. Sebagai seorang ahli fiqh, Qardhawi telah menulis sedikitnya 14 buah buku, baik Fiqh maupun Ushul Fiqh. Antara lain, Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam (Halal dan Haram dalam Islam), Al-Ijtihad fi al-Shari’at al-Islamiah (Ijtihad dalam syariat Islam), Fiqh al-Siyam ( Hukum Tentang Puasa), Fiqh al-Taharah (Hukum tentang Bersuci), Fiqh al-Ghina’ wa al-Musiqa (Hukum Tentang Nyayian dan Musik).

B. Ekonomi Islam. Dalam bidang ekonomi Islam, buku karya Qardhawi antara lain, Fiqh Zakat, Bay’u al-Murabahah li al-Amri bi al-Shira; ( Sistem jual beli al-Murabah), Fawa’id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram, (Manfaat Diharamkannya Bunga Bank), Dawr al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtisad al-Islami (Peranan nilai dan akhlak dalam ekonomi Islam), serta Dur al-Zakat fi alaj al-Musykilat al-Iqtisadiyyah (Peranan zakat dalam Mengatasi Masalah ekonomi).

C. Pengetahuan tentang al-Quran dan al-Sunnah.

Qardhawi menulis sejumlah buku dan kajian mendalam terhadap metodologi mempelajari Alquran, cara berinterakhsi dan pemahaman terhadap Alquran maupun Sunnah. Buku-bukunya antara lain Al-Aql wa al-Ilm fi al-Quran (Akal dan Ilmu dalam al-Quran), Al-Sabru fi al-Quran (Sabar dalam al-Quran), Tafsir Surah al-Ra’d dan Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Bagaimana berinteraksi dengan sunnah).

D. Akidah Islam. Dalam bidang ini Qardhawi menulis sekitar emnpat buku, antara lain Wujud Allah (Adanya Allah), Haqiqat al-Tawhid (Hakikat Tauhid),Iman bi Qadr (Keimanan kepada Qadar),

E. Dakwah dan Pendidikan. Karyanya antara lain, Thaqafat al-Da’iyyah (Wawasan Seorang Juru Dakwah), Al-Rasul wa al-Ilmi (Rasul dan Ilmu), Al-Ikhwan al-Muslimun sab’in Amman fi al-Da’wah wa al-Tarbiyyah (Ikhwan al-Muslimun selama 70 tahun dalam dakwah dan Pendidikan).

Selain karya diatas, Qardhawi juga banyak menulis buku tentang Tokoh-tokoh Islam seperti Al-Ghazali, Para Wanita Beriman dan Abu Hasan Al-Nadwi. Qardhawi juga menulis buku Akhlak berdasarkan Alquran dan al-Sunnah, Kebangkitan Islam, Sastra dan Syair serta banyak lagi yang lainnya.

n sya/eramuslim.com

IBNU TAIMIYAH : Tokoh Pembaru Islam

IBNU TAIMIYAH
Tokoh Pembaru Islam

Banyak ulama dan penguasa yang tidak suka dengan pemikirannya.


Nama besar Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah, sudah tak asing lagi di telinga umat Islam. Ketokohan dan keilmuannya sangat disegani. Hal ini dikarenakan luasnya ilmu yang dimiliki serta ribuan buku yang menjadi karyanya. Sejumlah julukan diberikan Ibnu Taimiyah, antara lain Syaikhul Islam, Imam, Qudwah, 'Alim, Zahid, Da'i, dan lain sebagainya.

Ulama ini bernama lengkap Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidir bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy al-Harrany al-Dimasyqy. Ia dilahirkan di Harran, sebuah kota induk di Jazirah Arabia yang terletak di antara sungai Dajalah (Tigris) dan Efrat, pada Senin, 12 Rabi'ul Awal 661 H (1263 M).

Dikabarkan, Ibnu Taimiyah sebelumnya tinggal di kampung halamannya di Harran. Namun, ketika ada serangan dari tentara Tartar, bersama orang tua dan keluarganya, mereka hijrah ke Damsyik. Mereka berhijrah pada malam hari untuk menghindari serangan tentara Tartar tersebut. Mereka membawa sebuah gerobak besar yang berisi kitab-kitab besar karya para ulama. Disebutkan, orang tua Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama juga yang senantiasa gemar belajar dan menuntut ilmu. Ia berharap, kitab-kitab yang dimilikinya bisa diwariskan kepada Ibnu Taimiyah.

Konon, sejak kecil Ibnu Taimiyah sudah menunjukkan kecerdasannya. Ketika masih berusia belasan tahun, Ibnu Taimiyah sudah hafal Alquran dan mempelajari sejumlah bidang ilmu pengetahuan di Kota Damsyik kepada para ulama-ulama terkenal di zamannya.

Disebutkan dalam kitab al-Uqud al-Daruriyah, suatu hari ada seorang ulama dari Halab (sebuah kota di Syria), sengaja datang ke Damsyik untuk melihat kemampuan si bocah yang bernama Ibnu Taimiyah, yang telah menjadi buah bibir masyarakat. Ketika bertemu, ulama ini menguji kemampuan Ibnu Taimiyah dengan menyampaikan puluhan matan hadis sekaligus. Di luar dugaan, Ibnu Taimiyah dengan mudah menghapal hadis tersebut lengkap matan dan sanadnya. Hingga ulama tersebut berkata, ''Jika anak ini hidup, niscaya Ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah yang memiiki kemampuan seperti dia.''

Berkat kecerdasannya, ia dengan mudah menyerap setiap pelajaran yang diberikan. Bahkan, ketika usianya belum menginjak remaja, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin (teologi) dan memahami berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, hadis, dan bahasa Arab. Sehingga, banyak ulama yang kagum akan kecerdasannya. Dan ketika dewasa, kemampuan Ibnu Taimiyah pun semakin matang.

Pada umurnya yang ke-17, Ibnu Taimiyah sudah siap mengajar dan berfatwa, terutama dalam bidang ilmu tafsir, ilmu ushul, dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya. ''Ibnu Taimiyah mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijalul hadis (mata rantai sanad, periwayat), ilmu al-Jahru wa al-Ta'dil, thabaqat sanad, pengetahuan tentang hadis sahih dan dlaif, dan lainnya,'' ujar Adz-Dzahabi.

Sejak kecil, Ibnu Taimiyah hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama besar. Karena itu, ia mempergunakan kesempatan itu untuk menuntut ilmu sepuas-puasnya dan menjadikan mereka sebagai 'ilmu berjalan.'

Karena penguasaan ilmunya yang sangat luas itu, ia pun banyak mendapat pujian dari sejumlah ulama terkemuka. Antara lain, Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam kitabnya Al-Kawakib Al-Darary, Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi, dan ulama lainnya.

''Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah, dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap Kitabullah dan Sunah Rasulullah SAW selain dirinya,'' ungkap Al-Mizzy. ''Kalau Ibnu Taimiyah bukan Syaikhul Islam, lalu siapa dia ini?'' kata Al-Qadli Ibnu Al-Hariry.


Teguh pendirian

Disamping dikenal sebagai Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah juga dikenal sebagai sosok ulama yang keras dan teguh dalam pendirian, sesuai dengan yang disyariatkan dalam Islam. Dia dikenal pula sebagai seorang mujaddid (pembaru) dalam pemikiran Islam.

Ia pernah berkata, ''Jika dibenakku ada suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang musykil (ragu) bagiku, aku akan beristigfar 1000 kali, atau lebih atau kurang, hingga dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, masjid, atau madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berzikir dan beristigfar hingga terpenuhi cita-citaku.''

Tak jarang, pendapatnya itu menimbulkan polemik di kalangan ulama, termasuk mereka yang tidak suka dengan Ibnu Taimiyah. Karena ketegasan sikapnya dan kuatnya dalil-dalil naqli dan aqli yang dijadikannya sebagai hujjah (argumentasi), ia tak segan-segan melawan arus. Ulama yang tidak suka dengannya kemudian menyebutnya sebagai ahlul bid'ah dan pembuat kerusakan dalam syariat.

Ibnu Taimiyah juga banyak dikecam oleh ulama Syiah dan menyebutnya sebagai orang yang tidak suka terhadap ahlul bayt (keturunan Rasul dari Fatimah RA dan Ali bin Abi Thalib RA). Ia juga banyak dikecam oleh para ulama wahabi dengan menganggapnya sebagai seorang ulama yang merusak akidah Islam.

Karena dianggap berbahaya, termasuk oleh penguasa setempat, ia kemudian dizalimi dan dimasukkan ke dalam penjara. Di penjara, ia justru merasakan kedamaian, sebab bisa lebih leluasa mengungkapkan pikirannya dan menuangkannya dalam tulisan-tulisan. Beberapa karyanya berasal dari ide-idenya selama di penjara.

Di penjara, ia juga banyak menyampaikan persoalan-persoalan keagamaan. Hingga akhirnya, banyak narapidana yang belajar kepadanya. Beberapa di antaranya, yang diputuskan bebas dan berhak keluar dari penjara, malah menetap dan berguru kepadanya.

