Tampilkan postingan dengan label Wanita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wanita. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 April 2008

KONTROVERSI PERAN DAN GERAKAN PEREMPUAN

KONTROVERSI PERAN DAN GERAKAN PEREMPUAN
Syahruddin El-Fikri


Lahirnya gerakan revolusi Perancis dan revolusi Industri pada abad ke-18 telah mempengaruhi tata hubungan antara laki-laki dan perempuan. Lajunya industri menyebabkan kaum laki-laki banyak terserap di sektor industri, sedangkan kaum perempuan hanya berkutat di sektor domestik (rumah tangga). Ketidakberdayaan kaum perempuan di tengah struktur dan kultur masyarakat industri inilah yang mendorong lahirnya gerakan perempuan (feminisme) di Barat. Gerakan ini bertujuan untuk menentang segala bentuk perlakuan diskriminatif dan ketidak adilan terhadap perempuan.
Sebagai hasil dari gerakan perempuan di Barat itu, antara lain terlihat adanya perbaikan nasib kaum perempuan di Inggris dengan keluarnya aturan tentang perceraian pada tahun 1857, kemudian disusul dengan sejumlah peraturan lainnya, seperti aturan pembagian harta warisan dan masalah pengasuhan anak setelah perceraian, aturan tentang perlindungan terhadap isteri dari perlakukan kasar suami, dan aturan tentang aborsi. Selain itu, kaum perempuan di Eropa dan Amerika mulai mendapatkan hak pilih pada tahun 1920. setelah itu gerakan perempuan di dunia Barat tidak terdengar lagi gaungnya.
Gerakan perempuan kembali menghangat pada tahun 1960-an, antara lain dengan munculnya “The New Women’s Liberation Movement” sampai akhirnya Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 8 Maret 1975 sebagai Tahun International Perempuan (International Women Years). Sejak itu perhatian dunia terhadap gerakan perempuan semakin besar.(Musdah Mulia, 1997)
Gerakan perempuan mengalami puncak pencerahan dengan dibentuknya Committee on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW), yaitu semacam jaringan emansipasi perempuan secara Internasional. Institusi ini lahir setelah United Nations (UN / PBB) menyetujui deklarasi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan (Convention of the Elimination of All Form of Discrimination Against Women) pada tahun 1979.
Pembentukan lembaga International itu dimaksudkan untuk memantau deklarasi tersebut sebagai Ketetapan hukum Internasional dalam rangka menghapus semua jenis tindak diskriminatif terhadap perempuan, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Dengan demikian, lembaga ini secara konstitusional memberikan perlindungan hukum terhadap perlakuan diskriminatif yang dialami perempuan dan menerapkan pola kesejajaran dan kemitraan dalam hubungan laki-laki dan perempuan.