Ia wafat di dalam penjara Qal'ah Dimasyqy pada 20 Dzulhijah 728 H (1328 M), dan disaksikan salah seorang muridnya, Ibnu al-Qayyim. Bersama Najamuddin At-Tufi, mereka dijuluki sebagai trio pemikir bebas. Ibnu Taimiyah berada di dalam penjara selama 27 bulan (dua tahun tiga bulan) lebih beberapa hari.

Selama di penjara, Ia tidak pernah mau menerima pemberian apa pun dari penguasa. Jenazahnya dishalatkan di Masjid Jami' Bani Umayah sesudah shalat Dzhuhur dan dimakamkan sesudah Ashar. Ibnu Taimiyah dimakamkan di samping kuburan saudaranya, Syaikh Jamal Al-Islam Syarifuddin. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para umara, ulama, tentara, dan lainnya, hingga Kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan, semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergiannya.

n sya/berbagai sumber

---000----

Suka Belajar daripada Bermain


Ibnu Taimiyah dikenal sebagai seorang Syaikhul Islam yang cerdas dan memiliki ilmu yang sangat luas. Kepandaian dan kercerdasannya diperolehnya dengan ketekunan dan kerajinannya dalam menuntut ilmu sejak kecil. Hampir tak ada waktu senggang tanpa ia habiskan dengan menuntut ilmu. Dan setelah dewasa, ia pun masih suka belajar dan berbagi pengetahuan dengan murid-murid dan ulama lainnya.

Para ahli sejarah mencatat, meskipun dalam usia kanak-kanak, ia tidak tertarik pada segala permainan dan senda gurau sebagaimana yang diperbuat anak-anak pada umumnya. Dia tidak pernah menyia-nyiakan waktu untuk itu. Dia pergunakan setiap kesempatan untuk menelaah soal-soal kehidupan dan sosial kemasyarakatan, di samping terus mengamati setiap gejala yang terjadi tentang tradisi maupun perangai manusia.

Ibnu Taimiyah mempelajari berbagai disiplin ilmu yang dikenal pada masa itu. Kemampuannya berbahasa Arab sangat menonjol. Dia menguasai ilmu nahwu (tata bahasa Arab) dari ahli nahwu, Imam Sibawaihi. Ibnu Taimiyah juga suka belajar ilmu hisab (matematika), kaligrafi, tafsir, fikih, hadis, dan lainnya.

Ibnu Abdul Hadi berkata, "Guru-guru di mana Ibnu Taimiyah belajar dari mereka lebih dari dua ratus orang. Di antaranya yang teristimewa adalah Ibnu Abdid Daim Al-Muqaddasi dan para tokoh yang setingkat dengannya. Dia belajar Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Shahih Enam secara berulang-ulang.

Karena penguasaan ilmunya yang luas itu, banyak murid-muridnya yang sukses menjadi ulama. Di antaranya Al-Hafizh Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Abdul Hadi, Al-Hafizh Ibnu Katsir, dan Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali.

Ibnu Taimiyah juga telah melahirkan banyak karya fenomenal yang menjadi pegangan dan rujukan ulama-ulama sesudahnya. Di antaranya, Minhajus Sunnah, Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Dina Al-Masih, An Nubuwah, Ar-Raddu 'Ala Al-Manthiqiyyin, Iqtidha'u Ash-Shirathi Al-Mustaqim, Majmu' Fatawa, Risalatul Qiyas, Minhajul Wushul Ila 'Ilmil Ushul, Syarhu Al-Ashbahani war Risalah Al-Humuwiyyah, At-Tamiriyyah, Al-Wasithiyyah, Al-Kailaniyyah, Al-Baghdadiyyah, Al-Azhariyyah, dan masih banyak lagi.

n sya/berbagai sumber

NAJAMUDDIN AT-TUFI : Pencetus Dalil-dalil Umum

NAJAMUDDIN AT-TUFI :
Pencetus Dalil-dalil Umum

Bersama Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al-Qayyim, Ia dikenal sebagai Trio Pemikir Bebas.


Bagi sebagian besar umat Islam, nama Najamuddin At-Tufi, mungkin masih terasa asing di telinga. Namanya memang tidak setenar Yusuf Al-Qaradhawi, Ibnu Taimiyah, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal, atau Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lainnya.

Namun demikian, di kalangan tokoh muslim dan peminat ilmu hukum Islam, ketokohan ulama asal Bagdhad, Irak, ini banyak diperhitungkan. Namanya disejajarkan dengan nama besar nama Ibnu Taimiyah, sang guru At-Tufi.

At-Tufi dikenal sebagai salah seorang ulama madzhab Hambali, yang kritis dan tajam dalam menetapkan hukum-hukum Islam, terutama berkaitan dengan kemashalahatan umat.

Contohnya, dalam kasus potong tangan bagi yang mencuri. Dalam kasus tertentu, hukum potong tangan bagi pencuri ini, menurut At-Tufi, tidak perlu dilakukan, manakala yang orang yang mencuri ini terpaksa melakukan perbuatan tersebut demi keselamatan jiwanya.

Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar Ibn Khattab RA, saat Ia menjadi khalifah, menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketika ia, sang pencuri tidak dipotong tangannya. Mengingat, sang pencuri terpaksa melakukan pencurian di rumah majikannya, karena sudah beberapa bulan gajinya tidak dibayarkan. Padahal, Ia sangat membutuhkan uang gaji tersebut untuk makan anak dan isterinya yang sudah beberapa hari tidak makan. Oleh Khalifah Umar RA, sang pencuri ini malah diberikan sejumlah uang dan sang majikan diberikan hukuman dengan membayar uang kepada pencuri tersebut.

Dalam kasus ini, At-Tufi melihat bahwa dalil-dalil Alquran yang qathi (sudah jelas hukumnya), masih bisa berubah, apabila ada persoalan lain yang manfaatnya lebih besar. Maksudnya, dalil yang qathi dalam bidang muamalat masih bisa diperdebatkan. Sementara dalam hal ibadah sudah tidak bisa diperdebatkan lagi.

Menurutnya, langkah Khalifah Umar RA tidak melaksanakan potong tangan kepada si pencuri, bukan berarti tidak melaksanakan hukum Allah, melainkan menyelamatkan jiwa si pencuri. Ini sesuai dengan maqasid al-syariah (maksud hukum Islam), yakni menyelamatkan jiwa (Hifzh al-Nafs), memelihara agama (Hifzh al-Din), menyelamatkan harta (Hifzh al-Maal), memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl), dan memelihara akal (Hifzh al-Aql).

Begitu pula mengenai hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari mengenai larangan perempuan menjadi pemimpin, (Lan Yufliha al-Qaumu wa law amruhum Imra'atan, tidak akan bahagia suatu kaum, apabila menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan). Menurut At-Tufi, hadis ini bukan bermakna umum, melainkan khusus. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Arab jahiliyah yang melarang perempuan untuk keluar rumah. Karena larangan tersebut, mereka jarang sekali terlibat dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan. Oleh karena itu, kata At-Tufi, akan sangat berbahaya menyerahkan kepemimpinan negara atau masyarakat kepada kaum perempuan yang mereka sendiri tidak mengetahui perkembangan masyarakat.

Sebaliknya, tambah At-Tufi, di zaman sekarang ini, sudah banyak kaum perempuan yang bersekolah dan memiliki kemampuan serta keahlian, baik ekonomi, politik, pendidikan, dan lainnya. Karena itu, At-Tufi membolehkan kaum perempuan untuk memimpin sebuah negara.

Selain masalah ini, masih banyak lagi pandangan At-Tufi yang kritis dalam memahami hukum Islam. Ia tak segan-segan mengeritik ulama-ulama yang menetapkan hukum berdasarkan sumber yang ada tanpa menelaah tujuan besar dari hukum Islam (Maqasid al-Syariah).

***

Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar-Rabi' Sulaiman bin Abd al-Qawi bin Abd al-Karim bin Sa'id at-Tufi as-Sarsari al-Baghdadi al-Hambali. Ia lebih terkenal dengan panggilan At-Tufi, nama sebuah desa di daerah Sarsar, Irak. Di desa inilah, Najamuddin At-Tufi dilahirkan pada 657 H (1259 M) dan meninggal dunia pada 716 H (1318 M). Selain At-Tufi, ia juga populer dengan panggilan Ibn Abu Abbas. Berdasarkan keterangan ini, Najamuddin lahir setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke kota Baghdad yang dipimpin oleh Khulagu Khan pada 1258 M.

At-Tufi adalah seorang yang cinta terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dipahami dari petualangannya belajar dalam berbagai disiplin ilmu di berbagai tempat dari beberapa alim ulama yang masyhur d zamannya. Berbagai disiplin ilmu yang dipelajar At-Tufi, seperti ilmu tafsir, hadis, fiqih, mantiq, sastra, teologi dan sebagainya. Adapun tempat-tempat yang pernah dikunjunginya untuk menuntut ilmu pengetahuan antara lain, Sarsari, Baghdad, Damaskus, Kairo dan tempat lainnya yang banyak bermukim para alim ulama yang masyhur.

Pada usia muda, At-Tufi belajar di desa kelahirannya, dengan mempelajari dan menghafal ktab fiqih, Mukhtasar al-Khiraqi, karya Umar Ibn al-Husein bin Abdullah bin Ahmad al-Khiraqi dan mempelajari ilmu nahwu kitab al-Luma', karya Abu al-Fathi Usman bin Jani. Kemudian, At-Tufi belajar fiqih pada Syeikh Zainuddin Ali bin Muhammad as-Sarsari, salah seorang ahli fiqih madzhab Hanbali yang terkenal dengan sebutan Ibn al-Bauqi.

Pada tahun 691 H, At-Tufi pergi ke kota Baghdad dan belajkar ktab Fiqh al-Muharrir, karya Muhiduddin Ibn Abd al-Salam bim Taimiyah pada Syeikh Taqiyuddin Az-Zarairati--salah seorang ahli fiqih Irak. Disamping itu, At-Tufi juga belajar bahasa Arab dan ilmu sharaf pada Abu Abdullah Muhammad Ibn al-Husein al-Muwassili. Kemudian, ia juga belajar ushul fiqih pada An-Nasr al-Faruqi dan alim ulama lainnya. Sesuadah itu, At-Tufi mempelajari ilmu faraid dan logika. Pada saat yang sama, Ia belajar hadis pada ar-Rasyid bin al-Qasimi, Ismail bin At-Tabbal, Hafiz Abd al-Rahman Sulaiman al-Hirani dan ahli hadis, Abu Bakar al-Qulanisi, serta ulama lainnya.

Tahun 704 H, At-Tufi mengunjungi Kota Damsyiq untuk belajar hadis pada Ibn Hamzah, Taqiyuddin Ibn Taimyah, al-Maz dan al-Barzali. Setahun kemudian (705 H), At-Tufi berkunjung ke Kota Kairo dan belajar pada al-Hafiz Abd al-Mukmin bin Khallaf, Qadi Sa'duddin al-Harisi dan Abu Hayyan, penulis Mukhtasar kitab Sibawaihi.

Menurut Mustafa Zaid, dalam kitabnya Al-Maslahah, At-Tufi dikenal sebagai seorang yang sangat cerdas dan mempunyai ingatan kuat. Ingatan kuat dan kecerdasan adalah faktor penting dalam belajar. Karena, ingatan merupakan gudang penyimpanan data dan informasi yang penting. Sedangkan kecerdasan sangat berguna untuk pengembangan keilmuan.

Ditambahkan, Muhammad Mustafa Syalabi, dalam bukunya Ta'lil al-Ahkam, disamping cerdas dan mempunyai ingatan yang kuat, At-Tufi juga dikenal dengan cara berpikirnya yang rasional dan ia penganut berpikir bebas. Dalam berpikir bebas ini, At-Tufi disejajarkan dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Karena itu, Syalabi menyebut ketiga ulama tersebut (At-Tufi, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu al-Qayyim, red), sebagai trio penganut berpikir bebas dari madzhab Hanbali. Diduga, cara At-Tufi dalam berpikir bebas itu karena pengaruh dari gurunya, Ibnu Taimiyah.

Dari petualangan At-Tufi menuntut berbagai disiplin ilmu diatas, menunjukkan bahwa At-Tufi adalah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu. Syalabi menyebut At-Tufi sebagai seorang ulama yang luas ilmunya.

Pada tahun 714 H, At-Tufi menunaikan ibadah haji, dan tahun berikutnya (715 H), ia berhaji lagi. Kemudian kembali ke Syam dan bertempat tinggal di Palestina, sampi meninggalnya pada tahun 716 H.

n sya

----00000----

Karya-Karya At-Tufi

Najamuddin At-Tufi, dikenal sebagai seorang ulama yang luas pengetahuannya. Tak heran, Ia menguasai berbagai bidang ilmu. Seperti, ilmu fiqih, tafsir, hadis, sharaf, nahwu dan lain sebagainya.

Ia juga banyak menulis buku dan kitab, sesuai dengan disiplin ilmunya. Mulai dari Alquran dan hadis, ilmu ushuluddin (teologi), fiqih, ushul fiqih, bahasa, serta sastra. Karya-karyanya antara lain :

1. Bidang Ilmu Alquran dan Hadis

a. Al-Iksir fi Qawa'id at-Tafsir
b. Al-Isyarat al-Ilahiyat la al-Mahabis Al-Ushuliyah
c. idah l-Bayan an Ma'na Umm Alquran
d. Mukhtasar al-Ma'alim
e. Tafsir Surat Qaf dan an-Naba'
f. Jadl Alquran
g. Bagiat al-Wasil ila Ma'rifat al-Fawasil
h. Daf'u at-Ta'arud 'amma Yuham at-Tanaqud fi al-Kitab wa al-Sunnah
i. Syarh al-Arba'in Nawawiyah
j. Mukhtasar at-Turmudzi.

2. Bidang Ushuluddin (Teologi)

a. Bagiat as-As'il Ummahat al-Masa'il
b. Qudwat Al-Muhtadin ila Maqasid ad-Din
c. Halal al-'Aqdi fi Ahkam al-Mu'taqid
d. Al-Intisarat al_Islamiyat fi Daf'i Syubhat an-Nasraniyah
e. Dar'u al-Qaul al-Qabih fi at-Tahsin wa at-Taqbih
f. Al-Bahir fi Ahkam al-Batin wa Al-Zhahir
g. Radd 'ala al-Itthadiyah
h. Ta'aliq 'ala al-Anajil wa Tanaqudiha
i. Qasidat fi Al-Aqidah wa Syarhuha
j. Al-Azab al-Wasib 'ala Arwah an-Nawasib.

3. Bidang Ilmu Ushul Fiqih

a. Mukhtasar ar-Raudah al-Qudamiyah
b. Syarh Mukhtasar ar-Raudah al-Qudamiyah (tiga jilid)
c. Mukhtasar al-Hasil
d. Mukhtasar al-Mahsul.
e. Mi'raj al-Wusul ila Ilm al-Ushul
f. Az-Zari'ah ila Ma'rifat Asrar Asy-Syariat.

4. Bidang Ilmu Fiqih

a. Ar-Ryad an-Nawazir fi al-Asybah wa an-Naza'ir
b. Al-Qawa'id al-Kubra
c. Al-Qawa'id al-Shugra
d. Syarh Nisf Mukhtasar al-Khiraqi
e. Muqaddimah fi Ilm Al-Fara'id
f. Syarh Mukhtasar at-Tibrizi (dalam fiqih Asy-Syafi'i).

5. Bidang Bahasa, Sastra, dan lainnya

a. As-Sa'qat al-Gadabiyat fi al=Radd 'ala Munkar al-Arabiyah
b. Al-Risalag al-Uluwiayt fi al-Qawa'id al-Arabiyah
c. Gaflat al-Mujtaz fi Ilm al-Haqiqat wa al-Majaz
d. Tuhfat Ahl al-Adab fi Ma'rifat Lisan al-Arab
e. Al-Rahiq al-Salsal fi al-=Adab al-Musalsal
f. Mawaid al-Haisi fi Syi'ri Imri' al-Qais
g. Asy-Syi'ar al-Mukhtar 'ala Mukhtar al-Asy'ar
h. Syarh Maqamat al-Hariri (tiga jilid).
i. Izalat al-Ankad fi Masalat Kad
j. Daf'u al-Mulam al-Ahl al-Mantiq wa al-Kalam.

Dari sejumlah karya At-Tufi dalam berbagai disiplin ilmu tersebut, enam kitab diantaranya dijadikan referensi oleh Mustafa Zaid dalam bukunya Al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najamuddin at-Tufi. Keenam karya tersebut adalah : Al-Iksir fi Qawaid at-Tafisr (bidang tafsir), Mukhtasar ar-Raudat al-Qudamiyah dan syarah-nya (dalam bidang ushul fiqih), As-Sa'qaf al-Gadabiyah fi Ar-Radd 'ala Munkari al-Arabiyah (dalam bidang sastra), Mukhtasar at-Turmudzi (dalam bidang hadis), Syarh al-Arba'in Nawawiyah (dalam bidang hadis), dan Al-Isyarat al-Ilahiyat ila al-Mahabis al-Ushuliyah (dalam bidang Alquran). n sya



Kamis, 16 Oktober 2008

Ibnu Al- Nafis: Bapak Fisiologi Sirkulasi


REPUBLIKA - Senin, 02 Juni 2008


Ibnu Al- Nafis: Bapak Fisiologi Sirkulasi


Dunia kedokteran modern mendapuknya sebagai ahli fisiologi terhebat di era keemasan Islam pada abad ke-13 M. Dialah dokter pertama di muka bumi yang mampu merumuskan dasar-dasar sirkulasi lewat temuannya tentang sirkulasi dalam paru-paru, sirkulasi jantung, dan kapiler. Sebuah pencapaian yang prestisius dan luar biasa itu ditorehkan seorang dokter Muslim bernama Ibnu Al-Nafis.