Gerakan Perempuan Di Indonesia
Dalam sejarah perjuangan perempuan Indonesia tercatat tokoh-tokoh perempuan, seperti RA. Kartini, Dewi Sartika, H. Rasuna Said, dll, yang memperjuangkan hak-hak perempuan untuk dapat memperoleh pendidikan yang setara dengan laki-laki. Tokoh-tokoh perempuan itu mengungkapkan kegelisahan intelektualnya melihat kenyataan di masyarakat, sistem budaya yang tidak egalitier, dan realitas sosio-kultural pada saat itu mencerminkan kekentalan unsur-unsur feodalisme dan kolonialisme.
Sejarah mencatat bahwa gerakan perempuan di Indonesia mempertegas kehadirannya melalui “Kongres Perempuan Indonesia” ke-1 di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Kelak, tanggal 22 Desember ini diperingati sebagai Hari Ibu. Pergerakan perempuan Indonesia yang kemudian diikuti dengan partisipasi kaum perempuan dalam revolusi kemerdekaan telah memberi kemungkinan gerak kepada kaum perempuan untuk membentuk wajah perjuangan dalam bentuk organisasi-organisasi perempuan. Kini di era sekarang ini tercatat sekitar 75 buah organisasi perempuan yang tergabung dalam KOWANI.
Sejak 1980, Indonesia telah merativikasi konvensi PBB tentang penghapusan dikriminasi terhadap perempuan karena tidak bertentangan dengan UUD 1945 yang menetapkan bahwa semua warga negara berkedudukan sama di dalam hukum dan pemerintahan.
Masalahnya adalah benarkan perempuan Indonesia dewasa ini telah terbebas dari diskriminasi? Secara jujur dapat dijawab tidak. Jawaban itu antara lain terlontar dalam suatu lokakarya yang diadakan pada tanggal 19 Mei 1994 untuk memasyarakatkan konvensi PBB tersebut. Dalam lokakarya itu terungkap bahwa perlakukan diskriminatif terhadap perempuan masih terjadi diberbagai bidang. Diksrimiansi paling buruk terhadap perempuan terjadi di sektor ketenagakerjaan (BPS, Indikator Perempuan dan Anak, Jakarta, 1991). Di sektor ini masih ditemukan perbedaan gaji antara laki-laki dan perempuan untuk jenis dan posisi pekerjaan yang sama, perbedaan usia pensiun dan perbedaan jaminan kerja sosial.
Karena itu sangat mengherankan jika ada yang mempertanyakan relevansi gerakan perempuan di Indonesia. Pertanyaan seperti itu muncul karena adanya anggapan bahwa karakteristik, kebutuhan dan latar belakang sosial histories perempuan Indonesia jauh berbeda dari perempuan di Barat. Budaya Indonesia berbeda dengan budaya Barat dan yang lainnya, yaitu menempatkan posisi perempuan pada posisi terhormat seperti dinyatakan dalam ungkapan berikut : Perempuan adalah tiang negara, perempuan adalah ibu bangsa, sorga terletak dibawah telapak kaki ibu. Karena itu gerakan perempuan di Barat yang berakar di Barat tidak semuanya relevan untuk perempuan Indonesia. Ada juga pendapat bahwa isu-isu yang menjadi focus gerakan perempuan cenderung terpisah dari isu-isu nasional dan tidak memberikan sumbangan substansial terhadap penyelesaian masalah nasional.
Ketimpangan gender dan stereotype jenis kelamin masih sangat kuat di Indonesia yang menganut sistem patriarchy, termasuk dalam hal ini diskriminasi terhadap peran publik perempuan. Kuota 30 % UU Pemilu yang disahkan DPR RI pada tanggal 18 Februari 2003, juga belum memberikan bukti akan tidak adanya diskriminasi, sebab kuota tersebut hanyalah bersifat Affirmative Action, perlakuan sementara. Di beberapa wilayah, terutama di pedesaan, adat istiadat tradisional, kepercayaan tabu dan tekanan sosial masih menindas kaum perempuan. Anak-anak perempuan biasanya diberi makan lebih sedikit, ditarik dari bangku pendidikan lebih awal, dipaksa memasuki kerja kasar lebih cepat dan hanya sedikit yang mendapat perawatan kesehatan dibandingkan dengan laki-laki. Ketika remaja, kaum perempuan sering dipaksa kawin muda, kalau tidak ditarik ke dunia prostitusi. Setelah menjadi Ibu atau isteri, kaum perempuan masih banyak yang diperlakukan tak ubahnya sebagai mesin kerja dan umumnya mereka tidak mengenal adanya hak reproduksi, terlebih lagi sehat hak reproduksi.
Dewasa ini kita sedang berada pada masa pertumbuhan ilmu pengetahuan yang demikian pesat, yang memungkinkan proses perubahan menuju masyarakat industri. Kecenderungan utama suatu masyarakat industri adalah komoditisasi, termasuk pengkomoditasian manusia. Dengan bantuan tehnologi yang maju sangat pesat, kekuatan-kekuatan dominan telah menjadikan mayoritas masyarakat sebagai komoditas yang lemah posisinya dan menjadi konsumen yang pasif karena tidak dapat menawar. Mayoritas kaum perempuan –karena posisi dan kemampuannya yang dianggap inferior dari kaum laki-laki dalam banyak faktor penting- menjadi pihak yang paling rentan untuk terjerumus sebagai komoditas. Fenomena tersebut antara lain dapat dilihat pada kasus TKW, pekerja perempuan di sektor industri, dan para penjaja seks di sektor industri pariwisata.