Berkat jasanya yang sangat bernilai itulah, Ibnu Al-Nafis dianugerahi gelar sebagai ‘Bapak Fisiologi Sirkulasi’. Prestasi dan pencapaian gemilang yang ditorehkannya pada abad ke-13 M itu telah mematahkan klaim Barat yang selama beberapa abad menyatakan bahwa Sir William Harvey dari Kent, Inggris yang hidup di abad ke-16 M, sebagai pencetus teori sirkulasi paru-paru.

Jejak prestasi yang ditorehkan Al-Nafsi dalam bidang kedokteran khususnya ilmu fisologi pada era kejayaan Islam itu baru terungkap pada abad ke-20. Dunia kedokteran pun dibuat terperangah dan takjub oleh pencapaian dokter Muslim itu. Adalah fisikawan berkebangsaan Mesir, Muhyo Al- Deen Altawi yang berhasil menguak kiprah Al-Nafsi lewat risalah berjudul Commentary on the Anatomy of Canon of Avicenna yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Prussia, Berlin, Jerman.

Kontribusi Al-Nafis dalam dunia kedokteran tak hanya di bidang fisiologi. Ia juga dikenal sebagai dokter yang menyokong kedokteran ekperimental, postmortem otopsi, serta bedah manusia. Sejarah juga mencatat Al-Nafis sebagai dokter pertama yang menjelaskan konsep metabolisme. Tak heran bila dia lalu mengembangkan aliran kedokteran Nafsian tentang sistem anatomi, fisiologi, psikologi, dan pulsologi.

Aliran Nafsian yang diciptakannya itu bertujuan untuk menggantikan doktrindoktrin kedokteran yang dicetuskan pendahulunya yakni Ibnu Sina alias Avicena dan Galen - seorang dokter Yunani. Al- Nafis menilai banyak teori yang dikemukakan kedua dokter termasyhur itu keliru. Antara lain tentang denyut, tulang, otot, panca indera, perut, terusan empedu, dan anatomi tubuh lainnya.

Guna meluruskan teori dan doktrin kedok teran yang dianggapnya keliru itu, Al- Nafsi lalu menggambar diagram yang melukiskan bagian-bagian tubuh yang berbeda dalam sistem fisiologi (kefaalan) yang dikembangkannya. Karya Al-Nafis dalam bidang kedokteran dituliskannya dalam kitab Sharh al-Adwiya al-Murakkaba, komentar Al-Nafis terhadap kitab karya Ibnu Sina yang berjudul Canon of Medicine. Ia juga menulis kitab Com mentary on Anatomy in Avicenna’s Canon pada tahun 1242 M.

Selain memberi kontribusi yang begitu besar dalam bidang kedokteran, Al-Nafis yang juga dikenal sebagai ilmuwan serbabisa itu turut berjasa mengembangkan ilmu keislaman. Al-Nafis berhasil menulis sebuah metodelogi hadits yang memperkenalkan sebuh klasifikasi ilmu hadits yang lebih rasional dan logis. Al-Nafis pun dikenal sebagai seorang sastrawan. Ia menulis Theologus Autodidactu salah satu novel filosofis pertama dalam khazanah karya sastra Arab pertama.

Lalu bagaimana sebenarnya jejak hidup sang dokter kondang itu? Sejatinya, Al- Nafis memiliki nama lengkap Ala al-Din Abu al-Hassan Ali ibn Abi-Hazm Al-Qarshi Al-Dimashqi. Selain dikenal sebagai dokter, Al-Nafis juga merupakan pakar anatomi, fisiologi, bedah, ophtamologi, penghafal Alquran, ahli hadits, ahli hukum, novelis, sosiolog, sastrawan, astronomi, ahli bahasa, dan sejawaran.

Al-Nafis terlahir pada tahun 1213 M di Damaskus, Suriah. Ia menempuh pendidikan kedokteran di Rumah Sakit Al- Nuri Damaskus. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan, karena semasa remaja dan muda menimba banyak ilmu. Ketika berusia 23 tahun, Al-Nafis memutuskan hijrah ke Kairo, Mesir. Ia memulai karirnya sebagai seorang dokter di Rumah Sakit Al-Nassri dan Rumah sakit Al- Man souri. Di rumah sakit itulah, dia men jadi dokter kepala.

Setelah enam tahun mengabdikan diri dua rumah sakit di kota Kairo itu, pada 1242 M, Al-Nafis mempublikasikan karyanya yang berjudul The Commentary on Anatomy in Avicenna’s Canon. Dalam kitab itulah, ia berhasil mengungkapkan penemuannya dalam anatomi manusia. Pe ne muannya yang paling penting adalah mengenai sirkulasi paru-paru dan jantung.

Menginjak usia 31 tahun, Al-Nafis kembali menyelesaikan karyanya yang lain yang berjudul The Comprehensive Book on Medicine. Kitab itu sudah dipublikasikan dalam 43 volume pada tahun 1243 M - 1444 M. Selama lebih dari satu dasawarsa berikutnya, Al-Nafis berhasil menyelesaikan karyanya di bidang kedokteran hampir 300 volume. Namun, dia hanya mempublikasikan 80 volume.

Sejarah mencatat The Comprehensive Book on Medicine merupakan ensiklopedia kedokteran terbesar di zamannya. Pencapaian luar biasa yang ditorehkan Al-Nafis ketika itu dihasilkan dalam situasi politik yang tak menentu. Pasalnya, ketika itu umat Islam di Mesir tengah menghadapi ancaman Perang Salib dan invasi bangsa Mongol.

Setelah Hulagu Khan bersama pasukan bar-barnya meluluh-lantakan kota metropolis intelektual dunia, Baghdad pada tahun 1258, setahun kemudian tentara Mongol men caplok Suriah. Untunglah, keberingasan Mongol tak sampai ke Mesir. Pada tahun 1960, kekusaan Mongol dari Suriah berhasil diusir Sultan Mesir, Baibars, setelah memenangkan pertempuaran Ain Jalut. Sejak tahun 1260 M hingga tahun 1277 M, Ibnu Nafis mengabdikan diri menjadi dokter pribadi Sultan Baibars.

Sebagai seorang penghafal Alquran dan ahli hadits, Al-Nafis memiliki latar belakang keagamaan yang begitu kuat. Ia ternya ta seorang Muslim Sunni ortodoks. Alnafis merupakan seorang sarjana di Sekolah Fikih Syafi’i. Dalam bidang filasafat, dokter serba bisa itu juga menulis beberapa karyanya. Selain mengabdikan diri sebagai dokter, Al-Nafis pun mengajarkan Alquran dan Hadists.

Sang ilmuwan besar itu tutup usia pada 17 Desember 1288 atau 11 Dzulqaidah 687 H. Di akhir hayatnya, Al-Nafis menyumbangkan rumah, perpustakaan dan klinik yang dimilikinya kepada Rumah Sakit Masuriyah agar digunakan bagi kepentingan masyarakat.

***
Al-Nafis tentang Sirkulasi Paru-paru dan Jantung



Inilah pencapaian yang berhasil dicapai Ibnu Al-Nafis dalam bidang fisiologi yang mengguncangkan itu. Pada abad ke-13 M, dia telah mengungkapkan penemuan pentingnya. Dalam kitab yang ditulisnya, Al-Nafis berujar, ‘’Da rah dari kamar ka nan jantung harus me nuju bagian kiri jantung, namun tak ada bagian apapun yang menjem batani kedua bilik itu. Sekat tipis pada jantung tidak berlubang.

Al-Nafis pun menambahkan, ‘’Dan bukan seperti apa yang dipikirkan Galen, tak ada poripori tersembunyi di dalam jantung. Darah dari bilik kanan harus melewati vena arteriosa (arteri paru-paru) menuju paru-paru, menyebar, berbaur dengan udara, lalu menuju arteria venosa (vena paru-paru) dan menuju bilik kiri jantung dan bentuk ini merupakan spirit vital.’‘

Selain itu, Al-Nafis secara tegas me nga takan, ‘’Jantung hanya memiliki dua kamar. Dan antara dua bagian itu sungguh tidak saling terbuka. Dan, pembedahan juga membuktikan kebohongan yang mereka ungkapkan. Sekat antara dua bilik jantung lebih tipis dari apapun. Keuntungan yang didapat dengan adanya sekat ini adalah, darah pada bilik kanan dengan mudah menuju paru-paru, bercampur dengan udara di dalam paru-paru, kemudian didorong menuju ar te ria venosa ke bilik kiri dari dua bilik jantung...”