Gerakan Perempuan di Dunia Islam
Gerakan perempuan di dunia Islam atau sering juga disebut dengan “Feminisme Islam” diperkirakan muncul sejak awal abad ini. Gerakan mereka antara lain dikenal melalui pemikiran tokoh-tokoh perempuan, seperti Nabawiyah Musa dan Aisyah Taymuriah, keduanya penulis asal Mesir, Fatima Aliye (Turki), Zaenab Fawwaz (Lebanon), Rukayyah Shahawat Husain, Taj al-Shulthananh (Iran) dan Huda Sya’rawi. Pemikiran mereka umumnya terfokus pada upaya untuk menumbuhkan kesadaran atas persoalan sensitive gender, termasuk melawan kebudayaan dan ideologi masyarakat yang mengekang kebebasan perempuan.
Pemikiran perempuan-perempuan muslim tersebut baru dapat diterima di Indonesia -walaupun tidak seluruhnya,- pada tahun 1990-an, yaitu sejak terbitnya buku-buku terjemahan dari Riffat Hasan, Fatima Mernisi, Ali Ashgar, dan Aminah Wadud.
Sebenarnya gerakan perempuan Islam, sebagaimana lazimnya sebuah gerakan perempuan. Tidak muncul dari satu pemikiran teoritis dan gerakan yang tunggal yang berlaku bagi seluruh kaum perempuan di wilayah Islam. Akan tetapi, gerakan ini sangat terkait dengan lingkungan histories dan secara kontekstual dimaksudkan untuk menjawab masalah-masalah yang aktual menyangkut ketidakadilan dan ketidaksederajatan.
Satu-satunya yang membedakan gerakan perempuan muslim ini dengan perempuan pada umumnya terletak pada adanya dialog yang intensif antara prinsip-prinsip keadilan dan kesederajatan yang ada dalam teks-teks keagamaan dengan realitas yang ada dalam masyarakat muslim menyangkut perlakuan terhadap perempuan. Karenanya gerakan perempuan Islam pada hakekatnya hendak menggugah kesadaran akan adanya penindasan dan pemerasan terhadap perempuan di dalam masyarakat. Di tempat kerja, bahkan di dalam keluarga yang seringkali disahkan dengan argumen-argumen yang diklaim bersifat keagamaan.
Salah satu yang menjadi persoalan penting gerakan perempuan dalam di dunia Islam adalah persoalan patriarchy yang dipandang sebagai akar dari seluruh kecenderungan misogynist (kebencian terhadap perempuan). Sa’id Al-Afghani (1971: 34) misalnya, menuding perempuan sebagai “biang keladi” dari seluruh persoalan yang terjadi, seperti peristiwa perang unta antara Sayyidatina ‘Aisyah Ra., dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra. Dan lebih jauh lagi, al-Afghani menilai bahwa Sayyidatina ‘Aisyah Ra, harus bertanggung jawab terhadap kekisruhan tersebut. (Fatima Mernisi, 1997, xiii).
Paham patriarchy membawa pada timbulnya interpretasi ajaran agama yang memihak pada kepentingan laki-laki seperti terlihat dalam kitab-kitab fiqh yang nyaris semuanya ditulis oleh kaum laki-laki. Karenanya masalah fiqh perempuan boleh dikatakan tidak pernah ditulis berdasarkan pengalaman dan penghayatan keagamaan kaum perempuan itu sendiri. Sistem yang berdasarkan patriarchi tersebut biasanya mengandung upaya pengekangan kebebasan perempuan dan pembatasan gerak di dalam rumah tangga. Akibatnya kaum perempuan menjadi tidak mandiri dan sangat tergantung pada kaum laki-laki, baik ekonomis maupun psikologis. Semua itu menurut Fatima Mernisi, timbul melalui pandangan stereotype tentang hijab, yang menjadi landasan bagi pembatasan antara ruang publik (public sphere) dan ruang domestik (domestic sphere). Seolah-olah dunia publik adalah dunia laki-laki, sedangkan ruang domestik adalah milik kaum perempuan. Selain itu norma-norma moral, sosial dan hukum pun lebih banyak berpihak pada kaum laki-laki daripada perempuan.
Untunglah dalam paruh kedua abad ini jumlah perempuan kelas menengah dan atas yang mendapatkan kesempatan dan akses dalam kehidupan di dunia publik melalui pendidikan semakin meningkat. Di antara mereka banyak yang menulis tentang relasi-relasi gender yang timpang dan hubungannya dengan keluarga dan masyarakat. Tulisan-tulisan para feminis muslim itu pada akhirnya menimbulkan kesadaran perempuan muslim akan hak-hak mereka yang selama ini dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan moral agama.
Tujuan gerakan perempuan di dunia muslim pada hakekatnya adalah untuk membebaskan umat Islam baik perempuan maupun laki-laki dari struktur sosial dan pandangan keagamaan yang tidak adil, yang menghambat hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan sosial, hukum maupun keagamaan. Dengan kata lain, mereka ingin menegakkan suatu tatanan masyarakat Islami yang didalamnya hak-hak perempuan lebih terjamin.


Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.

Syahruddin El-Fikri
Aktif pada Lembaga Kajian Agama dan Sosial (eLKAS), Mantan Sekretaris Umum PMII Cabang Jombang tinggal Semarang

PEREMPUAN DAN HUKUM POLIGAMI DALAM ISLAM

PEREMPUAN DAN HUKUM POLIGAMI DALAM ISLAM

Syahruddin El-Fikri *)

Topik pembahasan mengenai perempuan seperti tak pernah habis-habisnya untuk dibicarakan, baik di ruangan seperti seminar dll, maupun di ruang terbuka seperti di warung-warung pinggir jalan, orang tak pernah sepi membicarakan mengenai perempuan. Topik ini apabila semakin dibahas dan dikaji, maka akan semakin menarik.

Dan tak salah kalau topik tentang perempuan ini selalu hangat dan aktual. Hal ini disebabkan karena berbagai interpretasi yang beragam dari para pakar, praktisi dan akademisi maupun para para pekerja kasar. Namun kesimpulan akhir dari perbincangan tersebut “hampir selalu” menempatkan perempuan pada posisi second line atau konco wingking.

Berbagai interpretasi dari para pakar yang menegaskan posisi perempuan sebagai second line, kebanyakan bersumber dari “doktrin agama” baik dari Al-Qur’an maupun al-Hadits. Namun, dikalangan aktifis perempuan (dan sebagian santriwati) menilai “doktrin agama” yang menegaskan posisi perempuan sebagai second line sangat ditentang habis-habisan. Mereka selalu mempertanyakan tentang konsep kesetaraan dan keadilan gender. Dan doktrin agama tersebut mereka anggap sebagai sebuah doktrin yang telah mendiskriminasikan perempuan. Kalangan aktifis gender ini mencoba membedah dalil-dalil lain yang memposisikan perempuan sebagai mitra dari kaum laki-laki atau sejajar/segregasi.

Bahkan ayat tentang “kelebihan” kaum laki-laki pun tak luput dari pembedahan mereka. Alasan mereka jelas, bahwa posisi kaum perempuan dan laki-laki adalah sebagai mitra sejajar dalam kehidupan keluarga maupun di masyarakat. Kedudukan kaum laki-laki yang lebih tinggi –sebagaimana QS. 4 : 34- dari kaum perempuan adalah suatu hal yang menafikan “kekuatan dan keunggulan” kaum perempuan. Banyak ayat-ayat atau dalil-dalil yang menegaskan kemitrasejajaran atau kese-gregasi-an antara kaum perempuan dan kaum laki-laki (QS.4:1). Para aktifis perempuan ini hanya ingin agar dalil-dalil tersebut tidak diterjemahkan atau ditafsirkan secara harfiah (lingusitik) semata, tetapi juga harus dilihat dari konteks ayat tersebut, kapan dan dimana turunnya, serta apa yang melatarbelakanginya.

Namun, kegigihan para aktifis perempuan ini, bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh kaum perempuan lain yang memiliki latar belakang pendidikan dari pesantren atau santriwati. Kebanyakan kaum santriwati berpendapat bahwa doktrin agama tersebut sudaha jelas, dan mereka-pun seolah-olah pasrah menerima kenyataan.

Sebab menurut anggapan mereka “salah satu cara” mendapatkan ridlo dan surga-Nya Allah adalah tunduk dan patuh kepada suami (lelaki). Dengan prinsip seperti ini, maka tak salah kalau kemudian ada istilah bahwa kaum perempuan tersebut adalah swarga nunut neroko katut.


********

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membela kaum perempuan ataupun kaum laki-laki. Tulisan ini hanya ingin mencoba memposisikan duduk persoalan secara jelas dan proporsional, khususnya menurut perspektif Islam.