Mengenai anatomi paruparu, Ibnu Al-Nafis menulis:’‘Paru-paru terdiri dari banyak bagian, pertama adalah bronkus, kedua adalah cabangcabang arteria venosa, dan ketiga adalah cabang-cabang vena arteriosa. Keti ganya terhubung oleh jaringan daging yang berongga.’‘


Nasiruddin Al-Tusi : Ilmuwan Serba Bisa dari Persia

REPUBLIKA - Selasa, 27 Mei 2008

Nasiruddin Al-Tusi : Ilmuwan Serba Bisa dari Persia



Ilmuwan serba bisa. Julukan itu rasanya amat pantas disandang Nasiruddin Al-Tusi. Sumbangannya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tak ternilai besarnya. Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan beragam ilmu seperti, astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam.

Sarjana Muslim yang kemasyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja, Thomas Aquinas, itu memiliki nama lengkap Abu Ja'far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Nasiruddin Al-Tusi. Ia terlahir pada 18 Februari 1201 M di kota Tus yang terletak di dekat Meshed, sebelah timur laut Iran. Sebagai seorang ilmuwan yang amat kondang di zamannya, Nasiruddin memiliki banyak nama antara lain, Muhaqqiq Al-Tusi, Khuwaja Tusi, dan Khuwaja Nasir.

Nasiruddin lahir di awal abad ke-13 M, ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa sulit. Pada era itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat menginvansi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam.

Menurut JJ O'Connor dan EF Robertson, pada masa itu dunia diliputi kecemasan. Hilangnya rasa aman dan ketenangan itu membuat banyak ilmuwan sulit untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Nasiruddin pun tak dapat mengelak dari konflik yang melanda negerinya. Sejak kecil, Nasiruddin digembleng ilmu agama oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang ahli hukum di Sekolah Imam Keduabelas.

Selain digembleng ilmu agama disekolah itu, Nasiruddin juga mempelajari beragam topik ilmu pengetahuan lainnya dari sang paman. Menurut O'Connor dan Robertson, pengetahuan tambahan yang diperoleh dari pamannya itu begitu berpengaruh pada perkembangan intelektual Nasiruddin. Pengetahuan pertama yang diperolehnya dari sang paman antara lain; logika, fisika, dan metafisika.

Selain itu, Nasiruddin juga mempelajari matematika pada guru lainnya. Ia begitu tertarik pada aljabar dan geometri. Ketika menginjak usia 13 tahun, kondisi keamanan kian tak menentu. Pasukan Mongol dibawah pimpinan Jengis Khan yang berutal dan sadis mulai bergerak cepat dari Cina ke wilayah barat. Sebelum tentara Mongol menghancurkan kota kelahirannya, dia sudah mempelajari dan menguasai beragam ilmu pengetahuan.

Untuk menimba ilmu lebih banyak lagi, Nasiruddin hijrah dari kota kelahirannya ke Nishapur - sebuah kota yang berjarak 75 km di sebelah barat Tus. Di kota itulah, Nasiruddin menyelesaikan pendidikannya filsafat, kedokteran, dan matematika. Dia sungguh beruntung, karena bisa belajar matematika dari Kamaluddin ibn Yunus. Kariernya mulai melejit di Nishapur. Nasiruddin pun mulai dikenal sebagai seorang sarjana yang hebat.

Pada tahun 1220 M, invasi militer Mongol telah mencapai Tus dan kota kelahiran Nasiruddin pun dihancurkan. Ketika situasi keamanan tak menentu, penguasa Ismailiyah Nasiruddin 'Abdurrahim mengajak sang ilmuwan itu untuk bergabung. Tawaran itu tak disia-siakannya. Nasiruddin pun bergabung menjadi salah seorang pejabat di Istana Ismailiyah. Selama mengabdi di istana itu, Nasiruddin mengisi waktunya untuk menulis beragam karya yang penting tentang logika, filsafat, matematika, serta astronomi. Karya pertamanya adalah kitab Akhlag-i Nasiri yang ditulisnya pada 1232 M.

Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan - cucu Jengis Khan - pada tahun 1251 M akhirnya menguasai Istana Alamut dan meluluh-lantakannya. Nyawa Nasiruddin selamat, karena Hulagu ternyata sangat menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan. Hulagu yang dikenal bengis dan kejam memperlakukan Nasiruddin dengan penuh hormat. Dia pun diangkat Hulagu menjadi penasihat di bidang ilmu pengetahuan.

Meski telah menjadi penasihat pasukan Mongol, sayangnya Nasiruddin tak mampu menghentikan ulah dan kebiadaban Hulagu Khan yang membumi hanguskan kota metropolis intelektual dunia, Baghdad, pada tahun 1258 M. Terlebih, saat itu Dinasti Abbasiyah berada dalam kekuasaan Khalifah Al-Musta'sim yang lemah. Terbukti, militer Abbasiyah tak mampu membendung gempuran pasukan Mongol.

Meski tak mampu mencegah terjadinya serangan bangsa Mongol, paling tidak Nasiruddin bisa menyelamatkan dirinya dan masih berkesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. "Hulagu sangat bangga karena berhasil menaklukkan Baghdad dan lebih bangga lagi karena ilmuwan terkemuka seperti Al-Tusi bisa bergabung bersamanya,'' papar O'Connor dan Robertson dalam tulisannya tentang sejarah Nasiruddin.

Hulagu juga amat senang, ketika Nasirrudin mengungkapan rencananya untuk membangun Observatorium di Maragha. Saat itu, Hulagu telah menjadikan Malagha yang berada di wilayah Azerbaijan sebagai ibu kota pemerintahannya. Pada tahun 1259 M, Nasiruddin pun mulai membangun observatorium yang megah. Jejak dan bekas bangunan observatorium itu masih ada hingga sekarang.

Observatorium Maragha mulai beroperasi pada tahun 1262 M. Pembangunan dan operasional observatorium itu melibatkan sarjana dari Persia dibantum astronom dari Cina. Teknologi yang digunakan di observatorium itu terbilang canggih pada zamannya. Beberapa peralatan dan teknologi penguak luar angkasa yang digunakan di observatorium itu ternyata merupakan penemuan Nasiruddin, salah satunya adalah 'kuadran azimuth.'

Selain itu, dia juga membangun perpustakaan di observatorium itu. Koleksi bukunya tebilang lengkap, terdiri dari beragam ilmu pengetahuan. Di tempat itu, Nasiruddin tak cuma mengembangkan bidang astronomi saja. Dia pun turut mengembangkan matematika serta filsafat.

Di Observatorium yang dipimpinnya itu, Nasiruddin Al-Tusi berhasil membuat tabel pergerakan planet yang sangat akurat. Kontribusi lainnya yang amat penting bagi perkembangan astronomi adalah kitab Zij-i Ilkhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan lalu diterjemahkan dalam bahasa Arab. Kitab itu disusun setelah 12 tahun memimpin obeservatorium Maragha.

Selain itu, Nasiruddin juga berhasil menulis kitab terkemuka lainnya berudul Al-Tadhkira fi'ilm Al-hay'a (Memoar Astronomi). Nasiruddin mampul memodifikasi model semesta episiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langi

Nasiruddin meninggal dunia pada 26 Juni 1274 M di Baghdad. Meski begitu, jasa dan kontribusinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan masih tetap dikenang. Namanya, dibadikan mejadi salah satu nama kawah di bulan.


***
Sumbangan Penting Nasiruddin untuk Sains



Astronomi
Ia menulis beragam kitab yang mengupas tentang Astronomi. Nasiruddin juga membangun observatorium yang mampu menghasilkan tabel pergerakan planet secara akurat. Model sistem plenaterium yang dibuatnya diyakini paling maju pada zamannya. Dia juga berhasil menemukan sebuah teknik geometrik yang dikenal di barat dengan a Tusi-couple. Sejarah juga mencatat, Nasiruddin sebagai astronom pertama yang mengungkapkan bukti observasi empiris tentang rotasi Bumi.

Biologi
Nasiruddin juga turut memberi sumbangan dalam pengembangan ilmu hayat atau biologi. Ia menulis secara luas tentang biologi. Nasiruddin menempatkan dirinya sebagai perintis awal dalam evolusi biologi. Dia memulai teorinya tentang evolusi dengan alam semesta yang terdiri dari elemen-eleman yang sama dan mirip. Menurutnya, kontradiksi internal mulai tampak sebagai sebuah hasil, dan beberapa zat mulai berkembang lebih cepat serta berbeda dengan zat lain.

Dia lalu menjelaskan bagaimana elemen-elemen berkembang menjadi mineral kemudian tanaman, kemudian hewan, dan kemudian manusia. Di juga menjelaskan bagaimana variabilitas heriditas merupakan faktor penting dalam evolusi biologi mahluk hidup.

Kimia
Dalam bidang kimia, Nasiruddin mengungkapkan versi awal tentang hukum kekekalan massa:''Zat dalam tubuh tak bisa sepenuhnya menghilang. Zat itu hanya merubah bentuk, kondisi, komposisi, warna, dan bentuk lainnya yang berbeda.''