Ayat-ayat al-Qur'an yang turun sangat beragam sifatnya. Ada ayat-ayat yang artinya jelas (qoth’i), sehingga bisa langsung dijadikan pedoman atau aturan hukum (muhkamat).

Dan ada juga ayat-ayat yang sifatnya simbolik (dhonny / meragukan) dan didalam al-Qur'an ayat-ayat seperti ini sangat banyak. Karena masih dhonny atau meragukan maka belum bisa dijadikan sebagai pedoman atau aturan hukum (mutasyabihat) dan masih perlu di re-interpretasi-kan.

Disamping kedua hal tersebut, al-Qur'an juga memuat cerita-cerita dan mitologi-mitologi yang penuturannya juga dibungkus dengan pra-lambang atau simbolik. Maka, penafsiran atas ayat-ayat semacam ini sangat tergantung dari cara pandang kita, apakah kita memahaminya secara harfiah atau sebagai simbolik. Dua cara pandang ini jelas sangat berbeda dan tentunya juga akan menghasilkan penafsiran atau interpretasi yang berbeda pula.

Masalahnya kemudian adalah, banyak orang yang menyatakan dan menganggap telah menafsirkan al-Qur'an secara harfiah. Padahal, sebagaimana kita ketahui, bahasa Arab, sebagaimana bahasa Semit lainnya, sangat bertumpu pada akar kata. Dan untuk mengerti satu kata Arab, kita harus terlebih dahulu mengetahui akar kata tersebut. Selanjutnya, jika kita buka kamus, akar kata yang dimaksud memiliki puluhan bahkan ratusan arti dan makna yang berbeda sesuai dengan konteksnya.

Dengan demikian, arti satu kata selain selalu tergantung pada akar katanya, juga sangat tergantung pada konteksnya. Jadi sangat tidak mungkin untuk memahami kata-kata Arab tanpa mempertimbangkan atau mengetahui konteksnya.

Bahkan tak jarang dalam konteks tersebut, juga masih terdapat berbagai arti lagi. Oleh karena itu, menafsirkan al-Qur'an secara harfiah (linguistik) jelas tidak mungkin, karena setiap kata dan ayat dalam al-Qur'an bisa mempunyai berbagai pengertian.

Disamping mengetahui makna dari akar kata serta konteks ayat tersebut, hal-hal lain yang turut mendukung dalam melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat yang masih memerlukan re-interpretasi adalah juga memahami konteks dan kultur masyarakat serta adat istiadat masyarakat Arab pada saat itu disamping pengetahuan akan tafsir al-Qur'an dan hadits nabi juga didukung oleh pengetahuan akan ilmu fiqh serta ilmu alat seperti nahwu dan sharaf. Karena itu, tidak mungkin menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara harfiah semata, tanpa mengetahui ilmu pengetahuan lainnya.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ada 2 (dua) pendekatan yang selalu ditunjukkan oleh al-Qur'an dalam memahaminya. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan ideal, dimana al-Qur'an selalu menggariskan prinsip-prinsipnya. Dan pendekatan kedua adalah melalui pendekatan realitas atas kondisi empirik yang ada. Atau meminjam istilahnya Sayyed Hoessien Nasr yaitu antara islam ideal dan Islam realita (1984), atau istilahnya Amien Rais, yaitu antara Islam Cita dan Islam Fakta (1991), sedangkan Nurcholis Madjid menyebutnya dengan istilah doktrin dan peradaban.

Kedua pendekatan ini memungkinkan kita untuk memahami segi ideal normatifnya, misalnya bagaimana seharusnya perempuan itu menurut al-Qur'an, tingkah lakunya, hubungannya dengan Tuhannya, dengan orang lain dan dengan dirinya sendiri. Sedangkan sisi realitanya kita bisa memahami bagaimana kenyataan yang terjadi terhadap perempuan, bagaimana perempuan memandang dirinya, bagaimana orang lain memandang perempuan dalam masyarakat Islam. Dengan demikian, disatu sisi kita bisa mendapatkan gambaran empirik, disisi lain ada gambaran teoritik; disatu pihak ada realitas, dipihak lain ada ideal.