Matematika
Selain menghasilkan rumus sinus pada segitiga, Nasiruddin juga adalah matematikus pertama yang memisahkan trigonometri sebagai disiplin ilmu yang terpisah dari matematika.

***
Pencapaian Penemu Rumus Sinis Segitiga



Selama mendedikasikan hidupnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Nasiruddin Al-Tusi telah menulis beragam kitab yang mengupas bermacam ilmu pengetahuan. Di antara kitab yang berhasil ditulisnya itu antara lain; kitab Tajrid-al-'Aqaid (sebuah kajian tentang ilmu kalam); serta Al-Tadhkirah fi'ilm al-hay'ah (sebuah memoar tentang ilmu astronomi).

Kitab tentang astronomi yang ditulis Nasiruddin itu banyak mendapat komentar dari para pakar astronomi. Komentar-komentar itu dibukukan dalam sebuah buku berjudul Sharh al-Tadhkirah (Sebuah Komentar atas Al-Tadhkirah) yang ditulis Abd al-Ali ibn Muhammad ibn al-Husayn al-Birjandi dan Nazzam Nishapuri.

Selain itu, Nasiruddin juga menulis kitab berjudul Akhlaq-i-Nasri yang mengupas tentang etika. Kitab lainnya yang terbilang populer adalah Al-Risalah Al-Asturlabiyah (Risalah Astrolabe). Kitab ini mengupas tentang peralatan yang digunakan dalam astronomi. Di bidang astronomi, Nasiruddin juga menulis risalah yang amat populer, yakni Zij-i ilkhani (tabel ilkhanic). Ia juga menulis Sharh Al-Isharat, sebuah buku yang berisi kritik terhadap hasil kerja Ibnu Sina.

Selama tinggal di Nishapur, Nasiruddin memiliki reputasi yang cemerlang, sebagai ilmuwan yang beda dari yang lain. Pencapaian mengagumkan yang berhasil ditorehkan Nasiruddin dalam bidang matematika adalah pembuatan rumus sinus untuk segitiga, yakni; a/sin A = b/sin B = c/sin C.

Az-Zahrawi, Dokter Islam Ternama


Az-Zahrawi, Dokter Islam Ternama

(Republika)


Dalam dunia kedokteran, nama Albucasis alias Al Zahrawi tidak pernah luntur. Apalagi bila merunut pada penemuan penyakit hemofilia. Penyakit ini sebenarnya telah ada sejak lama sekali, dan belum memiliki nama. Talmud, yaitu sekumpulan tulisan para rabi Yahudi, 2 abad setelah Masehi menyatakan bahwa seorang bayi laki-laki tidak harus dikhitan jika dua kakak laki-lakinya mengalami kematian akibat dikhitan.

Titik terang ditemukan setelah Al Zahrawi pada abad ke-12 menulis dalam bukunya mengenai sebuah keluarga yang setiap anak laki-lakinya meninggal setelah terjadi perdarahan akibat luka kecil. Ia menduga hal tersebut tidak terjadi secara kebetulan. Kata hemofilia pertama kali muncul pada sebuah tulisan yang ditulis oleh Hopff di Universitas Zurich, tahun 1828. Dan menurut ensiklopedia Britanica, istilah hemofilia (haemophilia) pertama kali diperkenalkan oleh seorang dokter berkebangsaan Jerman, Johann Lukas Schonlein (1793 - 1864), pada tahun 1928. Lukas menelusur aneka catatan kedokteran, termasuk tulisan Al Zahrawi atau Albucasis itu.

Albucasis lahir sebagai Abu al-Qasim Khalaf bin Abbas Al-Zahrawi di Al Zahra'a, 6 mil utara Cordoba di Andalusia (sekarang Spanyol), tahun 936. Dia mengawali karirnya sebagai dokter bedah dan pengajar di beberapa sekolah kedokteran. Namanya mulai menjadi perbincangan di dunia kedokteran setelah dia meluncurkan buku yang kemudian menjadi buku paling populer di dunia kedokteran, At-Tasrif liman 'Ajiza 'an at-Ta'lif (Metode Pengobatan).

Dalam buku itu, ia banyak menguraikan tentang hal-hal baru dalam operasi medis. Apa yang ditulisnya merupakan cetak biru dari apa yang dilakukannya selama 50 tahun melang melintang dalam dunia pengobatan. Bahkan, bukunya dianggap sebagai ikhtisar ensiklopedi kedokteran. Al Zahrawi juga menciptakan sejumlah alat bantu operasi. Ada tiga kelompok alat yang diciptakannya, yaitu instrumen untuk mengoperasi bagian dalam telinga, instrumen untuk inspeksi internal saluran kencing, dan instrumen untuk membuang sel asing dalam kerongkongan.

Di atas semua itu, ia terkenal sebagai pakar operasi yang piawai mengaplikasikan aneka teknik paling tidak untuk 50 jenis operasi yang berbeda. Dia jugalah yang pertama menguraikan secara detil operasi klasik terhadap kanker payudara, lithotrities untuk 'menggempur' batu ginjal, dan teknik membuang kista di kelenjar tiroid. Dia juga termasuk salah satu penggagas operasi plastik, atau setidaknya, dialah yang memancangkan prosedur bedah plastik pertama kali.

Dalam bukunya, Al-Tasrif, Al-Zahrawi mendiskusikan tentang penyiapan aneka obat-obatan yang diperlukan untuk penyembuhan pasca operasi, yang dalam dunia pengobatan modern dikenal sebagai ophthalmologi atau sejenisnya. Dalam penyiapan obat-obatan itu, ia mengenalkan tehnik sublimasi. Al Zahrawi juga ahli dalam bidang kedoteran gigi. Bukunya memuat beberapa piranti penting dalam perawatan gigi. Misalnya thereof, alat yang sangat vital dalam operasi gigi.

Di buku yang sama, ia juga mendiskusikan beberapa kelainan pada gigi dan problem deformasi gigi serta bagaimana cara untuk mengoreksinya. Ia juga memciptakan sebuah teknik untuk menyiapkan gigi artifisial dan cara memasangnya. Al-Tasrif dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin pada abad pertengahan oleh Gherard of Cremona. Sejumlah editor lain di Eropa mengikutinya, dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa mereka. Buku dengan sejumlah diagram dan ilustrasi alat bedah yang digunakan Al Zahrawi ini kemudian masuk ke kampus-kampus dan menjadi buku wajib mahasiswa kedokteran.

Al Zahrawi disebut oleh Pietro Argallata (meninggal tahun 1423) sebagai "Pimpinan segala operasi bedah tanpa keraguan". Jacques Delechamps (1513-1588), ahli bedah Prancis lainnya, menyebut Al Zahrawi sebagai pemikir jempolan abad pertengahan hingga Renaissance. Ia merujuk komentarnya pada kitab At Tasrif karya Al Zahrawi yang banyak dirujuk dokter-dokter pada masa itu.

Al Zahrawi menjadi pakar kedokteran populer di zamannya. Bahkan hingga lima abad setelah kematiannya, bukunya tetap menjadi buku wajib bagi para dokter di berbagai belahan dunia. Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan kedokterannya, menurut Dr Cambell, pakar sejarah pengobatan Arab, dimasukkan dalam kurikulum fakultas kedokteran di seluruh belahan Eropa. Dia juga dikenal sebagai fisikawan andal kebanggaan Raja Al-Hakam II dari Spanyol. Setelah malang melintang di dunia kedokteran dengan sejumlah temuan baru, Al Zahrawi berpulang pada tahun 1013. Namanya tercatat dengan tinta emas dalam dunia kedokteran modern hingga kini. ( tri/islamonline )

Geliat Dunia Farmasi di Era Keemasan

REPUBLIKA - Kamis, 22 Mei 2008


Geliat Dunia Farmasi di Era Keemasan



''Setiap penyakit pasti ada obatnya.'' Sabda Rasulullah SAW yang begitu populer di kalangan umat Islam itu tampaknya telah memicu para ilmuwan dan sarjana di era kekhalifahan untuk berlomba meracik dan menciptakan beragam obat-obatan. Pencapaian umat Islam yang begitu gemilang dalam bidang kedokteran dan kesehatan di masa keemasan tak lepas dari keberhasilan di bidang farmakologi dan farmasi.

Di masa itu para dokter dan ahli kimia Muslim sudah berhasil melakukan penelitian ilmiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan, dan efek dari obat-obat sederhana serta campuran. Menurut Howard R Turner dalam bukunya Science in Medievel Islam, umat Islam mulai menguasai farmakologi dan farmasi setelah melakukan gerakan penerjemahan secara besar-besaran di era Kekhalifahan Abbasiyah.

Salah satu karya penting yang diterjemahkan adalah De Materia Medica karya Dioscorides. Selain itu para sarjana dan ilmuwan Muslim juga melakukan transfer pengetahuan tentang obat-obatan dari berbagai naskah yang berasal dari Suriah, Persia, India, serta Timur Jauh.

Karya-karya terdahulu itu telah membuat para ilmuwan Islam terinspirasi untuk melahirkan berbagai inovasi dalam bidang farmakologi. ''Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa terhadap Barat,'' papar Turner.

Betapa tidak, para sarjana Muslim di zaman kejayaan telah memperkenalkan adas manis, kayu manis, cengkeh, kamper, sulfur, serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat-obatan. Menurut Turner umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama. Para ahli farmakologi Islam juga termasuk yang pertama dalam mengembangkan dan menyempurnakan pembuatan sirup dan julep.

Pada awalnya, farmasi dan farmakologi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu kedokteran. Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu kedokteran di era kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah. Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad ke-8 M, membuat farmakolog menjadi profesi yang independen dan farmakologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

Dalam praktiknya, farmakologi danfarmasi melibatkan banyak praktisi seperti herbalis, kolektor, penjual tumbuhan, rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual dan pembuat sirup, kosmetik, air aromatik, serta apoteker yang berpengalaman. Merekalah yang kemudian turut mengembangkan farmasi di era kejayaan Islam.

Setelah dinyatakan terpisah dari ilmu kedokteran, beragam penelitian dan pengembangan dalam bidang farmasi atau saydanah (bahasa Arab) kian gencar dilakukan. Pada abad itu, para sarjana dan ilmuwan Muslim secara khusus memberi perhatian untuk melakukan investigasi atau pencarian terhadap beragam produk alam yang bisa digunakan sebagai obat-obatan di seluruh pelosok dunia Islam.

Di zaman itu, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad - kota metropolis dunia di era kejayaan Abbasiyah - namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang dimilikinya untuk meracik, menyimpan, serta menjaga aneka obat-obatan.

Pemerintah Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya juga mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka obat-obatan dalam skala besar.

Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib - semacam badan pengawas obat-obatan - mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan.

Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam mestinya menjadi contoh bagi negara-negara Muslim, khususnya Indonesia.

Seperti halnya di bidang kedokteran, dunia farmasi profesional Islam telah lebih unggul lebih dulu dibandingkan Barat. Ilmu farmasi baru berkembang di Eropa mulai abad ke-12 M atau empat abad setelah Islam menguasainya. Karena itulah, Barat banyak meniru dan mengadopsi ilmu farmasi yang berkembang terlebih dahulu di dunia Islam.

Umat Islam mendominasi bidang farmasi hingga abad ke-17 M. Setelah era keemasan perlahan memudar, ilmu meracik dan membuat obat-obatan kemudian dikuasai oleh Barat. Negara-negara Eropa yang menguasai farmasi dari aneka risalah Arab dan Persia tentang obat dan senyawa obat yang ditulis para sarjana dan ilmuwan Islam. Tak heran, bila kini industri farmasi dunia berada dalam genggaman Barat.

Pengaruh kaum Muslimin dalam bidang farmasi di dunia Barat begitu besar. "Hal itu tecermin dalam kembalinya minat terhadap pengobatan natural yang begitu populer dalan pendidikan kesehatan saat ini," papar Turner. Mungkinkah umat Islam kembali menguasai dan mendominasi bidang farmasi seperti di era keemasan?

Kontribusi Ilmuwan Islam di Bidang Farmakologi

* Ibnu Al-Baitar
Lewat risalahnya yang berjudul Al-Jami fi Al-Tibb (Kumpulan Makanan dan Obat-obatan yang Sederhana), Ibnu Al-Baitar turut memberi kontribusi dalam farmakologi dan farmasi. Dalam kitabnya itu, Al-Baitar mengupas beragam tumbuhan berkhasiat obat yang berhasil dikumpulkannya di sepanjang pantai Mediterania antara Spanyol dan Suriah. Tak kurang dari seribu tanaman obat dipaparkannya dalam kitab itu. Seribu lebih tanaman obat yang ditemukannya pada abad ke-13 M itu berbeda dengan tanaman yang telah ditemukan ratusan ilmuwan sebelumnya. Tak heran bila kemudian Al-Jami fi Al-Tibb menjadi teks berbahasa Arab terbaik yang berkaitan dengan botani pengobatan. Capaian yang berhasil ditorehkan Al-Baitar sungguh mampu melampaui prestasi Dioscorides. Kitabnya masih tetap digunakan sampai masa Renaisans di Eropa.

* Abu Ar-Rayhan Al-Biruni (973 M - 1051 M)
Al-Biruni mengenyam pendidikan di Khwarizm. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya seperti astronomi, matematika, filsafat dan ilmu alam. Ia memulai melakukan eksperimen ilmiah sejak remaja. Ilmuwan Muslim yang hidup di zaman keemasan Dinasti Samaniyaah dan Ghaznawiyyah itu turut memberi kontribusi yang sangat penting dalam farmakologi dan farmasi. Melalui kitab As-Sydanah fit-Tibb, Al-Biruni mengupas secara lugas dan jelas mengenai seluk-beluk ilmu farmasi. Kitab penting bagi perkembangan farmakologi dan farmasi itu diselesaikannya pada tahun 1050 M - setahun sebelum Al-Biruni tutup usia. Dalam kitab itu, Al-Biruni tak hanya mengupas dasar-dasar farmasi, namun juga meneguhkan peran farmasi serta tugas dan fungsi yang diemban seorang farmakolog.

* Abu Ja'far Al-Ghafiqi (wafat 1165 M)
Ilmuwan Muslim yang satu ini juga turut memberi kontribusi dalam pengembangan farmakologi dan farmasi. Sumbangan Al-Ghafiqi untuk memajukan ilmu tentang komposisi, dosis, meracik dan menyimpan obat-obatan dituliskannya dalam kitab Al-Jami' Al-Adwiyyah Al-Mufradah. Risalah itu memaparkan tentang pendekatan dalam metodelogi, eksperimen, serta observasi dalam farmakologi dan farmasi.

* Al-Razi
Sarjana Muslim yang dikenal di Barat dengan nama Razes itu juga ikut andil dalam membesarkan bidang farmakologi dan farmasi. Ilmuwan Muslim serba bisa itu telah memperkenalkan penggunaaan bahan kimia dalam pembuatan obat-obatan.

* Sabur Ibnu Sahl (wafat 869 M)
Ibnu Sahal adalah dokter pertama yang mempelopori pharmacopoeia. Kontribusinya dalam bidang farmakologi dan farmasi juga terbilang mata besar. Dia menjelaskan beragam jenis obat-obatan. Sumbangannya untuk pengembangan farmakologi dan farmasi dituangkannya dalam kitab Al-Aqrabadhin.
* Ibnu Sina
Dalam kitabnya yang fenomenal, Canon of Medicine, Ibnu Sina juga mengupas tentang farmakologi dan farmasi. Ia menjelaskan lebih kurang dari 700 cara pembuatan obat dengan kegunaannya. Ibnu Sina menguraikan tentang obat-obatan yang sederhana.

* Al-Zahrawi
Bapak ilmu bedah modern ini juga ikut andil dalam membesarkan farmakologi serta farmasi. Dia adalah perintis pembuatan obat dengan cara sublimasi dan distilasi.

* Yuhanna Ibnu Masawayh (777 M - 857 M)
Orang Barat menyebutnya Mesue. Ibnu Masawayh merupakan anak seorang apoteker. Kontribusinya juga terbilang penting dalam pengembangan farmasi dan farmakologi. Dalam kitab yang ditulisnya, Ibnu Masawayh membuat daftar sekitar 30 macam aromatik.
Salah satu karya Ibnu Masawayh yang terkenal adalah kitab Al-Mushajjar Al-Kabir. Kitab ini merupakan semacam ensiklopedia yang berisi daftar penyakit berikut pengobatannya melalui obat-obatan serta diet.

* Abu Hasan 'Ali bin Sahl Rabban at- Tabari
At-Tabari lahir pada tahun 808 M. Pada usia 30 tahun, dia dipanggil oleh Khalifah Al-Mu'tasim ke Samarra untuk menjadi dokter istana. Salah satu sumbangan At-Tabari dalam bidang farmakologi adalah dengan menulis sejumlah kitab. Salah satunya yang terkenal adalah Paradise of Wisdom. Dalam kitab ini dibahas mengenai pengobatan menggunakan binatang dan organ-organ burung. Dia juga memperkenalkan sejumlah obat serta cara pembuatannya.

Arsitektur Dinasti Seljuk

REPUBLIKA - Kamis, 15 Mei 2008


Arsitektur Dinasti Seljuk


Dinasti Seljuk. Inilah kekaisaran Islam pertama Turki yang memerintah dunia Islam. Kekuasaan yang digenggamnya begitu luas meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah -- terbentang dari Anatolia hingga ke Punjab di belahan selatan Asia. Kekaisaran Seljuk Agung yang mulai menancapkan kekuasaan pada abad ke-11 M hingga 14 M itu didirikan suku Oghuz Turki yang memeluk Islam mulai abad ke-10 M.