Namun sayangnya, dalam kasus perempuan ternyata terdapat jurang kesenjangan yang sangat dalam dan lebar. Dan kenyataan ini hampir bahkan –mungkin- terjadi diseluruh belahan dunia ini, tak terkecuali didunia Barat sendiri yang sangat menjunjung tinggi hak zasi manusia. Pertanyaannya kemudian adalah apa yang harus kita lakukan untuk mengubah realitas tersebut untuk mendekati dan menjadi ideal, dan bagaimana cara kita untuk menutupi jurang kesenjangan tersebut.

Karena itu, mungkin pertanyaan tersebut bisa kita jawab manakala kita mau mengambil dari semangat dan spirit al-Qur'an. Misalnya, semangat tentang kebebasan, keadilan, kesejajaran dan penghormatan atas kemanusiaan. Al-Qur'an sudah jelas menegaskan bahwa Allah Swt adalah Maha Pengasih, Penyayang, Bijaksana, Maha Adil, dan bahkan Allah tidak mendiskriminasikan antara perempuan dan lelaki. Bahkan kemuliaan seseorang itu dinilai bukan karena kedudukan dan kelebihannya melainkan karena taqwanya kepada Sang Khaliq Allah Rabbu ‘l- ‘Izzati (QS. Al-Hujurat : 11).

Kita bisa menyaksikan bahwa kenyataan ini, dan Allah justru sangat peduli kepada perempuan dari pada kaum lelaki. Ini disebabkan karena Allah lebih memberikan perhatian kepada mereka yang terpinggirkan (posisi marginal), para janda, anak yatim, fakir miskin, para budak, kaum papa, ketimbang mereka yang kaya dan berkuasa.

Jadi kesimpulannya, al-Qur'an jelas tidak membuat pembedaan diskriminatif antara perempuan dan lelaki. Tapi semua ini harus dibuktikan dan dipaparkan secara jelas oleh kaum perempuan sendiri, sebab tanpa hal itu, sangat mustahil semua itu bisa tercapai. Dan perempuan harus yakin bahwa posisi mereka dengan lelaki adalah sebagai mitra sejajar. Dan kemitrasejajaran ini tidak akan bisa tercapai, jikalau perempuan sendiri tidak yakin akan hal ini, karena memang kondisinya sudah disosialisasikan demikian sejak dulu. Kenyataan ini sudah terjadi sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, dan ini tidak hanya sepanjang hidupnya saja, tetapi sepanjang masa di seluruh dunia. Kaum perempuan telah diajarkan tentang kelemahan dan kekurangan mereka, dan bahkan posisi mereka selalu berada pada posisi inferior. Kaum perempuan lemah, disebabkan mereka diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok, dan kaum perempuan (Hawa) adalah penyebab diturunkannya Adam dari Surga. Jika pemahaman seperti ini terus berlanjut, maka jelas posisi perempuan sangat sulit untuk berada pada posisi sejajar dengan kaum lelaki.

Diturunkannya Adam dari Surga, bukan semata-mata karena pengaruh perempuan (Hawa), tetapi memang sudah di-rencana-kan oleh Allah agar Adam menjadi khalifah dimuka bumi (QS.2:29-36).

Posisi perempuan yang menguntungkan, entah karena nasib baik, pendidikan atau karena alasan lain, telah mendapatkan satu hak tertentu seperti hak politik, ekonomi dan sosial. Pendek kata, kaum perempuan menjadi terjamin kehidupannya.

Dan kebanyakan kaum perempuan yang aktif terlibat dalam organisasi baik organisasi kemasyarakatan maupun sosial politik adalah berasal dari golongan ini. Namun, hal yang demikian ini hanyalah salah satu faktor saja, masih banyak aspek-aspek lain yang perlu digarap oleh perempuan, baik aspek teologis, psikologis dan sosiologis. Secara eksternal, kaum perempuan mungkin sudah sejajar dengan lelaki, tetapi secara internal rasa rendah diri masih membelenggu perempuan ketika berhadapan dengan lelaki. Perempuan harus menyangga beban dan tanggung jawab kepada keluarganya, kepada anak-anaknya, kepada suaminya dan kepada lelaki. Dan hal ini adalah merupakan realitas yang terjadi.

Anggapan bahwa kaum lelaki bertanggung jawab kepada perempuan dan keluarganya, adalah merupakan satu hal yang sangat lucu dan menggelikan. Diseluruh belahan dunia ini, dimanapun adanya, justru perempuanlah yang mengurusi lelaki.