Sejatinya, Kekaisaran Seljuk dirintis oleh Seljuk Beg. Namun, Kerajaan Seljuk yang berdiri pada 1037 M itu baru terwujud pada era kepemimpinan Tugrul Beg yang berkuasa hingga 1063 M. Sejarah mencatat Dinasti Seljuk sebagai kerajaan yang mampu menghidupkan kembali kekhalifahan Islam yang ketika itu nyaris tenggelam.

Dalam waktu yang singkat, wilayah kekuasaan Kerajaan Seljuk pun kian bertambah luas. Dinasti Seljuk mencapai puncak kejayaannya ketika menguasai negeri-negeri di kawasan Timur-Tengah seperti Irak, Persia, Suriah serta Kirman. Sebagai negara yang sangat kuat, Dinasti Seljuk amat disegani.

Pada tahun 1055 M, Kerajaan Seljuk sudah mampu menembus kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Dinasti Fatimiah. Dua dasawarsa berikutnya, ketangguhan militer Seljuk mampu memukul mundur Bizantium yang bercokol di Palestina -- kota suci ketiga bagi umat Islam -- dalam pertemuran Minzikert 1071 M.

Pemerintahan Dinasti Seljuk yang berpusat di Anatolia itu amat toleran. Kehadirannya seakan menjadi penerang bagi rakyatnya. Meski berasal dari salah satu suku di Turki, para penguasa Seljuk sangat menghargai perbedaan ras, agama, dan jender. Tak heran, bila bangunan tempat ibadah umat Nasrani dan Yahudi berdiri berdampingan dengan masjid.

Di bawah bendera Seljuk, umat Islam dapat hidup dalam kedamaian, keadilan serta kemakmuran. Pada era dinasti ini aktivitas keagamaan berkembang dengan pesat. Hal itu ditandai munculnya kegiatan sufisme.
Tak cuma itu, ilmu pengetahuan pun turut berkembang. Sederet ilmuwan dan ulama muncul dari Dinasti Seljuk seperti, Al-Ghazali (1038 M - 1111 M) serta Umar Al-Khayam -- seorang penyair terkemuka.

Kekaisaran Seljuk juga sangat mendukung dan mendorong perkembangan kebudayaan, salah satunya seni bina bangun atau arsitektur. Tak heran, bila pada era kekuasaan Dinasti Seljuk banyak berdiri karya-karya arsitektur yang mengagumkan. Dinasti ini mampu menghidupkan kembali pencapaian Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah dalam bidang bina bangunan.

variasi dan kualitas ornamen-ornemen serta bentuk dan teknik arstitektur peninggalan Dinasti Seljuk mampu menjadi inspirasi bagi para arsitek Muslim dan para ahli batu di seluruh dunia. Keunggulan dan kehebatan arsitektur warisan Dinasti Seljuk dapat disaksikan dari bangunan-bangunan peninggalan bersejarah di Iran, Anatolia serta wilayah Asia Minor Muslim.

Para arsitek dunia mencatat ada dua karya seni arsitektur yang paling unik warisan Dinasti Seljuk, yakni caravanserai (tempat singgah bagi para pendatang) serta madrasah. Caravanserai banyak berdiri di wilayah kekuasaan Seljuk lantaran dinasti itu amat mendorong perdagangan dan bisnis. Sedangkan gedung madrasah yang menyebar di daerah kekuasaan Kerajaan Seljuk mencerminkan geliat aktivitas pembelajaran.

Kontribusi Dinasti Seljuk dalam bidang arsitektur begitu besar. Sejarah mencatat beberapa kontribusi Dinasti Seljuk dalam bidang arsitektur antara lain; pertama, memperkenalkan konsep baru empat iwan masjid. Kedua, mengembangkan dan memperbanyak madrasah untuk sarana pendidikan. Ketiga, memperkenalkan caravanserai. Keempat, mengembangkan dan mengelaborasi arsitektur makam.

Kelima, keberhasilan membangun kubah berbentuk kerucut. Keenam, mempromosikan penggunaan motif-motif muqarnas. Ketujuh, memperkenalkan elemen pertama seni baroque yang menyebar ke seluruh Eropa di abad ke-16 M. Kehebatan dan keunikan gaya ersitektur Seljuk telah diakui dunia, termasuk arsitektur modern. Para arsitek Barat pun banyak belajar dari arsitektur Seljuk.


***
Arsitektur Menakjubkan dari Dinasti Seljuk



* Caravanserai Seljuk (Khan)
Penguasa Dinasti Seljuk begitu banyak membangun caravanserai atau tempat singgah bagi para pendatang atau pelancong. caravanserai dibangun untuk menopang aktivitas perdagangan dan bisnis. Para pelancong dan pedagang dari berbagai negeri akan dijamu di caravanserai selama tiga hari secara cuma-cuma alias gratis.
Di caravanserai itulah, para pendatang akan dijamu dengan makanan serta hiburan. Secara fisik, bangunan caravanserai terdiri dari halaman, gedungnya dipercantik dengan lengkungan iwan. Dalam caravanserai terdapat kamar menginap, depo, kamar pengawal serta tersedia juga kandang untuk alat transportasi seperti kuda.

Caravanserai dikelola oleh sebuah lembaga donor. Organisasi itu pertama kali didirikan di Rabat-i-Malik. Caravanserai di wilayah Iran itu menjadi cikal bakal berdirinya tempat singgah khas Dinasti Seljuk. Caravanserai pertama itu dibangun pada tahun 1078 M oleh Sultan Nasr di antara rute Bukhara-Samarkand. Struktur bangunan caravanserai Seljuk meniru istana padang Dinasti Abbasiyah. Bentuknya segi empat dan ditopang dengan dinding yang kuat.

* Madrasah Seljuk
Menurut Van Berchem, para arsitektur di era Dinasti Seljuk mulai mengembangkan bentuk, fungsi dan karakter masjid. Bangunan masjid diperluas menjadi madrasah. Bangunan madrasah pertama muncul di Khurasan pada awal abad ke-10 M sebagai sebuah adaptasi dari rumah para guru untuk menerima murid.

Pada pertengahan abad ke-11 M, bangunan madrasah diadopsi oleh penguasa Seljuk Emir Nizam Al-Mulk menjadi bangunan publik. Sang emir terispirasi oleh penguasa Ghasnavid dari Persia. Di Persia, madrasah dijadikan tempat pembelajaran teknologi. Madrasah tertua yang dibangun Nizam Al-Mulk terdapat di Baghdad pada tahun 1067 M.

Fakta menunjukkan, madrasah yang dibangun antara tahun 1080 M hingga 1092 M di Kharghird, Khurasan sudah menggunakan empat iwan. Secara fisik, bangunan madrasah Seljuk terdiri dari halaman gedung yang dikelilingi tembok dan dilengkapi empat iwan. Selain itu juga ada asrama dan ruang belajar.

Salah satu madrasah terbaik yang bisa dijadikan contoh berada di Anatolia. Bangunan madrasah itu menerapkan karakter khas Iran termasuk penggunaan iwan dan menara ganda yang membingkai pintu gerbang.

* Menara Seljuk
Bentuk menara masjid-masjid di Iran yang dibanguan Dinasti Seljuk secara subtansial berbeda dengan menara di Afrika Utara. Bentuk menara masjid Seljuk mengadopsi menara silinder seagai ganti menara berbentuk segi empat.

* Makam Seljuk
Pada era kejayaan Dinasti Seljuk pembangunan makam mulai dikembangkan. Model bangunan makam Seljuk merupakan pengembangan dari tugu yang dibangun untuk menghormati penguasa Umayyah pada abad ke-8 M. Namun, bangunan makam yang dikembangkan para arsitek Seljuk mengambil dimensi baru.

Bangunan makam yang megah dibangun pada era Seljuk tak haya ditujukan untuk menghormati para penguasa yang sudah meninggal. Namun, para ulama dan sarjana atau ilmuwan terkemuka pun mendapatkan tempat yang sama. Tak heran, bila makam penguasa dan ilmwuwan terkemuka di era Seljuk hingga kini masih berdiri kokoh.

Bangunan makam Seljuk menampilkan beragam bentuk termasuk oktagonal (persegi delapan), berbentuk silinder dan bentuk-bentuk segi empat ditutupi dengan kubah (terutama di Iran). Selan itu ada pula yang atapnya berbentuk kerucut (terutama di Anatolia). Bangunan makam biasanya dibangun di sekitar tempat tinggal tokoh atau bisa pula letaknya dekat masjid atau madrasah.

* Masjid Seljuk
Inovasi para arsitektur Dinasti Seljuk yang lainnya tampak pada bangunan masjidnya. Masjid Seljuk sering disebut Masjid Kiosque. Bangunan masjid ini biasanya lebih kecil yang terdiri dari sebuah kubah, berdiri melengkung dengan tiga sisi yang terbuka. Itulah ciri khas masjid Kiosk.

Model masjid khas Seljuk ini seringkali dihubungkan dengan kompleks bangunan yang luas seperti caravanserai dan madrasah.