Inilah kebenaran universal dan kebenaran terpenting diseluruh dunia. Lihatlah contoh ketika salah seorang Sahabat Rasulullah ingin mengadukan perbuatan istrinya yang selalu memarahi dan mengomeli dirinya kepada khalifah Umar Ibn Khattab.

Ketika ia sampai di pintu rumah Umar, ia mendapati Khalifah Umar juga sedang dimarahi oleh istri beliau, dan sahabat inipun kemudian bermaksud meninggalkan rumah Umar, dan hal ini diketahui oleh Khalifah. Khalifah bertanya gerangan maksud dan kedatangan sahabat tersebut, dan ia menyampaikan bahwa maksud dan tujuan ingin mengadukan perbuatan istrinya, namun ketika sampai justru istri khalifah juga memarahi Umar. Dan Umar-pun membiarkan dirinya dimarahi oleh istrinya.

Khalifah Umar menjawab, bahwa selama ini yang mengurusi dirnya dan anak-anaknya adalah istrinya, maka wajar kalau istrinya memarahinya. Ini adalah bukti yang sangat jelas. Tetapi kebanyakan kaum perempuan tidak memandang dirinya demikian (mengurusi lelaki), mereka merasa lelaki yang mengurusi dirinya.

Padahal semua orang tahu bahwa jika sebuah rumah tangga diambil perempuannya niscaya rumah tangga tersebut akan berantakan. Dan kita telah sering menyaksikan kenyataan ini, namun tak pernah mengendapkannya dalam kesadaran kita.

POLIGAMI
Tuduhan klasik bahwa al-Qur'an memperlakukan perempuan secara tidak adil karena memperbolehkan poligami selalu masih selalu diajukan orang, dan tuduhan ini seringkali dikaitkan dengan nabi yang juga melakukan poligami.

Pembahasan mengenai poligami adalah merupakan persoalan klasik yang tak kunjung selesai. Dalam al-Qur'an hanya ada satu kata yang menyangkut poligami (QS.4;3).

Tetapi sebagaimana beberapa kekeliruan lainnya, hal juga karena disebabkan karena penafsiran yang salah atas isi al-Qur'an. Baik dalam al-Qur'an maupun dalam kehidupan keseharian, Nabi memelihara anak yatim atau anak terlantar selalu mendapatkan perhatian besar dan dianggap sangat penting.

Izin poligami dalam al-Qur'an berkaitan dengan masalah tersebut (anak yatim dan anak terlantar. Dan jika kita membaca ayat tentang poligami tersebut, sebenarnya fokus utamanya adalah masalah penyantunan anak yatim. Maksudnya, pernikahan itu berarti menikahi ibu anak yatim. Penafsiran ini tidak bisa diragukan lagi, karena ayat ini turun pada masa ketika banyak terjadi perang dan banyak lelaki dan perempuan serta suami-suami mereka yang meninggal, sehinga banyak terdapat anak-anak yatim. Ketentuan al-Qur'an tentang masalah ini adalah pertama, agar anak-anak yatim ini dipelihara dan disantuni. Kedua, ayat ini berbicara tentang keadilan. Maka dapat disimpulkan bahwa poligami sebenarnya hanya boleh dilakukan dalam kondisi sulit seperti ini.

Rasulullah menikah pertama kali dengan Siti Khadijah pada usia 25 tahun, dan ini adalah merupakan pernikahan beliau yang sangat penting. Rasulullah tidak menikah lagi sampai usia beliau mencapai 50 tahun. Selama masa suburnya beliau justru seorang yang monogam dan menikah hanya sekali. Pada sisa usia beliau, beliau banyak melakukan pernikahan, namun kesemua istri beliau adalah sudah pernah menikah sebelumnya kecuali Siti Aisyah. Dan sebagian perkawinan yang dilakukan oleh Rasulullah juga karena alasan mengukuhkan persahabatan atau yang biasa disebut dengan perkawinan diplomatik. Dari istri-istri beliau, hanya Siti Khadijah saja yang menghasilkan putra.
Wa ‘l Lahu a’lamu bi ‘l-Shawab.

Syahruddin El-Fikri

Aktifis pada Lembaga Kajian Agama dan Sosial (eLKAS) dan juga wakil ketua pada Yayasan Riyadhul Jannah Semarang.